Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.
Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut.
Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain.
Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut.
“Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.”
“Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”
Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setiap harinya, matahari seperti redup.
Eva berjalan ke arah laci yang ada di kamarnya. Di dalam laci itu terdapat sebuah buku tergeletak. Buku itu berisi catatan anggaran biaya pengobatan sang ibu, dan selembar foto terakhir mereka berdua yang dia miliki.
Ia merindukan hari-hari ketika dia dan ibunya melewati masa-masa mudah dan sulit dalam kehidupan mereka. Saat pikirannya tenggelam, ponsel miliknya berbunyi berulang-ulang. Yang artinya dia tengah menerima banyak pesan.
Pesan itu berasal dari nomor tidak dikenal. Dengan rasa penasaran, ia segera membuka pesan tersebut.
Kedua matanya membulat ketika membuka isi pesan tersebut. Hatinya berdegup kencang, perasaannya bercampur aduk.
“Tidak mungkin.” Suara Eva sangat kecil, hingga hampir tidak terdengar di pendengaran.
Tangan Eva gemetar, air matanya mulai membasahi pipinya.
Pesan tersebut ternyata berisi foto mesra Julia dan Henry dari nomor yang tidak dikenal.
Ia memutar kembali waktu sebelum-sebelumnya, tidak ada satupun foto dirinya dan Henry selama menikah sampai sekarang. Bahkan selama ini Henry tidak pernah seceria itu saat bersamanya.
Malam semakin dingin, tetapi Henry belum kunjung kembali.
Eva tengah berbaring, kedua matanya itu tetap terjaga. Memikirkan suatu keputusan besar yang akan ia ambil dalam hidupnya. Rasanya sudah lelah terjebak dalam suasana seperti ini selama bertahun-tahun.
Cahaya matahari lembut mulai merayap di celah-celah jendela.
Suasana di ruang makan di kediaman Henry tenang dan sunyi. Hingga akhirnya, Eva memulai pembicaraan.
“Henry, aku ingin membicarakan sesuatu.”
“Memang apa yang ingin kau bicarakan?” Henry menanggapi dengan dingin dan tampak tidak peduli.
Eva mengumpulkan keberanian, lalu berkata dengan tegas. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin kita bercerai, dan menikahlah dengan Julia.”
Henry yang mendengar itu membeku. Matanya membulat lebar ke arah Eva.
Eva bisa melihat raut wajah dari suaminya. Namun, ia mencoba untuk tenang menghadapi situasi ini. Ini sudah menjadi keputusannya.
Henry bersuara dengan nada dinginnya. “Apa yang kau katakan? Katakan sekali lagi!”
Henry masih tidak percaya dengan kata ‘cerai’ yang keluar dari mulut Eva.
Henry memerhatikan Eva yang terlihat rileks. Apa yang dikatakan itu seperti tidak membebani dirinya.
Eva mendongak, menatap wajah Henry. “Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tidak perlu mengatakan kedua kalinya.”
Rahang Henry menegang. Sorot matanya tajam, menatap Eva dengan penuh amarah.
Suasana tenang mendadak tegang.
Apalagi saat Henry melihat jika Eva seperti sedang menantangnya.
Henry berdiri, mendekat ke arah Eva lalu bersuara dengan nada tinggi. “Apa kau sadar apa yang kau katakan? Apa ini tentang uang?”
Eva menggeleng. “Tidak.”
Meski dalam hatinya terselip rasa takut, tetapi Eva tetap berusaha memberanikan diri melawan kemarahan Henry.
Henry menggertakkan gigi-giginya. “Jika tidak, kenapa kau ingin bercerai? Apa uang yang aku berikan selama ini sudah cukup kau dapatkan dariku? Apa kau memiliki target lain?”
Eva mengambil napas dalam-dalam lalu menjawab, “Ini bukan tentang uang, Henry. Tapi aku tidak ingin menghalangi hubunganmu dengan Julia.”
Henry mendekat wajahnya ke wajah Eva lalu berbicara dengan penuh kekesalan. “Jangan harap kau bisa lepas dariku begitu saja!”
Henry berdiri tegak. Tanpa berkata, ia meraih jas dan meninggalkan penthouse dengan langkah tegas.
Eva yang masih duduk mencoba bangkit. Namun, hampir saja dia terjatuh, sebab pandangan matanya yang buram.
Mobil McLaren 7205 hitam melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalanan Manhattan yang sibuk. Mobil itu berhenti di depan gedung pencakar langit tempat Harrison Realty Partners beroperasi.
Henry keluar dari mobil dengan langkah cepat, tampak tenang, tetapi terdapat ketegangan di wajahnya. Ia melintasi lobi, mengabaikan para karyawan yang menyapanya.
Sesampainya di ruang kerja, ia duduk di kursi kebesarannya dengan tenang. Seolah-olah tidak ada yang mengganggu pikirannya.
Ryan, asisten Henry, datang menemuinya. “Tuan, makan siang nanti kita ada pertemuan dengan Group Empire.”
“Hmm ….” Henry hanya menyahuti dengan deheman seperti tidak minat.
Ryan mengamati wajah Henry. Pikiran dari Tuannya itu seperti tidak berada di tempat. “Apa ada masalah, Tuan?”
“Apa kau tahu, Ryan, wanita itu menggertakku dengan cara meminta cerai dariku.” Smirk terlihat jelas di wajah Henry. “Aku penasaran, dari mana dia mendapat keberanian seperti itu?”
Ryan tampak sedikit terkejut. Namun, ia harus tetap profesional. “Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Tuan? Apa Anda menerima keputusan Nyonya Eva?”
Henry tertawa, lalu dia menjawab. “Apa kau percaya dengan kata-katanya? Kita lihat saja, sejauh mana dia berani melangkah.”
Di bawah terik sinar matahari, Henry berdiri di balkon kamarnya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap pemandangan kota yang sibuk. Dadanya terasa sesak, mengalahkan keramaian kota di bawah sana. Tangannya menggenggam erat ponsel yang baru saja diaktifkan. Pagi menjelang siang itu, semua notifikasi dari semalam baru masuk ke ponselnya. Sebagian dari Eva, dan beberapa dari Ryan. [Tuan, apakah Anda baik-baik saja? Nyonya mengkhawatirkan Anda. Jika Anda mengalami kesulitan, biar saya datang ke sana. Di mana Anda sekarang?]Henry membaca pesan dari Ryan. Dia tak berniat membalas, tetapi akhirnya langsung menekan hijuanya. Hanya butuh beberapa detik panggilang itu terhubung, suara Ryan mulai terdengar di ujung telepon.“Halo, Tuan! Tuan, apa Anda baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu? Di mana Anda sekarang?”Henry menghela napas panjang ketika mendengar serentetan pertanyaan asistennya. “Simpan dulu pertanyaanmu,” jawab Henry tegas. “Aku ada tugas untukmu.”Ryan terdiam sesaat. Terd
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Suasana di penthouse terasa sunyi, sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak, semakin menegaskan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Eva duduk di sofa ruang tengah. Matanya kosong di depan TV yang menyala, pikirannya benar-benar tidak tertuju pada televisi. Beberapa menit yang lalu, dia terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Saat melihat sisi ranjang, ternyata masih kosong. Henry belum pulang. Awalnya, dia mengira pria itu berada di ruang kerjanya. Namun, ternyata tidak sama sekali. Di sana, sunyi, hanya ada udara dingin yang menyapanya. Berkali-kali dia melirik jam dinding, berharap pintu terbuka dan menunjukkan sosok Henry di ambang pintu. Namun, harapannya tak kunjung nyata. Perasaan tidak enak mulai memenuhi hatinya. Eva mencoba untuk menepisnya. Mungkin acaranya sedikit lambat. Atau mungkin dia sudah dalam perjalanan. Eva tetap mencoba untuk rasional. Akan tetapi, pikirannya tetap berkelana ke se
Henry bertanya sedikit ragu, meski dia sendiri merasakan ada perubahan pada penampilan barunya. “Apa ini tidak berlebihan?”“Sama sekali tidak,” jawab Eva, meyakinkan. “Justru kau terlihat lebih berkharisma. Cocok untuk acara malam ini.”Eva melanjutkan, “Di tambah dengan jas barumu. Kau terlihat sempurna.”Mendapat pujian dari Eva membuat senyum Henry mengembang. Senyum percaya diri itu terukir jelas di wajahnya, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Eva, dan berbisik pelan, “Suamimu memang sangat menawan. Apa kau baru menyadarinya.” Eva memutar kedua matanya malas. Geli, tingkat kepercayaan suaminya terkadang memang setinggi langit. Meski dalam hatinya menyadari jika suaminya memanglah tampan. Dia mencubit lengan Henry. “Kau sangat narsis!”Henry terkekeh, dia mengangkat tangan Eva yang mencubitnya dan mencium punggung tangannya. “Aku hanya mengiyakan fakta, Istriku. Dan berkat sentuhan tangan ajaibmu, aku lebih bersinar malam ini.”Eva menggeleng, meski senyum tidak bisa disembunyi
Henry duduk di ruangannya, matanya mengamati layar proyektor yang menunjukkan grafik dan angka proyek yang sedang berjalan. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya, menganalisis progres dan mencari potensi masalah sebelum hal itu terjadi. Suasana begitu tenang, hingga akhirnya suara ketukan pelan memecah keheningan.“Masuk,” kata Henry tanpa mengalihkan pandangannya. Ryan muncul di ambang pintu. “Tuan, ada yang ingin saya sampaikan.”Akhirnya, Henry mengalihkan pandangannya. “Ada apa? Apa ada proyek bermasalah?”“Bukan, Tuan. Ini soal yang lain,” jawab Ryan dengan ragu-ragu sabil mendekat ke meja. “Ini soal Tuan Besar dan Nyonya Helen.”Alis Henry terangkat. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan pandangannya sepenuhnya tertuju pada Ryan. “Apa yang kau temukan?”Ryan menarik napas, sebelum akhirnya menjelaskan, “Ada beberapa informasi yang cukup aneh.” Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Sepertinya ada semacam … hubungan di antara mereka.”Kening Henr
Saat itu juga, awan hitam seperti menyelimuti dirinya. Suasana hatinya begitu dongkol. Tak ada yang benar-benar tahu apa sebenarnya yang diinginkan wanita ini. Samuel memalingkan wajahnya, tak ingin melihat Julia. Namun, dia bisa merasakan senyum mengejek dari Julia padanya. Sebuah langkah ringan terdengar mendekat lalu berhenti di sampingnya. “Kau mencoba menghindariku.” Suara Julia terdengar lembut, tetapi nada suaranya tersirat ejekan yang kuat. “Ternyata kau memang pengecut.” “Bukan hanya pengecut saat menghadapiku, tapi juga mengenai perasaanmu!” lanjut Julia. Dia terkekeh pelan membuat Samuel menatap tajam ke arahnya. Samuel semakin jengkel dengan keberadaan Julia di sana. Dia berusaha keras untuk tidak terpancing dengan semua kata-kata Julia. Entah upaya apa yang harus dilakukan agar bisa membuat wanita itu pergi dari hadapannya. Melihat reaksi Samuel, senyum sinis semakin merekah di wajah Julia. Itu adalah reaksi yang dia inginkan. Hanya beberapa kata, pria itu sudah te
Perjalanan singkat menuju gedung teater terasa nyaman. Di dalam mobil, Henry tak membiarkan genggaman tangannya pada Eva terlepas. Mereka menghadiri pertunjukan Broadway. Begitu tiba di teater, suasana sudah ramai. Dengan sigap, Henry memimpin jalan, mencari pintu masuk yang tidak terlalu padat pengunjung. Dia sudah memilih tempat duduk yang paling strategis dan nyaman, di bagian tengah mezzanine, dengan ruang kaki yang cukup lapang dan tidak terlalu dekat dengan tangga yang curam. Begitu duduk, Eva menghela napas lega. Kursinya empuk, dan jarak pandang ke arah panggung sangat pas. Henry sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Eva dan berbisik pelan, “Bagaimana tempat dudukmu? Apa kau merasa nyaman?” Eva tersenyum simpul, menyadari sikap protektif Henry selama masa kehamilannya. “Sangat, sangat, sangat nyaman. Kau tenang saja.” Henry mengangguk. Begitu saatnya tiba, lampu teater meredup, tirai perlahan terangkat. Eva menatap panggung itu dengan mata berbinar. Di atas pa