Share

Chapter 3

Author: Sya Reefah
last update Last Updated: 2024-08-09 10:25:06

Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.

Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. 

Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain. 

Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. 

“Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.” 

“Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”

Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setiap harinya, matahari seperti redup.

Eva berjalan ke arah laci yang ada di kamarnya. Di dalam laci itu terdapat sebuah buku tergeletak. Buku itu berisi catatan anggaran biaya pengobatan sang ibu, dan selembar foto terakhir mereka berdua yang dia miliki.

Ia merindukan hari-hari ketika dia dan ibunya melewati masa-masa mudah dan sulit dalam kehidupan mereka. Saat pikirannya tenggelam, ponsel miliknya berbunyi berulang-ulang. Yang artinya dia tengah menerima banyak pesan.

Pesan itu berasal dari nomor tidak dikenal. Dengan rasa penasaran, ia segera membuka pesan tersebut.

Kedua matanya membulat ketika membuka isi pesan tersebut. Hatinya berdegup kencang, perasaannya bercampur aduk.

“Tidak mungkin.” Suara Eva sangat kecil, hingga hampir tidak terdengar di pendengaran.

Tangan Eva gemetar, air matanya mulai membasahi pipinya. 

Pesan tersebut ternyata berisi foto mesra Julia dan Henry dari nomor yang tidak dikenal. 

Ia memutar kembali waktu sebelum-sebelumnya, tidak ada satupun foto dirinya dan Henry selama menikah sampai sekarang. Bahkan selama ini Henry tidak pernah seceria itu saat bersamanya. 

Malam semakin dingin, tetapi Henry belum kunjung kembali. 

Eva tengah berbaring, kedua matanya itu tetap terjaga. Memikirkan suatu keputusan besar yang akan ia ambil dalam hidupnya. Rasanya sudah lelah terjebak dalam suasana seperti ini selama bertahun-tahun.

Cahaya matahari lembut mulai merayap di celah-celah jendela. 

Suasana di ruang makan di kediaman Henry tenang dan sunyi. Hingga akhirnya, Eva memulai pembicaraan.

“Henry, aku ingin membicarakan sesuatu.” 

“Memang apa yang ingin kau bicarakan?” Henry menanggapi dengan dingin dan tampak tidak peduli.

Eva mengumpulkan keberanian, lalu berkata dengan tegas. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin kita bercerai, dan menikahlah dengan Julia.” 

Henry yang mendengar itu membeku. Matanya membulat lebar ke arah Eva. 

Eva bisa melihat raut wajah dari suaminya. Namun, ia mencoba untuk tenang menghadapi situasi ini. Ini sudah menjadi keputusannya. 

Henry bersuara dengan nada dinginnya. “Apa yang kau katakan? Katakan sekali lagi!”

Henry masih tidak percaya dengan kata ‘cerai’ yang keluar dari mulut Eva. 

Henry memerhatikan Eva yang terlihat rileks. Apa yang dikatakan itu seperti tidak membebani dirinya.

Eva mendongak, menatap wajah Henry. “Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tidak perlu mengatakan kedua kalinya.” 

Rahang Henry menegang. Sorot matanya tajam, menatap Eva dengan penuh amarah. 

Suasana tenang mendadak tegang.

Apalagi saat Henry melihat jika Eva seperti sedang menantangnya.

Henry berdiri, mendekat ke arah Eva lalu bersuara dengan nada tinggi. “Apa kau sadar apa yang kau katakan? Apa ini tentang uang?”

Eva menggeleng. “Tidak.” 

Meski dalam hatinya terselip rasa takut, tetapi Eva tetap berusaha memberanikan diri melawan kemarahan Henry.

Henry menggertakkan gigi-giginya. “Jika tidak, kenapa kau ingin bercerai? Apa uang yang aku berikan selama ini sudah cukup kau dapatkan dariku? Apa kau memiliki target lain?”

Eva mengambil napas dalam-dalam lalu menjawab, “Ini bukan tentang uang, Henry. Tapi aku tidak ingin menghalangi hubunganmu dengan Julia.” 

Henry mendekat wajahnya ke wajah Eva lalu berbicara dengan penuh kekesalan. “Jangan harap kau bisa lepas dariku begitu saja!”

Henry berdiri tegak. Tanpa berkata, ia meraih jas  dan meninggalkan penthouse dengan langkah tegas. 

Eva yang masih duduk mencoba bangkit. Namun, hampir saja dia terjatuh, sebab pandangan matanya yang buram.

Mobil McLaren 7205 hitam melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalanan Manhattan yang sibuk. Mobil itu berhenti di depan gedung pencakar langit tempat Harrison Realty Partners beroperasi. 

Henry keluar dari mobil dengan langkah cepat, tampak tenang, tetapi terdapat ketegangan di wajahnya. Ia melintasi lobi, mengabaikan para karyawan yang menyapanya.

Sesampainya di ruang kerja, ia duduk di kursi kebesarannya dengan tenang. Seolah-olah tidak ada yang mengganggu pikirannya. 

Ryan, asisten Henry, datang menemuinya. “Tuan, makan siang nanti kita ada pertemuan dengan Group Empire.”

“Hmm ….” Henry hanya menyahuti dengan deheman seperti tidak minat.

Ryan mengamati wajah Henry. Pikiran dari Tuannya itu seperti tidak berada di tempat. “Apa ada masalah, Tuan?”

“Apa kau tahu, Ryan, wanita itu menggertakku dengan cara meminta cerai dariku.” Smirk terlihat jelas di wajah Henry. “Aku penasaran, dari mana dia mendapat keberanian seperti itu?”

Ryan tampak sedikit terkejut. Namun, ia harus tetap profesional. “Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Tuan? Apa Anda menerima keputusan Nyonya Eva?”

Henry tertawa, lalu dia menjawab. “Apa kau percaya dengan kata-katanya? Kita lihat saja, sejauh mana dia berani melangkah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 193

    Eva melangkah masuk ke dalam kafe berdesain minimalis dan elegan di sudut kota. Aroma kopi menyambutnya hangat. Di sudut ruangan, Sophia sudah menunggunya dengan cangkir di tangannya. Rambutnya disanggul rapi. Atasan berwarna putih dengan kerah berbentuk V dan rok panjang berwarna hitam dengan motif bunga membalut tubuh rampingnya. Meski pakaian yang dikenakan sederhana, tapi itu tidak mengurangi kharismatiknya. Wajahnya tersenyum, lalu satu tangannya melambai dan memanggil, “Eva!”Eva membalas senyumnya dan menghampiri. “Maaf sudah membuatmu menunggu, Sophia.” “Tidak apa-apa. Aku senang sekali karena akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya begitu tertata dan teratur, Eva bisa merasakan wibawa dan kharismanya. Tak heran jika wanita ini cocok menjadi pendamping CEO ternama di kalangannya. “Pesanlah dulu.” Sophia memberikan buku menu untuknya. Dia sendiri sudah memesan matcha latte.Eva menerimanya lalu memilih minuman yang sama dan croissant. Setel

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 193

    Sekali lagi, tubuh mereka saling bersentuhan dan menyatu. Mata Henry menyala saat melihat Eva yang berada di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya, setiap helai rambutnya, dan setiap ekspresinya memancarkan daya pikat tak bisa ditolak.Eva yang berada di bawahnya tampak rapuh dan kuat secara bersamaan. Desahan kecil lolos dari bibirnya, mengundang senyum di wajah Henry. Henry menyukainya. Semua yang ada pada Eva, dia menyukainya. Dan saat ini, atau nanti, Eva hanyalah miliknya. Dia terus memberikan sentuhan lembut pada Eva. Dan setiap kali tubuh mereka bersentuhan, rasanya seperti meneguk air setelah berjalan di padang tandus. Namun anehnya, bukan rasa lega yang dia rasakan, melainkan dahaga yang semakin menyerang. Baginya, Eva seperti oasis di tengah-tengah gurun yang tak cukup dia sentuh. Setiap suara lirih yang keluar membuat Henry semakin tenggelam di dalamnya. Eva pun merasakan demikian. Pelukan dan sentuhan-sentuhan Henry membuatnya seperti terlempar ke dalam sumur tak berdasar.

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 192

    Malam harinya, Henry melangkah keluar, menuju ruang tamu, masih menggunakan handuk kimononya yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh ke lantai saat dia berjalan pelan.Di ruang tamu itu, Elise sudah duduk menunggunya. Wajahnya terlihat masam, dan kedua tangannya terlipat di depan dadanya. “Untuk apa Mama datang ke sini?”“Kenapa kau tidak pernah menjawab telepon dari Mama?” Henry diam, memilih tidak menanggapinya. Dengan sikap acuh tak acuhnya dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, membiarkan tubuhnya bersandar malas tanpa memerdulikan ekspresi kesal Elise yang menatapnya tajam. Dia tahu bahwa saat ini, mamanya tengah marah padanya.Namun, apa pedulinya? “Bagaimana bisa sampai kau keracunan makanan saat di Swiss?” Elise mengomel tanpa jeda. Henry menghela napas panjang. Satu tangannya menjadi tumpuhan kepalanya, malas menanggapi Elise yang terus mengomel tanpa henti. Dengan tangan lainnya memegang gelas berisi air putih. “Ini pasti karen

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 191

    Perlahan, Eva mengerjap. Dia tak tahu sudah berapa lama tertidur. Cahaya senja masuk melalui celah tirai, menandakan waktu sore. Sudah sore?Seketika, mata Eva terbuka lebar. Ternyata, dia tertidur dalam waktu yang lama. Dia berniat untuk bangun, tapi gerakannya terhenti saat menyadari ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh perlahan dan melihat sosok di sampingnya. Sudah pulang? Sunyi beberapa saat.Dia memerhatikan wajah Henry yang masih tidur dengan napas teratur dan wajah tenang. Pria itu masih mengenakan baju kantornya, dengan kancing kemeja atasnya terbuka. Saat tidur, pria ini begitu pulas seperti bayi, tapi saat terbangun, sikapnya begitu menyebalkan. Entah mengapa, pria ini membingungkan, terkadang tak masuk akal bahwa ada orang sepertinya di dunia ini. Masih dengan mata terpejam, Henry bergumam, suaranya serak khas seseorang yang baru bangun tidur. “Apa kau selalu menatapku diam-diam seperti itu?”Eva terkejut, tidak menyangka jika pria itu sudah ban

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 190

    Ryan meringis, lalu menjawab, “Tuan … apakah Anda tahu berapa banyak laporan yang saya kerjakan saat Anda liburan?”Henry menatapnya datar. “Itukan memang tugasmu sebagai Asisten,” jawabnya santai dan bodo amat. “Berarti saya tidak bermalas-malasan, Tuan ….” Ryan menjawab dengan suara merendah. “Kalau tidak malas, kenapa dokumen ini masih menumpuk di mejaku?” Henry ngotot menyalahkannya.Ahirnya Ryan terdiam sejanak, meratapi nasibnya. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya-tanya, kenapa hari ini Henry begitu menyebalkan? Biasanya, bosnya itu biasa saja mengatasi semua dokumen itu dan asik tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kenapa hari ini berbeda sekali? Dia seperti serba salah di mata Henry. Pasti gara-gara tadi pagi aku menerornya!Tapi, itukan karena Nyonya Besar. Kenapa tidak marah saja padanya? “Baiklah, maafkan saya, Tuan,” katanya pasrah.Tak ada yang menang berdebat dengan Henry. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya melirik ke arah ponselnya yang ada di s

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 189

    “Kurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!” gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. “Mungkin ada hal yang benar-benar mendesak,” katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. “Jangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,” katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. “Kau tidak mau menahanku?”Eva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. “Untuk apa?”Seketika Henry memasang wajah serius. “Kau benar-benar tidak peka dengan keadaan.”Eva mengedipkan matanya cepat. “Memangnya apa yang harus kulakukan?” Wajah Henry s

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 188

    Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 187

    Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 186

    Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status