Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya.
Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang menyakitinya setiap kali diucapkan. “Pernikahan ini... hanyalah transaksi untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita dari kehancuran.” Jantungku seolah berhenti berdetak. Pernikahan? Transaksi? Seolah-olah hidupku hanyalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan sesuka hati. “Ayah bisa meminta orang lain? Lagi pula aku punya Andrew” ucapku dengan suara serak. Wajah Ayah semakin meredup. “Aku tidak punya pilihan, Savannah.” Suaranya pecah oleh keputusasaan yang membuat dadaku terasa sesak. “Perusahaan ini... keluarga kita... semua akan hancur jika aku tidak menyetujuinya.” Ayah menarik napas, lalu kembali menatapku dengan dalam. " Andrew tidak akan bisa membantu keluarga kita Savannah. Jadi lupakan pria itu. " Aku menggigit bibir. Menatap ayah yang serius aku tertawa sumbang. " Aku tidak semudah itu melupakan seseorang ayah. Aku bukan seperti ayah yang dengan mudahnya melupakan orang lain, mengganti ganti istri dan berfoya-foya dengan banyak hutang. " Ayah hanya mengepalkan tangannya tidak membalasku. Aku mendengus sinis, merasakan gelombang kemarahan yang meluap-luap di dalam dadaku. “Dan Ayah pikir menjual anak sendiri adalah solusi terbaik?” “Ini bukan soal menjual!” Ayah membantah dengan nada putus asa. “Ini tentang menyelamatkan masa depanmu... masa depan kita semua.” Aku tertawa kecil, pahit. “Masa depan? Masa depan seperti apa yang Ayah bicarakan? Menjadi istri dari seseorang yang bahkan tidak kukenal? Menjadi tameng kalian?” Ayah terdiam, wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang dalam. Untuk pertama kalinya, aku melihat pria yang pernah kukagumi itu tampak begitu rapuh dan tak berdaya. “Tuan Wiratama, bersamanya hidupmu tidak akan susah Savannah dan yang terpenting perusahaan milik kakekku tidak akan hilang dari kejayaannya.” jawab Ayah lirih. Jawaban ayah sudah sesuai prediksiku, tetapi entah kenapa, dadaku terasa lebih berat begitu mendengarnya. Seakan-akan sebuah beban tak terlihat tiba-tiba menghantamku. “Kenapa aku?” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. “Apa yang membuat pria itu menginginkan aku?” Ayah menggelengkan kepala, matanya dipenuhi kesedihan yang dalam. “Aku tidak tahu... Dia hanya menyebutkan namamu. Seolah-olah dia telah merencanakan ini sejak lama.” Aku berdiri, merasa udara di ruangan ini semakin menyesakkan. Tiba-tiba semua terasa terlalu nyata, terlalu mengerikan untuk bisa diterima. Aku tiba-tiba menjadi pesimis, tidak mungkin ada kebetulan yang seperti ini. Pasti ayah sudah melakukan hutang piutang lagi, aku hanya mendengus. “Apa ini semua ada hubungannya dengan hutang kalian?” Aku menatap Ayah dengan penuh tuntutan. “Katakan yang sebenarnya.” Ayah menunduk, seolah malu mengakui kebenaran yang sudah lama kusangka. “Perusahaan ini... sudah berada di ambang kehancuran sejak kakekmu meninggal. Kami terpaksa menerima bantuan dari keluarga mereka.” “Tapi kalian tidak pernah berhenti, kan?” desisku penuh amarah. “Kalian terus menumpuk hutang hingga mereka bisa menuntut apa pun dari kalian.” Ayah tidak membantah. Wajahnya memucat, dan aku tahu aku telah menyentuh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan. “Apa Ayah bahkan berusaha melawan?” Aku mendekat dengan langkah pasti. “Atau kalian menerima semuanya dengan dalih melindungi keluarga?” “Savannah...” Ayah berbisik putus asa. “Kami hanya ingin kau tetap hidup. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa semua ini akan berakhir seperti ini.” Kata-kata yang ayah ucapkan terdengar sangat mulia, tapi sebenarnya sangat menjijikkan. Seolah-olah semua demi keluarga, padahal demi mereka semua. Aku tertawa pahit, mengejek dirinya dan keadaan yang sedang kami hadapi. “Tetap hidup? Seperti apa? Menjadi pion dalam permainan yang Ayah ciptakan?” Ayah memejamkan matanya, seolah berdoa agar semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi ini adalah kenyataan, dan aku terjebak di dalamnya. "Jangan seperti ini Savannah, setelah hari ini hidup kita semua bisa kembali, adik-adikmu bisa sekolah dengan baik. " Aku hanya memutar bola mataku. Ayah seperti tidak punya perasaan. " Dan Andrew, ayah pikir dia bukan pria yang tepat untuk kamu Savannah. Entah bagaimana ayah tidak. pernah srek dengan pria itu. " Aku hanya diam menatap ayah, dan tersenyum mengejek. "Setidaknya dia tidak pernah menggunakan kurikulum untuk kepentingan pribadinya ataupun kepentingan keluarganya. " Aku melihat kemarahan di wajah ayah. Tapi ayah memilih tidak mengatakan apapun. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik menuju pintu, mengabaikan panggilan lirih Ayah yang masih memohon pengertianku. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh, membasahi pipiku saat aku berlari ke kamarku. Semua ini karena kesenangan mereka berfoya-foya, berpesta dan tidak benar-benar mengurus perusahaan, pantas saja kalau Begitu sampai di dalam, aku menutup pintu dengan keras hingga engselnya berderit. Nafasku memburu, sementara pikiranku terus dipenuhi oleh kata-kata Ayah yang menghancurkan harapanku. Dengan frustrasi, aku memukul meja rias hingga beberapa botol parfum jatuh dan pecah di lantai. Aroma manis yang menyengat memenuhi ruangan, namun aku tidak peduli. “Kenapa aku?” bisikku di antara isak tangis yang tak terbendung. “Kenapa aku harus membayar kesalahan mereka?” Aku terjatuh ke lantai, merasakan dinginnya ubin yang menusuk kulitku. Air mata terus mengalir, membawa semua rasa sakit dan ketidakberdayaan yang selama ini kutahan. Aku mendongak, memandang ke langit-langit kamar yang tinggi, seolah mencari jawaban dari takdir kejam yang sedang menjeratku. Namun yang kutemukan hanyalah kekosongan yang menakutkan, seperti lubang hitam yang siap menelanku kapan saja. Sejak. kepergian kakek memang keluarga ini sudah hancur, dan aku tidak punya tempat lagi. Keluarga ibu, dan keluarga ayah sama saja. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, sedangkan aku harus berusaha melewati sendiri hal-hal yang menyedihkan dalam. setiap perjalanan hidupku. Hidupku yang sebelumnya kuanggap sulit, kini terasa seperti neraka yang tak berujung. Semua yang kuimpikan, semua yang kucintai, direnggut paksa oleh kekuasaan yang tidak bisa kulawan. Aku pun tahu jika. besok semua akan berubah, mungkin akan semakin banyak penagih hutang dan para rentenir yang ada menagih hutang ayah. Sebaiknya aku memikirkan untuk segera pergi dari sini.Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel
Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu
Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,
Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap
Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,
Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s