Share

bab 3

Author: Tiga djati
last update Last Updated: 2025-11-24 19:08:45

"Apa kau melihat pelayan itu?"

Mendengar pertanyaan wanita terkasihnya, Theo yang sedang memeriksa pesan masuk dari kolega bisnisnya, mendongak.

"Ya? Oh, ya. Aku melihatnya. Kenapa?"

Hayley menjilat sebentar selai raspberry di ujung bibirnya, lalu menjawab dengan suara pelan, "Kurasa dia sedikit pincang."

Theo melihat ke arah seorang gadis yang baru saja mengantarkan makanan barusan. Jika di lihat lagi, memang benar bahwa cara berjalannya terlihat sedikit sulit. Theo merasa tidak ada yang penting dan kembali berkutat pada ponselnya.

"Ya, mungkin memang seperti itu cara berjalannya," kata Theo acuh.

Tiba-tiba ponsel yang dipegangnya direnggut.

Theo menatap protes kearah Hayley.

"Kenapa kau terus bermain ponselmu saat kita sedang menikmati waktu bersama?" Hayley terlihat kesal meski nada bicaranya masih manja.

"Aku meninggalkan pekerjaanku di Swiss, masih ada beberapa laporan yang harus kuurus."

Hayley menghela napas lelah. "Tidak bisakah kau mengatur waktu untuk itu? kau bilang sendiri bahwa kita pulang untuk. erlibur sebelum hari pernikahan."

Theo menghela napas kecil, terlihat menyesal. "Ah, maafkan aku. Baiklah, apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Hayley tersenyum misterius, lalu bergerak seolah ia akan membuka kancing blouse-nya.

Theo yang paham pun tertawa kecil.

"Bagaimana jika aku menunjukkan foto masa kecilku dengan keluargaku saja?"

Hayley mengerutkan kening, "Apa kau tidak mau tidur denganku?" Bibirnya cemberut.

"Bukan begitu, kita masih punya banyak waktu. Ayo, aku akan menunjukkannya padamu, kau juga harus mengenal keluargaku lebih dalam."

Hayley yang tidak puas, tetap mengikuti ajakan Theo.

Menurutnya, pria itu hampir seperti biksu. Theo bukan pria baik-baik seperti penampilannya. Theo senang menetap di kasino, berjudi dan menyaksikan pertunjukan stripped atau melakukan gaya hidup malam seperti kebanyakan pria dewasa zaman sekarang, tapi anehnya Theo terlihat tidak terlalu tertarik dengan urusan ranjang, terutama melirik para jalang dengan mata keranjang Theo justru jijik dengan mereka.

Setidaknya itu menguntungkan Hayley.

Namun, Hayley jelas tidak puas hanya menerima ciuman bibir selama dua tahun mereka menjalin hubungan. Bahkan kebanyakan ia sendiri yang berinisiatif mengajak Theo tidur. Namun, bukan berarti Theo tidak mencintainya.

Theo hanyalah seseorang yang terhormat terlepas dari hobinya yang seperti lelaki brengsek. Sikapnya ramah dan menjunjung tinggi batasan. Mungkin itu wajar karena darah bangsawan yang mengalir di nadinya seorang bangsawan yang dikelilingi hingar-bingar, dibatasi dengan kesopanan, kehormatan dan martabat yang tertanam di jati dirinya, yang telah mendarah daging

***

Shanina masih harus mengantar camilan sore untuk Kaysen karena suruhan bibinya.

Ia mengetuk pintu kamar Kaysen beberapa kali, tapi masih tidak ada jawaban. Apa dia tidak mendengarnya?

"Tuan Kaysen, ini aku," seru Shanina lebih keras.

Barulah setelahnya ia mendengar suara yang mempersilahkannya masuk.

Ruangan tersebut gelap, seluruh tirai tertutup, hanya menyisakan celah kecil yang tenggelam dalam kegelapan. Shanina merasa heran, tapi hanya itu, ia tak tertarik mengetahuinya lebih lanjut. Pandangannya bertemu sosok Kaysen di kursi gaming-nya, anehnya pria itu memiliki gelagat yang mencurigakan.

Samar-samar, Shanina bisa mencium bau aneh, tapi ia tak tau apa itu.

"Cepat selesaikan urusanmu dan pergi dari sini," usir Kaysen.

Shanina menaruh nampan di meja yang terletak cukup jauh dari Kaysen.

Saat Shanina hendak pergi dari sana, matanya menangkap banyak remasan tisu di bawah Kaysen, sekilas ia melihat kilatan cairan di lantai tersebut.

Apa para lelaki tidak terbiasa rapi? Semua itu tampak berantakan di mata Shanina sebagai seorang pelayan yang terbiasa bersih-bersih. Itu membuat risih.

"Lantainya kotor, aku akan membersihkannya."

"Tidak usah!" Kaysen berseru, buru-buru berdiri.

Shanina menyipitkan matanya menatap Kaysen yang tampak gelagapan, pria itu kemudian menyadari laptopnya masih terbuka, lantas menutupnya dengan kasar. Hal itu membuat Shanina mengernyit, sepertinya dia melihat gambar dirinya di laptop.

Mungkin salah lihat.

"Keluar dari kamarku!"

Shanina hampir mendengus kesal. Jika Kaysen tidak mau, kenapa harus sampai berteriak? Shanina tetap berusaha menunjukkan keramahannya.

"Baik, aku akan keluar. Nikmati waktumu," ujarnya dengan nada flat.

Shanina keluar dari kamar Kaysen.

Gadis itu memutar bola matanya, membatin di dalam hati.

Orang aneh.

Kaysen di dalam kamarnya menghela napas kasar dan mengusap wajahnya. Ia melihat piring berisi sandwich telur kesukaannya bersama jus buah yang baru di antar Shanina. Kaysen mendekatinya, duduk di sofa dan mengambil sandwich tersebut, mengamatinya.

"Dasar manusia setengah matang."

Baginya, Shanina seperti telur mata sapi setengah matang di roti tersebut, gadis itu melakukan segalanya setengah-setengah, setengah hati, setengah cinta-setengah benci. Kaysen bingung.

Kemudian seakan terkejut, Kaysen membulatkan matanya, tubuhnya mematung.

Apa tadi dia melihat celanaku?

Masalahnya sesuatu di sana masih menggembung.

***

Makan malam keluarga lebih ramai dari biasanya karena ketambahan dua orang, sementara itu Shanina ikut bekerja lembur bersama rekannya demi mendapatkan uang bonus. Dia akan menabung uangnya. Suatu saat, ia sendiri yang akan membayar biaya perawatan ayahnya.

Pertama, setelah lulus sekolah, ia akan keluar dari Mansion Carter dan menyewa tempat tinggal yang jauh. Jika ia mendapatkan beasiswa lagi dari keluarga Carter, ia akan melanjutkan kuliah di jurusan fashion design yang sangat ia impikan sejak dulu. Jika tidak, maka ia akan bekerja, menafkahi dirinya sendiri dan membiayai kesembuhan ayahnya.

Semuanya berjalan seperti biasanya hingga akhirnya hari kelulusan tiba.

Prom night diadakan di hotel mewah yang menunjukkan bahwa sekolahnya bukan sekolah biasa. Murid seangkatan Shanina memakai gaun cantik dan tuksedo elegan, termasuk Shanina yang berhasil membuat gaun prom-nya sendiri. Gaunnya tidak terlalu ramai, tapi terkesan anggun dan manis berkat tangan berbakat Shanina.

Seharusnya Shanina merasa senang sekarang, tapi hatinya justru gelisah.

Ia menatap botol obat kecil di tangannya dengan pupil bergetar.

Obat perangsang.

Paman dan bibinya tidak akan pernah menyerah dalam hal ini. Mereka sangat ingin menjadikannya sebagai salah satu anggota keluarga Carter. Sudah jelas bahwa mereka akan mengambil seluruh harta Carter jika ia berhasil menjadi istri Kaysen.

Tapi aku tidak mau!

Shanina menatap bibinya dengan pandangan memohon.

"Bibi, aku tidak bisa melakukan ini, sungguh. Aku akan mencoba cara lain saja. Aku pasti bisa membuat Kaysen menyukaiku, dia pasti tertarik padaku meski hanya sedikit, atau mungkin dia hanya- dia hanya malu mengungkapkan perasaannya."

"Nina, ingat kesepakatan kita. Kau berjanji akan menurutiku dan suamiku jika kau ingin ayahmu selamat.

Shanina berusaha menahan air matanya, susah payah ia merias wajahnya sendiri di saat dirinya tidak pandai berias. Shanina sangat tidak menyukai ide ini. Dia tidak ingin menyerahkan tubuhnya pada siapapun sebelum menikah, itu merenggut harga dirinya.

Shanina menggeleng.

"Tidak, bibi beritahu saja padaku di mana ayah dirawat. Aku akan membiayainya sendiri mulai sekarang."

Amela, bininya, menatap Shanina dengan sorot tajam. Tampak seperti ibu tiri. Amela sudah menduga akan seperti ini jadinya, tapi mau bagaimanapun, rencana yang sudah ia susun harus berhasil.

"Bukan seperti itu yang Kumai, Nina. Ayahmu ada di tempat yang baik, dan dia hanya butuh para dokter hebat di sampingnya. Lagipula percuma jika kau hendak menemuinya."

Shanina terpaku sejenak. "P-percuma? Kenapa?" Pikirannya sudah panik.

"Dia ada di luar negeri. Ada rumah sakit yang lebih bagus di sana dan bisa menjamin kesembuhan ayahmu. Kau tidak akan mampu pergi ke sana dengan uang tabunganmu yang tidak seberapa itu, tapi apa jadinya jika kau membatalkan kesepakatan ini dengan tidak mematuhi ku, Shanina?" Amela menatap penuh intimidasi ke mata Shanina yang berkaca-kaca. "Kau mengetahuinya sendiri."

Shanina meremat samping gaunnya. Tubuhnya gemetar antara marah dan perasaan tidak berdaya. Uang lagi, masalahnya adalah uang. Ia harus mencari uang sebanyak itu dari mana?

"Biarkan saja, Amela. Jika dia tidak mau, cukup kita batalkan saja pembayaran untuk satu bulan ke depan."

Brahms, paman Shanina yang sejak tadi duduk di bangku sembari merokok dan menghitung uang di tangannya, menyeletuk.

Shanina melotot. "Paman!"

"Itu benar, 'kan? Kau tidak ingin menurut kami, padahal jika nanti Kaysen menikah denganmu, kau jugalah yang akan untung."

Tapi bukan itu yang Shanina inginkan. Itu menjijikan dan tidak beradab. Shanina tidak bisa memikirkan solusi lain untuk masalahnya, emosinya menguasainya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 13

    Theo tidak pulang, mungkin dia menginap lagi di kantornya. Shanina tidak keberatan. Masalahnya, mereka baru saja menikah, orang-orang mungkin membicarakannya di belakang, tapi sekali lagi, Shanina sebetulnya tidak begitu peduli. Ia hanya tidak memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan semenjak menikah. Siang itu Shanina mendengar pembicaraan Helena, ibu mertuanya tersebut menyuruh seseorang untuk mengantarkan makan siang ke kantor Theo. Shanina tahu kenapa wanita itu tidak menyuruhnya. Namun, ia tetap menghampirinya dan menawarkan diri, bersikap tebal muka. Alhasil, di sinilah Shanina berada, berdiri di depan sebuah gedung menjulang yang ada dihadapannya. Dia belum pernah melihat kantor kebesaran Theo secara langsung, dan ternyata itu sungguh luar biasa, mungkin gedung tersebut memiliki empat puluh laintai lebih. Dengan menenteng tas bekal berisi makanan yang disiapkannya sendiri, Shanina mulai memasuki gedung tersebut. Shanina menaiki undakan di lobi, flat shoes tanpa mere

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 12

    Ia mengangguk, menelan salivanya susah payah. Shanina sungguh paham bahwa meminjam uang di hari pertama pernikahan akan sangat tidak wajar untuk pasangan yang saling membenci seperti ini. Namun, pagi-pagi sekali bibinya sudah memberi perintah untuk mentransfer mereka uang. "Kalau begitu apa aku boleh pergi keluar hari ini?" "Akan lebih baik jika kau pergi dan tidak kembali lagi." Theo berbalik, matanya segera bertubrukan dengan manik hijau cerah milik Shanina yang berkaca-kaca, wajahnya tampak tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu menelan tangisannya. Theo justru semakin ingin menghancurkan pertahanan itu. "Jangan pernah meminta izin lagi dariku untuk hal apapun itu, jangan berbicara padaku atau menyentuh barang-barangku. Kau hanya istri dalam nama, jadi urus saja urusanmu sendiri." Melihat pandangan Shanina yang sesekali tak fokus, Theo mengernyit samar. Ia berbalik lagi, memakai pakaiannya. Sementara itu Shanina menatap lantai di bawahnya dengan sorot kosong

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 11

    Baru saja Shanina melangkahkan kakinya masuk ke kamar Theo, aroma musk yang menenangkan menyeruak Indra penciumannya. Suara gemericik air yang datang dari kamar mandi menarik perhatian Shanina, samar-samar tercium bau sabun yang khas. Theo sedang mandi di sana, jika pria itu keluar, ia akan mati gaya. Shanina menyeret kopernya, melangkah menuju lemari besar yang terdapat di sisi ruangan, Ia meletakkan pakaiannya yang tidak seberapa disana, bersebelahan dengan pakaian Theo yang begitu banyak. Setelah merapikan semua barangnya, ia menyiapkan pakaian santai untuk Theo. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia duduk di kasur, memijat kaki kanannya yang sakit dan linu. Pikirannya seperti benang kusut, apakah Theo suka minum teh sebelum tidur atau makan camilan sebelum tidur. Perintah agar membuat Theo menyukainya sungguh membebaninya. Shanina amat pesimis, ia bahkan sudah sangat bersyukur apabila Theo mau sedikit saja melunakkan sikap padanya. Tangannya yang menyentuh permukaan k

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 10

    Terlepas dari pilihannya atau bukan, dekorasi pesta yang dilihatnya adalah hal yang amat menakjubkan. Siapapun akan bahagia melihat pernikahannya diadakan semegah sekaligus se-elegan ini. Kilauan lampu kristal terpasang di setiap area langit-langit yang dihiasi berbagai dekorasi yang sesuai tema, yaitu tema kastil klasik penuh keanggunan yang anehnya mengingatkannya pada Theo. Saat pandangannya mengedar kesekeliling, mendadak ia menyadari bahwa seluruh atensi tertuju padanya, membuat tubuhnya lemas seperti agar-agar. Namun, itu belum seberapa di bandingkan saat matanya bertubrukan dengan mata biru berlian yang membekukan. Pria itu berdiri di altar dengan setelan tuksedo hitam yang bernilai jutaan dolar. Postur tubuhnya tegap, sempurna bagai bangsawan. Layaknya manifestari dari Zeus, pria itu tak terjangkau, ia kuat, terhormat, dan tak bisa di tandingi oleh siapa pun. Shanina bisa membayangkan seberapa sulitnya itu bagi Theo untuk bersanding dengannya, ibarat seorang pangeran yang

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 9

    Shanina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Walaupun ia selalu memakai bedak setiap pergi ke sekolah, tetap saja ia tidak pernah berdandan setebal ini. Meski tebal, anehnya riasan di wajahnya terlihat natural. Keluarga Carter jelas tidak akan menyewa MUA murahan untuk pernikahan putra sulung mereka sekalipun pernikahan itu tak di inginkan. Matanya yang sedikit bengkak juga tidak terlihat lagi berkat tangan-tangan berbakat dan produk berkelas yang dibubuhi di wajahnya. Ia tidak berniat menangis semalaman, tapi memikirkan akan menikahi pria seperti Theo membuat Shanina dilanda cemas setengah mati. Belum apa-apa ia sudah menerima kebencian Theo, gagang sapu saja dibanting sampai patah, bagaimana jika ia tidak sengaja membuat Theo marah lagi nanti? "Sekarang bisakah anda berdiri? Saatnya memakai gaun." "Ah, ya. Tentu." Shanina berdiri, membiarkan mereka memasang gaun yang rumit tersebut sama sekali bukan style yang disukainya. Dalam sek

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 8

    Shanina kaku, padahal bibinya-lah yang semalam menguncinya bersama Theo. Jika ia membuka mulut, dirinya juga akan terkena imbas. Belum lagi, Amela mencubitnya keras secara diam-diam untuk tutup mulut. "Mungkin saja," Potong Amela hanya untuk melihat Theo dengan pandangan menuduh, lalu memalingkan tatapannya, "Tuan Theo secara tidak sadar mengunci dan menahan Nina sehingga Nina tidak bisa berbuat apa-apa." Theo mendengus pelan. Shanina menunduk takut melihat Helena yang memelototinya, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa seperti orang paling bersalah disaat dirinyalah yang merupakan korban. Kepalanya pusing, Ia mual. "Itu benar." Kalimat Kaysen mengambil alih atensi semua orang. Mereka semua menatap Kaysen dengan pandangan bertanya. Kaysen melanjutkan ucapannya, "Apa yang dikatakan Shanina benar, dia hanya mengantarkan teh untukku, aku menyuruhnya untuk memberikan teh itu pada Theo sekaligus menyuruhnya mengawasi Theo, kalian tahu kalau Theo sangat menyebalkan ketika mabuk."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status