Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku petunjuk. Mungkin ada dokumen tentang perusahaan, warisan, atau setidaknya informasi yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku membuka beberapa laci, mencari-cari di antara tumpukan kertas yang sudah usang, namun semuanya nihil. Tidak ada apa-apa. Semua yang ada hanyalah kekosongan yang semakin menambah rasa kecewaku. Aku benar-benar ingin melihat sendiri perjanjian pernikahan yang pernah dibuat kakek dengan keluarga Wiratama. Aku menghela napas panjang, merasa terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam. Ruangan ini, yang dulu penuh dengan kehidupan dan pengaruh, kini hanya menyisakan kesenyapan yang mencekam. Semua yang aku cari, semua yang aku harapkan, tak kunjung ditemukan. Bahkan, ruang di atas ini pun tampaknya sudah kehilangan segala artinya. Aku menelan kekecewaan yang semakin menggerogoti, dan perlahan, langkahku mundur. Sepertinya, pencarianku kali ini harus berhenti di sini. Benar-benar tidak ada petunjuk apapun. Aku melangkah kembali menuju kamar yang dulu milik Moana. Syukurlah pintunya tidak terkunci. Aku mendorongnya perlahan, dan aroma samar dari parfum khasnya masih tercium di udara, meskipun ruangan itu tampak sudah lama tidak ditempati. Mungkin saja Moana punya sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, aku membuka lemari gadis itu. Aku memandang sekeliling dengan hati yang bercampur aduk. Kenapa aku yang harus menggantikan posisinya dalam hal ini? Sedangkan aku sudah punya Andrew. Tempat tidur dengan sprei putih yang rapi, meja rias dengan cermin besar yang kini berdebu, serta lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka. Semua tampak seperti membeku dalam waktu. Aku mendekati meja rias dan menyentuh permukaannya yang dingin. Ada beberapa benda yang masih tertinggal—sisir kayu miliknya, kotak perhiasan kecil yang pernah dia tunjukkan padaku, dan sebuah buku catatan kulit cokelat yang sedikit terbuka di sudut meja. Tanganku gemetar saat meraih buku itu, hati kecilku merasa ini bisa jadi petunjuk yang aku cari. Aku membuka halaman pertama dan melihat tulisan tangan Moana yang rapi namun tampak tergesa-gesa di beberapa bagian. Beberapa kalimat pertama membuat napasku tertahan: "Aku tidak punya pilihan, tapi akhirnya perjodohan ini berakhir." Dadaku berdebar keras. Aku membalik halaman demi halaman, berharap ada tulisan lain. Sial, tidak ada lagi tulisan apapun yang menarik, sisanya hanya tulisan catatan belanjaan Moana. Namun, sebelum aku mencari-cari petunjuk lain, suara langkah kaki samar terdengar dari koridor. Aku segera menutup buku itu dan menyembunyikannya di balik gaunku. Siapa yang berjalan di luar sana di tengah malam seperti ini? Apakah mereka tahu aku ada di sini? Aku berdiri mematung, menahan napas sambil mendengarkan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tubuhku menegang. Dalam sekejap, rasa penasaran yang menggelayut di pikiranku berubah menjadi rasa waspada yang tak terkendali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini? Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tadi kudengar semakin mendekat. Aku menahan napas, bersiap menghadapi siapa pun yang mungkin muncul. Apakah seseorang memergokiku di sini? Atau mungkin mereka sedang mencari sesuatu seperti yang kulakukan? “Savannah…” Aku tersentak mendengar suara berat yang familiar. Perlahan, aku meletakkan buku itu kembali di atas meja rias dan berbalik dengan hati-hati. “Ayah?” tanyaku, mencoba menenangkan debaran di dadaku. “Ayah mengagetkanku... Ada apa? Kenapa Ayah ada di kamar Moana?” Ayah menatapku dengan ekspresi lelah dan penuh beban yang sulit disembunyikan. Wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali kulihat dengan jelas. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya—seperti penyesalan yang dalam, tapi juga sebuah keputusan yang sudah bulat. “Aku... hanya ingin memastikan sesuatu,” jawabnya pelan sambil melangkah masuk, mengamati kamar itu dengan sorot mata kosong. “Dulu, tempat ini sering menjadi tempatnya menyendiri… Aku pikir… mungkin dia meninggalkan sesuatu.” Aku mengerutkan kening, penasaran dengan nada suara Ayah yang terdengar berat dan penuh keraguan. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Moana pergi begitu saja? Kenapa aku harus menggantikan posisinya?” Ayah menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dariku. "Ini... bukan sesuatu yang mudah dijelaskan, Savannah. Ada banyak hal yang tidak kamu tahu... dan mungkin lebih baik kamu tidak tahu." Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. "Ayah selalu berkata seperti itu! Tapi lihat apa yang terjadi sekarang! Moana pergi, dan aku yang harus menanggung semua ini tanpa penjelasan. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Wajah Ayah menegang sesaat, tapi kemudian melunak, seolah menyadari bahwa aku tidak akan menyerah kali ini. “Ada alasan kenapa pertunangan Moana dibatalkan dan kenapa kamu yang dipilih untuk menggantikannya. Tapi percayalah, ini demi melindungi keluarga kita.” Aku hanya mencibir, sejak dulu semua kebaikan hanya untuk mereka semua. “Melindungi?” Aku tertawa pahit. “Apa yang sebenarnya Ayah coba lindungi? Reputasi keluarga atau rahasia yang kalian sembunyikan?” Ayah terdiam, seolah-olah sedang bergumul dengan pikirannya sendiri. Aku bisa melihat ada banyak yang ingin dia katakan, tapi entah kenapa dia menahannya. “Percayalah… semua yang kami lakukan adalah demi kebaikanmu,” katanya akhirnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Aku berdiri mematung di tengah kamar yang hampa, dadaku terasa sesak oleh ketidakpastian. Jika semua ini benar-benar demi kebaikanku, kenapa rasanya seolah-olah aku sedang dipaksa menjadi bidak dalam permainan yang tidak kumengerti? Aku segera keluar dari kamar Moana, dan berlari untuk menyusul ayah. Aku ingin ayah tahu, jika aku punya Andrew. Lagi pula masalah keluarga dan hutang piutang seharusnya tidak pernah menjadi tanggung jawabku. "Ayah, " aku memanggil ayah yang sudah berada di ruang tamu. Pria itu menoleh padaku, aku segera berjalan lebih cepat dan duduk disebelahnya. "Ayah, sebenarnya aku dan Andrew akan bertunangan dan akan menikah akhir tahun nanti. " aku mengucapkannya dengan sekali tarikan napas. Aku mengamati ayah yang kini hanya menatapku lurus. Ayah menghela napas panjang. Ayah menatapku dalam diam, seolah menimbang-nimbang apakah aku benar-benar siap untuk mendengar jawaban yang ada dipikirannya. “Lupakan, lagi pula ayah tidak pernah setuju dengan Andrew,” katanya akhirnya, suaranya parau. "Ayah, Aku mencintainya dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubah hal itu. " ucapku dengan tenang. Aku tahu aku dan Andrew bisa berjuang untuk masalah finansial jika itu yang dikhawatirkan ayahku. " Sebenarnya menjauh dari Andrew itu yang terbaik Savannah, karena ayah yakin tuan Wiratama juga tidak akan tinggal diam. " Aku mencetak, tertawa miring melihat ayah yang menatapku serius. "Aku tidak peduli, dan aku tidak akan berkorban walaupun aku juga kasihan pada ayah dan keluarga kita. " ujarku dengan berapi-api, ayah hanya diam. Ayah akhirnya menghela napas.Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel
Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu
Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,
Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap
Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,
Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s