Share

Chapter 184

Author: Sya Reefah
last update Last Updated: 2025-04-25 23:21:58

Dua hari kemudian.

Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa.

Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”

Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”

“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar.

“Papa pergi dulu, ya.”

“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya.

****

Dermaga.

Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap.

“Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.”

Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.”

Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 200

    “Apa kau cemburu?” Cemburu?Apa-apan ini?Dasar pria tidak sadar diri!Mata Eva semakin tajam, tapi bukan karena cemburu, melainkan karena pria itu sama sekali tidak menyadari kesalahan yang diperbuat. Dia menghela napas, menahan amarah yang nyaris meledak. “Kalau kau tidak menyadari kesalahanmu, mungkin memang kita tidak perlu bicara.” Wajah Henry pucat. Kata-kata itu berhasil membuatnya tak berkutik. Dia bukan tipe pria yang tahan jika diperlakukan seperti itu, dibiarkan bertanya-tanya dalam diam. Diamnya Eva seperti dinding dingin yang menghimpitnya. Mana mungkin dia bisa bertahan saat satu-satunya suara yang ingin selalu dia dengar itu membungkam diri, tak mau bicara lagi. “Eva ….” Dia mulai merengek. “Kau boleh marah padaku, aku akan terima. Tapi jangan mendiamkanku.”Dia menghela napas kemudian menunjukkan ekspresi tidak senang.“Kenapa kau tega sekali, aku bahkan tidak bisa tidur karena kau tidak mau membuka pintu dan tidak mau bicara denganku,” lanjutnya.“Rumah ini ada

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 199

    Tok!Tok!Tok!Ketukan pintu itu terdengar jelas di tengah keheningan suasana kamarnya.Eva yang duduk selonjoran di tepian tempat tidur dengan ponsel di genggamannya seketika mendongakkan wajah. “Ini saya, Nyonya.”Eva mengenali pemilik suara itu, yang tak lain adalah Rosa, salah satu pelayan mereka. Perlahan, dia bangkit dan melangkah ke arah pintu, dan membukanya. Rosa berdiri di sana, dengan senyum hangat dan tangan tertaut di depan perutnya.“Maaf mengganggu, Nyonya,” ucapnya ramah. “Makan malam sudah siap. Tuan Henry sudah menunggu di meja makan.” Eva diam beberapa saat, lalu menjawab dengan datar, “Nanti saja, Rosa. Aku belum lapar.” Tangannya mulai menarik pintu dan menutupnya kembali.Tapi, Rosa memberanikan diri. “Nyonya ….”Eva mengurungkan niatnya, pintu tak sepenuhnya tertutup. Dia menatap Rosa dengan alis sedikit terangkat. Rosa kembali melanjutkan dengan berhati-hati saat memilih kata. “Maaf, Nyonya. Saya tahu ini bukan rana saya berbicara. Tapi, saya lihat, sedari

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 198

    Henry duduk di sofa dengan mata terpaku di depan layar ponselnya, memutar rekaman CCTV yang baru saja dikirim oleh Ryan. Dalam video itu, awalnya menunjukkan koridor yang tampak sepi, dan beberapa staf berlalu lalang. Namun beberapa detik kemudian, video memperlihatkan dua wanita yang dia kenali.Eva dan Julia.Awalnya, Eva tampak tak memerdulikan keberadaan Julia, tetapi Julia mengikutinya dan mengatakan hal yang membuat rahang Henry mengeras saat itu juga. Detik-detik dalam video terus berputar. Dan Julia terus-terusan mengejeknya. Kata-kata dari mulut Julia itu meluncur cepat. Namun Eva tetap bersikap santai. Di sana, juga terlihat jika Julia hampir saja menampar istrinya. Kemudian, Eva menamparnya. Henry mematikan ponselnya dan mengusap wajahnya kasar. Dia merutuki dirinya sendiri saat ini. Membela seseorang bukan karena benar, tapi karena kasihan di depan istrinya, itu ternyata adalah sebuah kesalahan besar. Dan sekarang, Eva tengah marah padanya. Dan dia tahi, membujuk Ev

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 197

    “Kirimkan rekaman CCTV itu padaku sekarang juga!”Ryan spontan menjauhkan ponselnya dari telinganya saat teriakan Henry tiba-tiba menggema di ujung telepon. Alisnya berkerut, dan sedikit terkejut karena suara Henry memekakkan telinga. Dia memandangi layar ponselnya sejenak dengan ekspresi bertanya-tanya. Dia menghela napasnya panjang kemudian bertanya dengan sabar, “Rekaman CCTV apa, Tuan?” “Koridor menuju ruanganku! Cepat lakukan!” Nada suaranya terdengar marah dan tidak mau tahu. “And—”Tut! Belum sempat Ryan kembali bersuara, telepon itu sudah berakhir. Dia kembali memandangi layar ponselnya yang sudah meredup. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi, dan kenapa tiba-tiba Henry marah?“Apa yang terjadi? Kenapa sikapnya gampang sekali berubah?” desisnya. “Lagi-lagi aku yang jadi sasaran.” Dengan terburu-buru, Ryan segera menuju ruang informasi dan meminta rekaman CCTV sesuai permintaan Henry. Sebelum dia benar-benar memberikan rekaman CCTV itu, dia melihat apa yang baru saja

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 196

    Kedatangan Eva saat ini seperti hadiah besar untuknya. Hatinya sangat tidak sabar bertemu dengan istrinya.Dari kejauhan, dia bisa menangkap sosok Eva yang tengah berbicara dengan Julia. Langkahnya semula mantap itu terhenti ketika suara tamparan menggema di udara. Matanya melebar saat melihat Julia tengah memegang pipinya, sementara Eva berdiri tegak, ekspresinya datar, tapi tegas. “Kurang ajar kau!” Julia ingin menyerang kembali. Namun, begitu matanya menangkap sosok Henry yang tak jauh jaraknya, dia segera berubah. Kakinya mundur selangkah. Wajah yang semula marah kini berubah sendu dan memelas.“Kenapa kau lakukan itu, Eva. Aku hanya ingin bicara baik-baik denganmu,” lirihnya, sedikit memohon.Alis Eva berkedut, bertanya-tanya, kenapa dengannya?Bisik-bisik mulai terdengar di sekitar mereka. Namun, Eva tidak memerdulikan. Karena dia tidak bersalah. Jika dulu dia selalu berhati-hati dalam bersikap, maka sekarang tidak. Dia akan membalas jika orang itu menyentuhnya.Saat itu, Hen

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 195

    Henry duduk dengan malasnya di kursi kebesarannya. Dengan satu gerakan pelan, dia memutar kursinya, dan melakukannya berulang-ulang kali. Di selah-selah gerakan memutar, tangannya mengambil sebuah laporan keuangan. Menurutnya, isi dari halaman itu tak lebih dari sebuah koran yang membosankan. Dengan ekspresi tenang dan bibir tersungging, dia mengambil satu lembar dan menjadikannya pesawat kertas. “Pyuuuh.”Dia menerbangkan pesawat kertas itu, hingga akhirnya jatuh di sudut lacinya. Henry kembali membuat bentuk pesawat dan menerbangkannya. Hal itu dilakukan hingga beberapa kali. “Laporan apa ini? Apa mereka kira ini tugas sekolah?” katanya ringan, nada suaranya terdengar mengejek. “Di halaman dua dan empat, angkanya bisa berbeda 2 juta dollar. Siapa yang membuatnya? Apa kalian tidak mengoreksinya sebelum memberikan padaku?”Ryan meringis melihat kertas-kertas yang hilang harga dirinya. Hari-harinya mungkin Henry terlihat lebih sumringah, tetapi itu tidak cukup menyamarkan betapa m

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 194

    Eva melangkah masuk ke dalam kafe berdesain minimalis dan elegan di sudut kota. Aroma kopi menyambutnya hangat. Di sudut ruangan, Sophia sudah menunggunya dengan cangkir di tangannya. Rambutnya disanggul rapi. Atasan berwarna putih dengan kerah berbentuk V dan rok panjang berwarna hitam dengan motif bunga membalut tubuh rampingnya. Meski pakaian yang dikenakan sederhana, tapi itu tidak mengurangi kharismatiknya. Wajahnya tersenyum, lalu satu tangannya melambai dan memanggil, “Eva!”Eva membalas senyumnya dan menghampiri. “Maaf sudah membuatmu menunggu, Sophia.” “Tidak apa-apa. Aku senang sekali karena akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya begitu tertata dan teratur, Eva bisa merasakan wibawa dan kharismanya. Tak heran jika wanita ini cocok menjadi pendamping CEO ternama di kalangannya. “Pesanlah dulu.” Sophia memberikan buku menu untuknya. Dia sendiri sudah memesan matcha latte.Eva menerimanya lalu memilih minuman yang sama dan croissant. Setela

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 193

    Sekali lagi, tubuh mereka saling bersentuhan dan menyatu. Mata Henry menyala saat melihat Eva yang berada di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya, setiap helai rambutnya, dan setiap ekspresinya memancarkan daya pikat tak bisa ditolak.Eva yang berada di bawahnya tampak rapuh dan kuat secara bersamaan. Desahan kecil lolos dari bibirnya, mengundang senyum di wajah Henry. Henry menyukainya. Semua yang ada pada Eva, dia menyukainya. Dan saat ini, atau nanti, Eva hanyalah miliknya. Dia terus memberikan sentuhan lembut pada Eva. Dan setiap kali tubuh mereka bersentuhan, rasanya seperti meneguk air setelah berjalan di padang tandus. Namun anehnya, bukan rasa lega yang dia rasakan, melainkan dahaga yang semakin menyerang. Baginya, Eva seperti oasis di tengah-tengah gurun yang tak cukup dia sentuh. Setiap suara lirih yang keluar membuat Henry semakin tenggelam di dalamnya. Eva pun merasakan demikian. Pelukan dan sentuhan-sentuhan Henry membuatnya seperti terlempar ke dalam sumur tak berdasar.

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 192

    Malam harinya, Henry melangkah keluar, menuju ruang tamu, masih menggunakan handuk kimononya yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh ke lantai saat dia berjalan pelan.Di ruang tamu itu, Elise sudah duduk menunggunya. Wajahnya terlihat masam, dan kedua tangannya terlipat di depan dadanya. “Untuk apa Mama datang ke sini?”“Kenapa kau tidak pernah menjawab telepon dari Mama?” Henry diam, memilih tidak menanggapinya. Dengan sikap acuh tak acuhnya dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, membiarkan tubuhnya bersandar malas tanpa memerdulikan ekspresi kesal Elise yang menatapnya tajam. Dia tahu bahwa saat ini, mamanya tengah marah padanya.Namun, apa pedulinya? “Bagaimana bisa sampai kau keracunan makanan saat di Swiss?” Elise mengomel tanpa jeda. Henry menghela napas panjang. Satu tangannya menjadi tumpuhan kepalanya, malas menanggapi Elise yang terus mengomel tanpa henti. Dengan tangan lainnya memegang gelas berisi air putih. “Ini pasti karen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status