Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.
Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”
Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.
Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.
“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.
Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.
Eva berjalan dengan lesu, tidak memiliki semangat sama sekali. Ucapan dokter selama di rumah sakit itu terngiang di pikirannya.
“Nyonya, kondisi glaukoma Anda semakin parah. Jika tidak segera ditangani, Anda bisa kehilangan penglihatan secara permanen.”
Sebelum kembali ke rumah, Eva mampir sejenak di rumah sakit untuk memeriksakan kondisi matanya. Dia harus segera mencari solusi untuk menangani kondisi matanya. Namun beban finansial yang besar membuatnya berpikir ulang.
Di dalam rumah, kedua matanya menangkap sosok yang ia kenal. Elise, mama mertuanya, duduk di kursi ruang tamu dengan anggunnya.
“Di mana Henry?” Nada suaranya terdengar dingin.
“Henry masih di pesta, Ma. Eva pulang dulu karena tidak enak badan.”
Elise menatap dingin ke arah Eva. “Aku tidak menanyakan keadaanmu.”
“Untuk apa kau ikut ke pesta? Harusnya diam saja di rumah, jangan membuat putraku malu dengan kehadiranmu di sana!” Elise memasang wajah penuh penghinaan pada Eva.
Eva berusaha tersenyum di depan mama mertuanya. Senyum itu terasa seperti topeng tipis yang menutupi rasa sakit di hatinya. Tak hanya kerabatnya, mama mertuanya sendiri pun selalu melontarkan kata-kata pedas padanya.
Eva menjawab dengan lembut. “Henry yang meminta Eva untuk ikut, Ma. Tidak enak juga jika Eva tidak ikut ke acara kerabat sendiri.”
Elise membalas Eva dengan sinis. “Kerabat siapa yang kau maksud?”
Mulut Eva terkatup rapat tidak bisa menjawab. Setiap kali dia menghadapi kata-kata seperti itu, dia merasa seolah bagian dari dirinya dihancurkan.
“Lain kali, pertimbangkanlah jika kau hadir di setiap acara-acara penting. Ingat juga bagaimana kondisimu. Jangan hanya merepotkan putraku!”
Eva menundukkan matanya, mengangguk lemah pada mama mertuanya. Kaa-kata sarkatik itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
“Aku harus pergi, aku tidak bisa berlama-lama di sini hanya untuk melihatmu!” Elise beranjak berdiri mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kediaman putranya.
Eva menatap kepergian Elise dengan tatapan kosong. Harus bagaimana lagi dia bersikap menghadapi keluarga suaminya. Seberapa banyak dia mencoba, dia akan tetap dia anggap hina dan tidak berguna di tengah-tengah keluarga Harrison.
Eva berganti baju dengan pakaian lebih santai menunggu kedatangan Henry. Ia kembali teringat interaksi antara Henry dan Julia yang begitu intens.
Segala ucapan dari Bibi Maria kembali memenuhi pikirannya. Harusnya memang menolak tawaran pada waktu itu.
Tepat 4 tahun yang lalu, Martin, Papa Henry, memintanya untuk menerima pernikahan antara dirinya dan Henry demi kesembuhan mamanya yang tengah berbaring di rumah sakit.
Waktu itu, tabungan Eva sangat menipis dan biaya rumah sakit semakin membengkak. Martin datang menawarkan solusi yang bisa mengatasi masalah finansialnya.
Eva yang menyadari betapa mendesaknya kebutuhan finansialnya itu menyetujui. Ia tidak tahu jika saat itu Henry sudah memiliki kekasih.
Eva mengambil ponsel miliknya, menekan nomor Henry dan menghubunginya untuk memastikan kapan suaminya tiba.
Namun, yang menjawab panggilan telepon di seberang sana bukanlah suara Henry. Melainkan suara perempuan yang terdengar lembut dan berkelas.
“Saya Julia, sekertaris Tuan Henry. Tuan Henry sedang tidak bisa menjawab telepon saat ini. Dia sedang memiliki banyak urusan. Apa ada yang ingin Anda sampaikan padanya? Biar saya yang membantu menyampaikannya.”
Eva tersenyum getir mendengar suara itu. “Tidak, Nona. Saya hanya ingin memastikan kapan Henry akan pulang.”
Julia yang berada di seberang sana kembali memberikan jawaban. “Saya akan menyampaikan pesan Anda padanya.”
Baru saja Eva ingin menjawab, telepon itu sudah terputus secara sepihak. Eva menggenggam ponselnya erat-erat.
Pikiran Eva semakin melayang tidak karuan. Kedua orang itu pasti saat ini tengah menikmati waktu bersama.
Waktu terus berlalu. Akhirnya Henry telah tiba dengan pakaian yang masih terlihat rapi seperti sebelum mereka pergi ke pesta.
Ia menerobos masuk ke dalam kamar, hingga membuat tubuh Eva terkejut.
“Apa yang kau katakan pada Julia?” Henry meninggikan suaranya hingga memenuhi ruangan.
Eva yang tidak tahu apa-apa pun bertanya-tanya. “Aku?”
Dengan gerakan cepat Henry mencengkeram dagu Eva. “Apa yang baru saja kau katakan pada Julia hingga dia menangis?”
Kening Eva berkerut, dia tampak bingung dengan perkataan suaminya.
Henry berteriak di dekat wajah Eva. “Jangan sampai perusahaan kehilangan orang sepertinya hanya karena sikap kekanak-kanakanmu!”
Tangan Eva dengan spontan menarik tangan Henry. Namun, tenaganya masih kalah kuat dengan tenaga Henry.
Eva menahan rasa sakitnya, sebab cengkeraman Henry begitu kuat. “A-aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya-”
“Kau memang wanita tidak berguna!” Henry menyela sebelum Eva menjawabnya. Henry melepaskan cengkeramannya dengan wajah memerah.
Eva mencoba menormalkan napasnya yang terengah-engah lalu kembali menjawab. “Tapi aku tidak mengatakan apa-apa padanya, Henry. Aku hanya memintanya menyampaikan pesanku memastikan kapan kau pulang.”
Henry tersenyum sinis tidak percaya. “Lalu, kau mengatakan jika Julia memfitnahmu dihadapanku? Kau memang wanita picik! Selain menikah karena uang, ternyata kau juga wanita yang pandai bersilat lidah dan munafik!”
Eva menggelengkan kepalanya cepat. Semua tentangnya itu tidak seperti yang dikatakan suaminya.
Henry memandang wajah Eva dengan tatapan hina. “Wajahmu memang terlihat polos. Tapi tidak dengan tindakanmu!”
Di bawah terik sinar matahari, Henry berdiri di balkon kamarnya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap pemandangan kota yang sibuk. Dadanya terasa sesak, mengalahkan keramaian kota di bawah sana. Tangannya menggenggam erat ponsel yang baru saja diaktifkan. Pagi menjelang siang itu, semua notifikasi dari semalam baru masuk ke ponselnya. Sebagian dari Eva, dan beberapa dari Ryan. [Tuan, apakah Anda baik-baik saja? Nyonya mengkhawatirkan Anda. Jika Anda mengalami kesulitan, biar saya datang ke sana. Di mana Anda sekarang?]Henry membaca pesan dari Ryan. Dia tak berniat membalas, tetapi akhirnya langsung menekan hijuanya. Hanya butuh beberapa detik panggilang itu terhubung, suara Ryan mulai terdengar di ujung telepon.“Halo, Tuan! Tuan, apa Anda baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu? Di mana Anda sekarang?”Henry menghela napas panjang ketika mendengar serentetan pertanyaan asistennya. “Simpan dulu pertanyaanmu,” jawab Henry tegas. “Aku ada tugas untukmu.”Ryan terdiam sesaat. Terd
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Suasana di penthouse terasa sunyi, sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak, semakin menegaskan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Eva duduk di sofa ruang tengah. Matanya kosong di depan TV yang menyala, pikirannya benar-benar tidak tertuju pada televisi. Beberapa menit yang lalu, dia terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Saat melihat sisi ranjang, ternyata masih kosong. Henry belum pulang. Awalnya, dia mengira pria itu berada di ruang kerjanya. Namun, ternyata tidak sama sekali. Di sana, sunyi, hanya ada udara dingin yang menyapanya. Berkali-kali dia melirik jam dinding, berharap pintu terbuka dan menunjukkan sosok Henry di ambang pintu. Namun, harapannya tak kunjung nyata. Perasaan tidak enak mulai memenuhi hatinya. Eva mencoba untuk menepisnya. Mungkin acaranya sedikit lambat. Atau mungkin dia sudah dalam perjalanan. Eva tetap mencoba untuk rasional. Akan tetapi, pikirannya tetap berkelana ke se
Henry bertanya sedikit ragu, meski dia sendiri merasakan ada perubahan pada penampilan barunya. “Apa ini tidak berlebihan?”“Sama sekali tidak,” jawab Eva, meyakinkan. “Justru kau terlihat lebih berkharisma. Cocok untuk acara malam ini.”Eva melanjutkan, “Di tambah dengan jas barumu. Kau terlihat sempurna.”Mendapat pujian dari Eva membuat senyum Henry mengembang. Senyum percaya diri itu terukir jelas di wajahnya, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Eva, dan berbisik pelan, “Suamimu memang sangat menawan. Apa kau baru menyadarinya.” Eva memutar kedua matanya malas. Geli, tingkat kepercayaan suaminya terkadang memang setinggi langit. Meski dalam hatinya menyadari jika suaminya memanglah tampan. Dia mencubit lengan Henry. “Kau sangat narsis!”Henry terkekeh, dia mengangkat tangan Eva yang mencubitnya dan mencium punggung tangannya. “Aku hanya mengiyakan fakta, Istriku. Dan berkat sentuhan tangan ajaibmu, aku lebih bersinar malam ini.”Eva menggeleng, meski senyum tidak bisa disembunyi
Henry duduk di ruangannya, matanya mengamati layar proyektor yang menunjukkan grafik dan angka proyek yang sedang berjalan. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya, menganalisis progres dan mencari potensi masalah sebelum hal itu terjadi. Suasana begitu tenang, hingga akhirnya suara ketukan pelan memecah keheningan.“Masuk,” kata Henry tanpa mengalihkan pandangannya. Ryan muncul di ambang pintu. “Tuan, ada yang ingin saya sampaikan.”Akhirnya, Henry mengalihkan pandangannya. “Ada apa? Apa ada proyek bermasalah?”“Bukan, Tuan. Ini soal yang lain,” jawab Ryan dengan ragu-ragu sabil mendekat ke meja. “Ini soal Tuan Besar dan Nyonya Helen.”Alis Henry terangkat. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan pandangannya sepenuhnya tertuju pada Ryan. “Apa yang kau temukan?”Ryan menarik napas, sebelum akhirnya menjelaskan, “Ada beberapa informasi yang cukup aneh.” Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Sepertinya ada semacam … hubungan di antara mereka.”Kening Henr
Saat itu juga, awan hitam seperti menyelimuti dirinya. Suasana hatinya begitu dongkol. Tak ada yang benar-benar tahu apa sebenarnya yang diinginkan wanita ini. Samuel memalingkan wajahnya, tak ingin melihat Julia. Namun, dia bisa merasakan senyum mengejek dari Julia padanya. Sebuah langkah ringan terdengar mendekat lalu berhenti di sampingnya. “Kau mencoba menghindariku.” Suara Julia terdengar lembut, tetapi nada suaranya tersirat ejekan yang kuat. “Ternyata kau memang pengecut.” “Bukan hanya pengecut saat menghadapiku, tapi juga mengenai perasaanmu!” lanjut Julia. Dia terkekeh pelan membuat Samuel menatap tajam ke arahnya. Samuel semakin jengkel dengan keberadaan Julia di sana. Dia berusaha keras untuk tidak terpancing dengan semua kata-kata Julia. Entah upaya apa yang harus dilakukan agar bisa membuat wanita itu pergi dari hadapannya. Melihat reaksi Samuel, senyum sinis semakin merekah di wajah Julia. Itu adalah reaksi yang dia inginkan. Hanya beberapa kata, pria itu sudah te
Perjalanan singkat menuju gedung teater terasa nyaman. Di dalam mobil, Henry tak membiarkan genggaman tangannya pada Eva terlepas. Mereka menghadiri pertunjukan Broadway. Begitu tiba di teater, suasana sudah ramai. Dengan sigap, Henry memimpin jalan, mencari pintu masuk yang tidak terlalu padat pengunjung. Dia sudah memilih tempat duduk yang paling strategis dan nyaman, di bagian tengah mezzanine, dengan ruang kaki yang cukup lapang dan tidak terlalu dekat dengan tangga yang curam. Begitu duduk, Eva menghela napas lega. Kursinya empuk, dan jarak pandang ke arah panggung sangat pas. Henry sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Eva dan berbisik pelan, “Bagaimana tempat dudukmu? Apa kau merasa nyaman?” Eva tersenyum simpul, menyadari sikap protektif Henry selama masa kehamilannya. “Sangat, sangat, sangat nyaman. Kau tenang saja.” Henry mengangguk. Begitu saatnya tiba, lampu teater meredup, tirai perlahan terangkat. Eva menatap panggung itu dengan mata berbinar. Di atas pa