Share

bab 2

Author: Tiga djati
last update Last Updated: 2025-11-23 23:21:59

Shanina Del Cava pernah menjadi korban tabrak lari empat tahun lalu. Malam itu, ia dan ayahnya baru pulang dari karnaval di tengah kota. Mereka masih tinggal di kota kecil yang tidak terlalu terkenal, hidup damai dan tenteram. Awalnya mereka bahagia menikmati karnaval tersebut di hari ulang tahunnya sebelum semuanya berubah menjadi malapetaka.

Ia dan ayahnya yang terlalu asyik menikmati karnaval, baru pulang saat tengah malam ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur area tersebut. Jalanan licin, tempat tinggal mereka berada di pelosok yang jalurnya melewati Padang pohon Pinus minim lampu jalan.

Petir membelah langit dengan cahayanya yang benderang, disertai bunyi geluduk yang mengagetkan. Namun, ayahnya masih mampu mengendalikan kemudinya dengan lihai. Hanya saja, dari arah berlawanan, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi seolah sedang dikejar sesuatu.

Mobil tersebut oleng, melaju kencang kesamping, dan tak terelakkan menabrak mobil ayahnya.

Hari ulang tahunnya yang ketiga belas berubah menjadi awal kemalangannya.

Setelah itu, ayahnya tidak bangun lagi sampai sekarang, dan baru diketahui bahwa ayahnya kanker usus setadium tiga. Sementara itu, Shanina harus menerima dengan lapang dada bahwa kaki sebelah kanannya tidak akan bisa kembali normal. Kakinya mungkin terlihat baik-baik saja, tapi terasa sakit ketika digunakan terlalu berlebihan.

Syaraf dikakinya rusak, tapi Shanina tidak mempunyai biaya untuk terapi agar kakinya sembuh, dan mungkin jika dibiarkan lama, kakinya tidak akan bisa kembali normal.

Hingga Shanina pun menjadi terbiasa. Rasa sakit itu sudah tidak lagi mengganggunya, meski terkadang ia malu dilihat orang karena cara berjalannya yang sedikit pincang. Terkadang orang tidak menyadarinya, tapi mereka yang sadar akan cara berjalannya akan menganggapnya orang aneh.

Untuk membiayai perawatan ayahnya dirumah sakit, Shanina yang saat itu masih berada di jenjang sekolah menengah pertama, terpaksa memakai tabungan orang tuanya. Ia tidak bisa bekerja karena orang-orang tidak akan mau mempekerjakan anak dibawah umur. Uang tersebut perlahan habis, namun ayahnya tidak kunjung sembuh.

Satu-satunya orang yang bisa ia mintai bantuan adalah paman dan bibinya yang tinggal di kota besar. Hanya mereka keluarganya yang tersisa. Shanina tahu mereka tidak begitu senang membantunya, tapi mereka tetap membantunya dengan syarat bahwa ia harus ikut bekerja bersama mereka di Mansion Carter setelah ia lulus SMP.

Ayahnya di pindahkan kerumah sakit yang lebih bagus, tapi paman dan bibinya tidak memberitahunya letak rumah sakit itu. Tanpa Shanina ketahui, setelah mereka melihat rupa Shanina hari itu, mereka akhirnya mau membantu Shanina hanya untuk memanfaatkan gadis cantik itu. Sungguh sia-sia memiliki rupa menarik tapi tidak dimanfaatkan dengan baik.

Shanina akhirnya bekerja di Carter Mansion sebagai pembantu seperti paman dan bibinya. Ia juga mendapat kesempatan langka untuk bersekolah di sekolah mahal dengan di biayai oleh Carter Foundation karena kedekatan antara paman dan bibinya dengan keluarga Carter. Mereka telah bekerja di bawah Carter selama separuh hidup mereka.

Shanina merasa beruntung di tengah-tengah kemalangannya, tanpa mengetahui bahwa paman dan bibinya mempunyai niat buruk.

Niat tersebut terungkap. Ternyata mereka menyuruhnya untuk mendekati anak bungsu keluarga Carter, Kaysen Rey Carter, yang seumuran dengannya. Shanina menolak langsung, menggeleng keras, tapi saat mereka mengancam akan menghentikan biaya perawatan ayahnya, mulut Shanina terkatup, ia tidak bisa lagi menolak.

Jika ia lulus nanti, ia akan bekerja keras dan membiayai sendiri perawatan ayahnya yang menghabiskan ribuan dolar itu. Sekarang, ia masih harus mengandalkan paman dan bibinya. Ia juga tidak tahu di rumah sakit mana ayahnya dirawat. Shanina tahu mereka sengaja tidak memberitahunya.

Di pagi sampai sore hari ialah waktunya untuk bersekolah, begitu malam hari dan liburan sekolah tiba, ia bekerja di Mansion megah tersebut, membantu paman dan bibinya. Banyak sekali pelayan di sana, tapi pamannya adalah kepala pelayan. Pelayan lain bersikap baik padanya, menjilatinya untuk mendapat keuntungan. Shanina tidak peduli selama mereka tidak merugikannya.

Shanina mengganti seragamnya dengan baju biasa sebelum pergi membantu bibinya menyiapkan makan malam. Dapur lebih ramai dari biasanya karena kepulangan anak sulung Carter beberapa jam lalu. Begitu banyak makanan yang baru jadi dan masih mengepulkan asap, tapi mereka masih harus membuat dessert dan appetizers.

"Maaf aku terlambat," kata Shanina yang mengambil apron dan memakainya.

"Oh, Nina, tepat sekali. Piring kotor tidak terpegang, tolong cucikan semuanya, ya?"

"Baik, Bi."

Shanina tidak lagi kaget melihat tumpukan piring kotor tersebut. Kebanyakan adalah alat masak dan wadah kotor yang bertumpuk. Shanina mulai mencuci semuanya dengan cekatan.

Saat itulah mereka semua mulai bergosip, Shanina mendengarkan dalam diam.

"Kudengar Tuan Theo pulang bersama tunangannya, 'kan? Aku belum melihat tunangannya."

"Oh aku sudah melihatnya, dia cantik sekali! Seperti bidadari! Tubunya indah dan pembawaannya berkelas. Aku tidak pernah melihat orang sesempurna Nona Hayley."

"Mereka pasti serasi. Tuan Theo yang tampan dan Nona Hayley yang cantik, kita akan cuci mata setiap hari jika mereka menjadi majikan kita selanjutnya, sangat beruntung!"

"Olive! jangan bicara keras-keras!"

"Toh mereka tidak akan mengunjungi dapur." Olive mengedikkan bahunya acuh.

Itu benar, dapur memang area pelayan, jarang sekali tuan rumah pergi ke dapur.

Shanina hanya mendengarkan selewat. Namun, rasa penasarannya untuk melihat wajah Theo mendadak hadir. Belum pernah ia melihat wujudnya secara langsung. Ia hanya melihatnya melalui pigura-pigura yang terpajang di dinding. Shanina sendiri bukannya tertarik dengannya, gadis itu bukanlah orang yang lemah terhadap tampang.

Semenjak paman dan bibinya menyuruhnya untuk mengambil hati Kaysen, entah kenapa pandangannya terhadap seluruh Carter berubah menjadi kurang menyenangkan. Di dalam pikirannya, Kaysen adalah penganggu, jika pria itu tak ada, ia tidak akan perlu menghabiskan masa remajanya dengan penuh kesulitan seperti itu, dirundung oleh fans fanatik Kaysen dan sibuk menarik perhatiannya.

Shanina menghela napas, mau bagaimana lagi, semua itu sudah terlanjur terjadi.

"Tapi apakah Nona Hayley bisa mengalahkan kecantika Nina kita?"

Tiba-tiba subjek obrolan berbelok.

"Aku tidak ingin sampai mereka mendengar hal ini, siapa yang senang di bandingkan dengan pelayan? Jangan bawa-bawa aku," sahut Shanina mengerutkan keningnya.

Mereka semua menatap Shanina. Mereka setuju bahwa Shanina masihlah gadis paling menawan di kalangan pelayan seperti mereka. Akan lebih cocok jika Shanina menjadi selebriti, sayang kakinya tidak normal lagi.

Gadis itu memiliki rambut dark- brown yang sedikit bergelombang, dan mata jade- green yang terang, kontras dengan rambutnya. Wajahnya sendiri memiliki tipe ultra-feminine yang menonjolkan fitur halus meski kontur wajah alaminya cukup menonjol. Kepribadiannya memang pendiam, tapi Shanina jelas merupakan gadis yang tenang mereka hanya tidak tahu kalua Shanina di paksa menarik perhatian Kaysen dan dalam hal itu, Shanina harus menjadi gadis centil.

Shanina menggunakan trik yang berbeda dengan yang dia lakukan di sekolah. Ia tidak terang-terangan mendekatk Kaysen di rumah, sehingga membuat Kaysen sempat terkejut dengan sikapnya yang satu itu.

"Aku sudah selesai mencuci piring, apa masih ada pekerjaan lain?" tanya Shanina.

"Tidak ada, kami yang akan menyelesaikan sisanya sendiri, kau bisa melakukan hal lain saja."

"Oke." Shanina melepas apronnya, tapi seseorang menghentikannya.

"Tunggu, Nina."

Shanina menoleh.

"Tadi Nyonya memintaku membawakan teh untuk Tuan Theo, tapi pekerjaanku masih belum selesai. Kau menganggur, 'kan, Nina? Bisa tolong antarkan ini pada tuan Theo?"

Shanina mengangguk. Ia menerima nampan berisi dua cangkir teh beraroma Jasmine dan sepiring Pai raspberry mini. Shanina melangkah hati-hati menuju taman samping tempat Theo dan kekasihnya tengah bersantai saat ini.

Meski kaki kanannya agak sulit untuk berjalan, ia masih bisa menyeimbangkan langkah dan nampan yang dipegangnya dan menyusuri pathway limestone diiringi nyanyian burung warbler menjelang petang.

Didalam paviliun yang di kelilingi hutan boxwood, ia melihat seorang pria bersurai hitam legam duduk di bangku taman bersama seorang wanita yang duduk di seberangnya. Dari jauh, mereka tampak bersinar, keduanya memiliki wajah bahagia seakan dunia adalah milik mereka. Mereka beruntung. Apa suatu saat ia bisa tertawa bahagia tanpa beban seperti itu?

Tak terasa, Shanina sudah berada di hadapan mereka. Ia menunduk sejenak dengan senyum sopannya. "Permisi, saya membawakan teh dan camilan untuk anda berdua."

Shanina meletakkan nampannya di atas meja.

"Terima kasih," jawab Hayley ramah. "Oh, ada Pai raspberry!"

Dengan mata berbinar, Hayley satu Pai dan memakannya.

"Makanlah sepuasmy, "ujar Theo, tersenyum lembut melihat kekasihnya bahagia.

Shanina diam-diam melirik Theo. Mata pria itu menatap kekasihnya dengan tatapan teduh, begitu penuh cinta. Tidak heran, ia pun akan menyukai Hayley jika menjadi Theo. Dia secantik bidadari. Kenapa para pelayan masih membandingkan Hayley dengan pelayan seperti dirinya ini? Dirinya jelas bukanlah apa-apa dibandingkan Hayley.

Hayley modis dan terawat meski ia sendiri tidak begitu .enyukai gaya berpakaiannya yang terlalu berkilau.

Hayley tersenyum padanya, yang ia balas kembali dengan senyuman sopan.

"Kalau begitu saya akan kembali, "kata Shanina. "Apa ada lagi yang anda butuhkan?"

"Oh, tidak ada. Terima kasih telah membawakannya."

"Sudah tugas saya, Nona," jawab Shanina dengan nada tenangnya.

Sesaat, tatapannya bertubrukan dengan netra tajam biru berlian milik pria itu.

Seketika tubuhnya menegang, entah bagaimana, tetapi tatapan Theo sepontan mengintimidasinya, menimbulkan rasa iferioritas di dalam dirinya.

Shanina buru-buru undur diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 13

    Theo tidak pulang, mungkin dia menginap lagi di kantornya. Shanina tidak keberatan. Masalahnya, mereka baru saja menikah, orang-orang mungkin membicarakannya di belakang, tapi sekali lagi, Shanina sebetulnya tidak begitu peduli. Ia hanya tidak memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan semenjak menikah. Siang itu Shanina mendengar pembicaraan Helena, ibu mertuanya tersebut menyuruh seseorang untuk mengantarkan makan siang ke kantor Theo. Shanina tahu kenapa wanita itu tidak menyuruhnya. Namun, ia tetap menghampirinya dan menawarkan diri, bersikap tebal muka. Alhasil, di sinilah Shanina berada, berdiri di depan sebuah gedung menjulang yang ada dihadapannya. Dia belum pernah melihat kantor kebesaran Theo secara langsung, dan ternyata itu sungguh luar biasa, mungkin gedung tersebut memiliki empat puluh laintai lebih. Dengan menenteng tas bekal berisi makanan yang disiapkannya sendiri, Shanina mulai memasuki gedung tersebut. Shanina menaiki undakan di lobi, flat shoes tanpa mere

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 12

    Ia mengangguk, menelan salivanya susah payah. Shanina sungguh paham bahwa meminjam uang di hari pertama pernikahan akan sangat tidak wajar untuk pasangan yang saling membenci seperti ini. Namun, pagi-pagi sekali bibinya sudah memberi perintah untuk mentransfer mereka uang. "Kalau begitu apa aku boleh pergi keluar hari ini?" "Akan lebih baik jika kau pergi dan tidak kembali lagi." Theo berbalik, matanya segera bertubrukan dengan manik hijau cerah milik Shanina yang berkaca-kaca, wajahnya tampak tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu menelan tangisannya. Theo justru semakin ingin menghancurkan pertahanan itu. "Jangan pernah meminta izin lagi dariku untuk hal apapun itu, jangan berbicara padaku atau menyentuh barang-barangku. Kau hanya istri dalam nama, jadi urus saja urusanmu sendiri." Melihat pandangan Shanina yang sesekali tak fokus, Theo mengernyit samar. Ia berbalik lagi, memakai pakaiannya. Sementara itu Shanina menatap lantai di bawahnya dengan sorot kosong

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 11

    Baru saja Shanina melangkahkan kakinya masuk ke kamar Theo, aroma musk yang menenangkan menyeruak Indra penciumannya. Suara gemericik air yang datang dari kamar mandi menarik perhatian Shanina, samar-samar tercium bau sabun yang khas. Theo sedang mandi di sana, jika pria itu keluar, ia akan mati gaya. Shanina menyeret kopernya, melangkah menuju lemari besar yang terdapat di sisi ruangan, Ia meletakkan pakaiannya yang tidak seberapa disana, bersebelahan dengan pakaian Theo yang begitu banyak. Setelah merapikan semua barangnya, ia menyiapkan pakaian santai untuk Theo. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia duduk di kasur, memijat kaki kanannya yang sakit dan linu. Pikirannya seperti benang kusut, apakah Theo suka minum teh sebelum tidur atau makan camilan sebelum tidur. Perintah agar membuat Theo menyukainya sungguh membebaninya. Shanina amat pesimis, ia bahkan sudah sangat bersyukur apabila Theo mau sedikit saja melunakkan sikap padanya. Tangannya yang menyentuh permukaan k

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 10

    Terlepas dari pilihannya atau bukan, dekorasi pesta yang dilihatnya adalah hal yang amat menakjubkan. Siapapun akan bahagia melihat pernikahannya diadakan semegah sekaligus se-elegan ini. Kilauan lampu kristal terpasang di setiap area langit-langit yang dihiasi berbagai dekorasi yang sesuai tema, yaitu tema kastil klasik penuh keanggunan yang anehnya mengingatkannya pada Theo. Saat pandangannya mengedar kesekeliling, mendadak ia menyadari bahwa seluruh atensi tertuju padanya, membuat tubuhnya lemas seperti agar-agar. Namun, itu belum seberapa di bandingkan saat matanya bertubrukan dengan mata biru berlian yang membekukan. Pria itu berdiri di altar dengan setelan tuksedo hitam yang bernilai jutaan dolar. Postur tubuhnya tegap, sempurna bagai bangsawan. Layaknya manifestari dari Zeus, pria itu tak terjangkau, ia kuat, terhormat, dan tak bisa di tandingi oleh siapa pun. Shanina bisa membayangkan seberapa sulitnya itu bagi Theo untuk bersanding dengannya, ibarat seorang pangeran yang

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 9

    Shanina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Walaupun ia selalu memakai bedak setiap pergi ke sekolah, tetap saja ia tidak pernah berdandan setebal ini. Meski tebal, anehnya riasan di wajahnya terlihat natural. Keluarga Carter jelas tidak akan menyewa MUA murahan untuk pernikahan putra sulung mereka sekalipun pernikahan itu tak di inginkan. Matanya yang sedikit bengkak juga tidak terlihat lagi berkat tangan-tangan berbakat dan produk berkelas yang dibubuhi di wajahnya. Ia tidak berniat menangis semalaman, tapi memikirkan akan menikahi pria seperti Theo membuat Shanina dilanda cemas setengah mati. Belum apa-apa ia sudah menerima kebencian Theo, gagang sapu saja dibanting sampai patah, bagaimana jika ia tidak sengaja membuat Theo marah lagi nanti? "Sekarang bisakah anda berdiri? Saatnya memakai gaun." "Ah, ya. Tentu." Shanina berdiri, membiarkan mereka memasang gaun yang rumit tersebut sama sekali bukan style yang disukainya. Dalam sek

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 8

    Shanina kaku, padahal bibinya-lah yang semalam menguncinya bersama Theo. Jika ia membuka mulut, dirinya juga akan terkena imbas. Belum lagi, Amela mencubitnya keras secara diam-diam untuk tutup mulut. "Mungkin saja," Potong Amela hanya untuk melihat Theo dengan pandangan menuduh, lalu memalingkan tatapannya, "Tuan Theo secara tidak sadar mengunci dan menahan Nina sehingga Nina tidak bisa berbuat apa-apa." Theo mendengus pelan. Shanina menunduk takut melihat Helena yang memelototinya, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa seperti orang paling bersalah disaat dirinyalah yang merupakan korban. Kepalanya pusing, Ia mual. "Itu benar." Kalimat Kaysen mengambil alih atensi semua orang. Mereka semua menatap Kaysen dengan pandangan bertanya. Kaysen melanjutkan ucapannya, "Apa yang dikatakan Shanina benar, dia hanya mengantarkan teh untukku, aku menyuruhnya untuk memberikan teh itu pada Theo sekaligus menyuruhnya mengawasi Theo, kalian tahu kalau Theo sangat menyebalkan ketika mabuk."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status