Setibanya di rumah, Eva segera melepaskan sepatunya kemudian menaruhnya di rak. Lalu, dia menuju ke ruang tamu, mendudukkan dirinya di atas sofa empuk. Wajahnya masih tampak kelelahan, tetapi tubuhnya sudah lebih baik dibanding sebelumnya. Namun, baru saja dia duduk, suara langkah di belakangnya terus mengikuti. Dia melirik ke samping. Henry duduk di sebelahnya. Alis Eva sedikit berkerut. “Ada apa?”Henry menggeleng. “Aku hanya memastikan kau duduk dengan nyaman.”Eva mengerjap cepat. Dia baru dinyatakan hamil beberapa jam yang lalu, tetapi Henry sudah protektif. Seperti saat perjalanan pulang tadi, Henry selalu meminta sopir taksi untuk memperlambat laju taksinya. Bahkan dia mengomel ketika sopir itu mengerem secara tiba-tiba. Sepanjang perjalanan, Henry menggenggam tangannya, tanpa lepas sedetik pun. Awalnya, dia mengira pria itu tidak menyukai bayi ini, ternyata dugaannya salah. Suaminya begitu antusias, hanya saja, pria itu sulit menunjukkan ekspresinya. “Aku sudah duduk d
Matahari menggantung tinggi di atas kota Hudson, menyinari jalanan Hudson dengan terik. Langit tampak cerah—berwarna biru dan dihiasi awan putih tipis bergerak perlahan. Udara dipenuhi aroma daging asap, roti panggang bercampur wangi kopi dari kafe di sepanjang Warren Street. Henry dan Eva berjalan berdampingan di trotoar batu yang ramai dengan pejalan kaki. Suara sepatu di atas trotoar terdengar jelas saling beradu. Meski suasana terik, semilir angin membuat jalan-jalan terasa menyenangkan. Di sisi kanan jalan, aroma daging asap menguar dari sebuah food truck yang antriannya membentuk seperti ular. Henry sempat memandanginya dan beralih memandang Eva, dia sangat tahu istrinya menyukai makanan kaki lima.Langkah mereka terhenti. Tiba-tiba saja, Eva menutup hidungnya, wajahnya memucat. “Kau tidak apa-apa?” tanya Henry cemas, memegang kedua lengan Eva. Eva menggeleng cepat, tapi cepat-cepat dia berjongkok menahan perutnya di bagian atas. “Baunya terlalu menyengat,” katanya, menel
Beberapa detik Julia berdiri di ambang pintu, matanya menyisir setiap sudut ruangan. Tidak ada Henry? Di mana dia?Dia kembali memandang Ryan dengan tatapan tidak suka, rasa muaknya yang sudah lama terpendam kini kembali muncul ke permukaan. Dia sungguh membenci pria sok berkuasa itu.Tak peduli siapa pun itu, Julia melangkah masuk dengan cepat. Saat di depan meja, kedua tangannya mendarat dengan sedikit keras. “Di mana, Henry?” Julia bertanya tanpa rasa malu.Ryan menatapnya dengan sorot menantang. Wanita ini benar-benar tidak ada rasa sopan santun dan malunya. “Ini di lingkungan kantor, Nona Julia. Bersikaplah lebih sopan,” kata Ryan, memberitahu. Ryan menyandarkan punggungnya lalu melipat tangannya di depan dada. “Untuk apa mencari Tuan Henry?”“Aku ingin mengatakan sesuatu padanya!”“Tuan Henry cuti untuk beberapa hari. Katakan saja padaku apa yang ingin disampaikan.”Kepalanya terasa mendidih. Tangannya mengepal di bawah meja begitu mendengar Henry cuti. Pria itu pasti seda
Henry dan Eva menuntun sepeda mereka menyusuri jalanan kecil membelah padang rumput. Jalanan dipenuhi kerikil halus dan diapit pepohonan yang menjulang tinggi di kejauhan. Burung-burung berkicauan di dahan pohon, mengisi pagi tenang yang tidak pernah mereka temukan di kota. Eva naik lebih dulu ke sepeda nya, mengayuh pelan sampai keseimbangannya terjaga. Sementara Henry masih menuntun sepeda nya sambil berpikir, bagaimana caranya menaiki sepeda ini?Eva menoleh ke belakang. “Ayo kejar Kau bisa, ‘kan?” tanyanya, dengan nada sedikit menggoda. Henry memandangi sepeda itu seperti musuh bebuyutannya. “Harusnya bisa,” jawab Henry pelan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menaiki sedel. “Baiklah … mari kita buktikan.”Butuh beberapa detik dia menyesuaikan sebelum akhirnya dia berhasil mengayuh, meski awalnya kehilangan keseimbangan. Eva yang sudah lebih mengayuh di depan menoleh kebelakang, tertawa melihatnya kehilangan keseimbangan. “Jangan tertawa dulu,” katanya, sambil menahan k
Pagi itu, matahari mulai terbit perlahan di balik pepohonan. Meski begitu, udara kota Hudson masih terasa sejuk, belum sepenuhnya hangat. Henry tampak membuka matanya lebih dulu. Kepalanya sedikit miring, memerhatikan Eva yang memunggunginya dan masih terlelap. Suasana tenang di kota itu berhasil memperbaiki mood Eva. Terlihat jelas istrinya begitu lelap. Biasanya, Eva akan bangun lebih dulu darinya lalu menyibukkan diri menyiapkan semua keperluannya sebelum ke kantor. Henry sedikit terbangun, dan satu tangannya dia gunakan untuk menumpu kepalanya. Bibirnya membentuk senyuman yang menawan. Satu tangannya lagi melingkar di pinggang Eva kemudian mengelus perutnya perlahan. Senyum itu perlahan memudar. Sesuatu tiba-tiba muncul di dalam pikirannya. Seorang bayi. Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul keinginan memiliki bayi dari Eva. Namun, itu tidak buruk, ‘kan? Lagipula, mereka sudah lama menikah. Sudah sewajarnya dia memiliki pemikiran seorang bayi.Dia membayangkan dirinya menggen
Eva duduk di teras rumah dengan lutut dirapatkan, dan kedua tangannya menempel di atasnya. Udara malam cukup dingin, tetapi tidak menusuk. Namun mampu membuat siapa saja ingin mengenakan jaket tipis atau duduk di dekat perapian.Sedari tadi, matanya memandangi hamparan langit malam yang gelap dan luas. Karena minim pulosi dan cahaya, langit Hudson jauh lebih bersih. Bintang-bintang terlihat jelas—berkelap-kelip di sela awan tipis yang melintas perlahan.Suara kota yang biasa dia dengar kini berganti dengan suara serangga, burung malam, dan gesekan angin di pepohonan. Sesekali terdengar suara mobil melintas dari kejauhan. Eva menarik napas, menikmati suasana sunyi yang tidak bisa dia temukan di kota. Dari belakang, terdengar suara langkah pelan yang mendekat. Tanpa menoleh pun, Eva tahu siapa yang datang. “Kenapa tidak memakai pakaian hangatmu?” Henry duduk di sebelah Eva sambil menyerahkan cokelat panas di tangannya. “Minumlah selagi masih hangat.”Eva menoleh, mengambil cangkir it