“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.”
Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya.
Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik.
Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”
Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”
“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?”
Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hanya dianggap sebagai perhiasan atau aksesoris dari Henry.
Yang lain ikut menambahi. “Aku rasa jika dia hanya menjadi beban dan tidak bisa diharapkan. Untuk apa kau masih mempertahankannya sampai sekarang?”
Semua hinaan dari keluarga Henry seperti belati tajam yang mengiris perasaannya. Eva merasa tenggorokannya tercekat, membuatnya sulit untuk menjawab.
Air mata Eva mulai menggenang. Dia menatap ke arah Henry, berharap jika suaminya menyadari betapa sulitnya situasi yang dia alami saat ini.
Namun dukungan yang dia harapkan tak kunjung datang. Henry hanya diam tanpa berekspresi sedikitpun.
Keberadaannya di acara tersebut semakin memperjelas betapa tidak diharapkan dirinya di keluarga Harrison. Dengan ketiadaan dukungan dari suaminya, Eva merasa semakin terasingkan.
Kedatangannya berniat untuk memperbaiki hubungan dan menunjukkan bahwa dia bisa menjadi bagian keluarga tersebut. Namun, kedatangannya malah disambut dengan hinaan dan penilaian negatif keluarga Henry yang tidak menyukainya.
Bibi Maria kembali berkata dengan nada sinis. “Jadi, Eva, bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga Harrison? Sepertinya tidak mudah, ya, untukmu.”
Eva menatap Bibi Maria, memaksakan senyumnya sebelum akhirnya menjawab. “Saya berusaha keras untuk beradaptasi dan memberikan yang terbaik, Bibi.”
“Apa waktu selama 4 tahun pernikahan itu hanya kau habiskan untuk beradaptasi?” Bibi Maria tersenyum mengejek.
Bibi Maria terus menimpali. Sementara yang lain enggan untuk berbicara dengan Eva. Mereka semua menatap sinis ke arah Eva.
Eva kembali menunduk, ia merasa semakin tertekan.
Sementara itu, Henry tetap diam, tidak menunjukkan dukungan atau interaksi apapun.
Eva berdiri dan meminta izin lembut. “Maaf, Bibi. Saya ke belekang sebentar.”
Eva berjalan menjauh dari kerumunan keluarga besar Henry. Tak ada yang memerdulikan perasaannya, bahkan suaminya sendiri.
Di tempat duduk, Henry hanya menatap punggung Eva yang semakin menjauh tanpa berniat mengejarnya.
Eva melangkah menuju taman belakang, berusaha untuk menenangkan diri di sana. Sesampainya di taman, Eva mengeluarkan emosi yang terpendam selama di dalam. Dadanya terasa sesak, air matanya deras membasahi pipi.
Eva dan Henry sudah menikah selama 4 tahun. Namun, rumah tangga mereka hanya berisi kekosongan. Meski statusnya sudah berubah menjadi seorang istri, tetapi selama waktu itu, dia seperti wanita lajang.
Tak pernah tersentuh. Bahkan Henry selalu bersikap dingin dan cuek. Menganggapnya tidak pernah ada.
30 menit sudah ia berada di taman belakang. Namun tidak ada satupun dari kerabat atau Henry yang mencarinya. Dia memutuskan kembali bergabung ke dalam acara.
Ketika Eva kembali, kedua matanya menangkap keberadaan Julia, sekertaris Henry. Ia tidak tahu bagaimana bisa Julia berada di acara itu.
Eva merasa iri ketika para kerabat menyambut Julia dengan baik. Bahkan Henry sendiri sangat asik berbicara dengan Julia. Julia terlihat menonjol di tengah-tengah kerumunan itu.
“Masih di sini rupanya.” Bibi Maria muncul tiba-tiba di samping Eva melayangkan tatapan sinis. “Aku kira kau pulang lebih dulu dan menangis sepanjang perjalanan.”
Bibi Maria menatap kerumunan, melihat interaksi Julia dan Henry dari kejauhan. “Mereka benar-benar sangat cocok. Wanita berkelas, dan sangat berkilau seperti mutiara. Aku dengar jika wanita itu dulu adalah kekasih Henry, tapi kau datang dan menjadi penghalang kebahagian mereka!”
Kekasih?
Eva menatap kearah Henry dan Julia tidak percaya. Yang dia tahu jika Julia adalah sekertaris Henry di kantornya.
Mata Eva kembali memanas. Benarkah jika dirinya hanyalah penghalang untuk dua orang tersebut? Mau tidak percaya, tetapi interaksi mereka cukup meyakinkan.
Ia juga teringat jika Henry selalu membawa Julia di setiap acara dari pada membawanya pergi.
Rasa bersalah mulai menyelimuti hatinya. Jika saja dari awal dia menolak menikah dengan Henry, kedua orang itu pasti sudah hidup bahagia saat ini.
“Eem … apa Bibi tahu seberapa jauh hubungan mereka?” Awalnya Eva enggan bertanya, tetapi ia ingin tahu lebih lanjut.
“Mereka bahkan benar-benar sudah merencanakan pernikahan. Tapi tiba-tiba dia harus menikah dengan wanita sepertimu. Setidaknya sadar dirilah, jangan hanya menjadi beban untuknya!”
Kata-kata tajam yang dilontarkan Bibi Maria itu seolah-olah menggaris bawahi kesalahan Eva.
Eva menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. “A-aku-,”
Dengan gerakan cepat, Bibi Maria berbalik meninggalkan Eva dengan perasaan yang membebani hati.
Eva berdiri terabaikan di antara kerumunan itu. Ia merasakan kesepian yang mendalam di tengah-tengah keramaian orang.
Eva memutuskan untuk meninggalkan acara lebih awal. Namun, saat dia melangkah meninggalkan area. Kedua matanya terasa perih, pandangan matanya mulai buram.
“Kenapa harus di saat seperti ini?”
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Suasana di penthouse terasa sunyi, sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak, semakin menegaskan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Eva duduk di sofa ruang tengah. Matanya kosong di depan TV yang menyala, pikirannya benar-benar tidak tertuju pada televisi. Beberapa menit yang lalu, dia terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Saat melihat sisi ranjang, ternyata masih kosong. Henry belum pulang. Awalnya, dia mengira pria itu berada di ruang kerjanya. Namun, ternyata tidak sama sekali. Di sana, sunyi, hanya ada udara dingin yang menyapanya. Berkali-kali dia melirik jam dinding, berharap pintu terbuka dan menunjukkan sosok Henry di ambang pintu. Namun, harapannya tak kunjung nyata. Perasaan tidak enak mulai memenuhi hatinya. Eva mencoba untuk menepisnya. Mungkin acaranya sedikit lambat. Atau mungkin dia sudah dalam perjalanan. Eva tetap mencoba untuk rasional. Akan tetapi, pikirannya tetap berkelana ke se
Henry bertanya sedikit ragu, meski dia sendiri merasakan ada perubahan pada penampilan barunya. “Apa ini tidak berlebihan?”“Sama sekali tidak,” jawab Eva, meyakinkan. “Justru kau terlihat lebih berkharisma. Cocok untuk acara malam ini.”Eva melanjutkan, “Di tambah dengan jas barumu. Kau terlihat sempurna.”Mendapat pujian dari Eva membuat senyum Henry mengembang. Senyum percaya diri itu terukir jelas di wajahnya, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Eva, dan berbisik pelan, “Suamimu memang sangat menawan. Apa kau baru menyadarinya.” Eva memutar kedua matanya malas. Geli, tingkat kepercayaan suaminya terkadang memang setinggi langit. Meski dalam hatinya menyadari jika suaminya memanglah tampan. Dia mencubit lengan Henry. “Kau sangat narsis!”Henry terkekeh, dia mengangkat tangan Eva yang mencubitnya dan mencium punggung tangannya. “Aku hanya mengiyakan fakta, Istriku. Dan berkat sentuhan tangan ajaibmu, aku lebih bersinar malam ini.”Eva menggeleng, meski senyum tidak bisa disembunyi
Henry duduk di ruangannya, matanya mengamati layar proyektor yang menunjukkan grafik dan angka proyek yang sedang berjalan. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya, menganalisis progres dan mencari potensi masalah sebelum hal itu terjadi. Suasana begitu tenang, hingga akhirnya suara ketukan pelan memecah keheningan.“Masuk,” kata Henry tanpa mengalihkan pandangannya. Ryan muncul di ambang pintu. “Tuan, ada yang ingin saya sampaikan.”Akhirnya, Henry mengalihkan pandangannya. “Ada apa? Apa ada proyek bermasalah?”“Bukan, Tuan. Ini soal yang lain,” jawab Ryan dengan ragu-ragu sabil mendekat ke meja. “Ini soal Tuan Besar dan Nyonya Helen.”Alis Henry terangkat. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan pandangannya sepenuhnya tertuju pada Ryan. “Apa yang kau temukan?”Ryan menarik napas, sebelum akhirnya menjelaskan, “Ada beberapa informasi yang cukup aneh.” Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Sepertinya ada semacam … hubungan di antara mereka.”Kening Henr
Saat itu juga, awan hitam seperti menyelimuti dirinya. Suasana hatinya begitu dongkol. Tak ada yang benar-benar tahu apa sebenarnya yang diinginkan wanita ini. Samuel memalingkan wajahnya, tak ingin melihat Julia. Namun, dia bisa merasakan senyum mengejek dari Julia padanya. Sebuah langkah ringan terdengar mendekat lalu berhenti di sampingnya. “Kau mencoba menghindariku.” Suara Julia terdengar lembut, tetapi nada suaranya tersirat ejekan yang kuat. “Ternyata kau memang pengecut.” “Bukan hanya pengecut saat menghadapiku, tapi juga mengenai perasaanmu!” lanjut Julia. Dia terkekeh pelan membuat Samuel menatap tajam ke arahnya. Samuel semakin jengkel dengan keberadaan Julia di sana. Dia berusaha keras untuk tidak terpancing dengan semua kata-kata Julia. Entah upaya apa yang harus dilakukan agar bisa membuat wanita itu pergi dari hadapannya. Melihat reaksi Samuel, senyum sinis semakin merekah di wajah Julia. Itu adalah reaksi yang dia inginkan. Hanya beberapa kata, pria itu sudah te
Perjalanan singkat menuju gedung teater terasa nyaman. Di dalam mobil, Henry tak membiarkan genggaman tangannya pada Eva terlepas. Mereka menghadiri pertunjukan Broadway. Begitu tiba di teater, suasana sudah ramai. Dengan sigap, Henry memimpin jalan, mencari pintu masuk yang tidak terlalu padat pengunjung. Dia sudah memilih tempat duduk yang paling strategis dan nyaman, di bagian tengah mezzanine, dengan ruang kaki yang cukup lapang dan tidak terlalu dekat dengan tangga yang curam. Begitu duduk, Eva menghela napas lega. Kursinya empuk, dan jarak pandang ke arah panggung sangat pas. Henry sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Eva dan berbisik pelan, “Bagaimana tempat dudukmu? Apa kau merasa nyaman?” Eva tersenyum simpul, menyadari sikap protektif Henry selama masa kehamilannya. “Sangat, sangat, sangat nyaman. Kau tenang saja.” Henry mengangguk. Begitu saatnya tiba, lampu teater meredup, tirai perlahan terangkat. Eva menatap panggung itu dengan mata berbinar. Di atas pa
Pagi itu baru menunjukkan pukul 09.00, tetapi suasana di ruang rapat tampak mencekam, meja panjang dalam ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang. Di ujung meja, Henry duduk dengan setelan jas yang rapi, tatapannya mampu membuat semua orang membeku, bahkan sebelum dia berbicara. Dia meletakkan tablet ke atas meja dengan suara ‘tak’ yang cukup nyaring, membuat kepala-kepala yang menunduk itu tersentak kaget. Ini masih pagi, tetapi emosinya sudah memuncak. Tak ada yang berani menatap wajahnya. Pria itu sangat mengerikan saat sedang marah. “Sudah dua minggu dan izin konstruksi The Halden di Hudson Yards masih belum keluar?” tanya Henry tegas, matanya menyapu semua orang yang ikut berpartisipasi dalam rapat. “Para investor bertanya-tanya, kenapa tidak ada pergerakan di lapangan. Katakan padaku, siapa yang bertanggung jawab mengurus ini?” Di sisi kanan meja, Ben—kepala legal, mencoba untuk menjelaskan, “Kami sudah ajukan sesuai prosedur, Tuan. Tapi pihak Departemen Pembangunan kot