Angga bergeming, lelaki itu justru membuang pandangannya tanpa berniat membela Laras sedikit pun. Ia memang selalu takut melawan dan membantah ibunya. Hingga ia tak dapat melakukan apa pun saat melihat Laras ditampar oleh ibunya.
"Aku tetap mau bercerai, Mas!" kata Laras seraya terus mengusap pipi yang ditampar tadi. Sakitnya tak seberapa jika dibanding sakit hatinya karena dikhianati suami dan direndahkan oleh mertuanya.Angga membeku di tempatnya. Ia tak mampu menatap sorot mata penuh luka dari Laras. Hatinya menjadi dilema saat ini. Satu sisi, ia tak mau melepaskan Laras begitu saja. Tapi di sisi lain ia juga ingin memiliki Aluna seutuhnya."Ceraikan saja wanita mandul itu, Ga. Nggak berguna! Biduan murahan!" maki Bu Intan menggebu."AKU TIDAK MANDUL!" sentak Laras cepat. Membuat ketiga orang itu kaget dengan suaranya yang mulai meninggi."Aku akan buktikan kalau aku nggak mandul!" ucap Laras lagi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan agar tangisnya tidak pecah di depan ketiga orang itu. Ia harus kuat dan tegar setidaknya di depan mereka."Buktikan! Mana buktikan! Putraku sudah membuktikan kalau dia nggak mandul, buktinya sekarang Aluna sedang hamil dan mengandung cucuku," ucap Bu Intan sambil mengelus perut gadis itu yang masih terlihat rata. Pemilik perut itu tersenyum penuh kemenangan."Wah, sungguh hebat ibu mertuaku ini. Ibu justru bangga setelah tahu anak laki-lakinya telah berzina terang-terangan. Orang tua macam apa yang mendukung perzinahan!" ketus Laras sarkas. Sukses membuat Bu Intan tersulut emosinya lagi."Kurang ajar! Sini kamu!" Bu Intan mendekati Laras dan hendak kembali melayangkan tamparan kedua. Tetapi, kali ini Laras berhasil menangkap tangannya lalu menghempasnya dengan kasar.Aluna sigap menangkap tubuh Bu Intan yang terhuyung."Apa kamu yakin kalau itu benihmu, Mas?" tanya Laras dengan tatapan mengejek pada gadis itu. Aluna tampak gelagapan. Sepertinya ucapan Laras tadi berhasil menyindirnya telak."Ja-jaga bicaramu! Aku bukan wanita murahan sepertimu, Mbak!" Aluna berkata dengan gugup. Membuat Laras curiga kalau ada sesuatu yang ingin ia tutupi.Laras mendecih jijik.'Ck! Mana ada maling yang mau ngaku,' decaknya dalam hati."Nggak kebalik ya kamu ngomong gitu? Siapa yang murahan di sini. Wanita terhormat tidak akan mau diajak zina, sama suami orang pula!" sindir Laras. Wanita itu seakan mendapat keberanian untuk menguliti kegugupan yang dilihatnya dari sosok Aluna."Laras! Kamu …." Angga hampir melayangkan tangannya ke pipi Laras. Wanita itu tak gentar justru menatap nyalang suaminya."Tampar, Mas! Tampar! Ayo!" ucap Laras penuh emosi menantang Angga untuk tidak ragu menamparnya. Hampir saja air matanya berjatuhan tetapi sekuat tenaga kembali ditahan. Terlalu berharga air matanya untuk sekadar menangisi pengkhianatan suaminya."Aku tidak murahan! Kamu tahu persis tentang itu, Mas." Laras menatap lurus mata suaminya. "Meski profesiku sebagai biduan, tapi aku bisa menjaga diriku. Apa kamu mau mengingkarinya atau mengiyakan ucapan gadis itu, jawab!" lanjut Laras berapi-api. Ia tampak mengatur napasnya yang terengah-engah setelah menumpahkan seluruh emosinya.Angga terdiam. Matanya menatap ke ke arah lain. Tangannya lunglai ke samping, mengurungkan niatnya untuk menampar Laras."Bahkan kamu sendiri dapat membuktikannya di malam pertama kita dulu. Ck! Apa kamu akan mengingkarinya, Mas!" Laras masih terus mengingatkan Angga.Ya, Laras masih eksklusif dan tersegel. Angga sudah memastikannya di malam pertama mereka sebagai pengantin baru."Sudah, Angga! Kenapa jadi ribut sih. Bukannya kita ke sini cuma mau minta izin istrimu itu." Bu Intan tampak muak dengan drama yang terjadi lalu berusaha melerainya saat melihat keadaan makin panas."Aku tidak akan sudi dimadu! Ceraikan aku!" ucap Laras penuh penekanan. Lelah sekali rasanya menghadapi ketiga orang itu. Laras tak memedulikan mereka dan memilih beranjak dari tempat itu. Ia membawa langkahnya masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya dan berniat meninggalkan rumah itu. Rumah yang dulu terasa begitu indah, kini berubah menjadi neraka baginya.Laras meyakinkan dirinya untuk tidak akan menoleh lagi ke belakang. Tak peduli dengan mereka bertiga yang masih mematung di tempat. Suamimya bahkan tak mencegah langkah Laras saat ia memutuskan pergi setelah mengatakan jika dirinya tetap mau bercerai."Baik, Mas. Sudah saatnya aku pergi!" gumam Laras begitu dirinya sudah sampai di kamar. Wanita itu mengeluarkan sebuah koper berukuran sedang dan mulai memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam koper itu."Sudah kuduga ini akan terjadi. Jadi … seperti inikah akhir rumah tanggaku?" lirihnya tersenyum miris. Menatap potret bahagia pernikahan mereka yang menempel di dinding.Semua kebahagiaan itu seakan menguap begitu saja. Hilang, sirna bersama pengkhianatan suaminya.Bagi Laras, tiidak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan. Begitulah prinsip yang ia pegang teguh selama ini. Dalam lima tahun terakhir pernikahannya, Dia masih bisa bertahan dan maklum terhadap segala cacian dan makian dari mertua serta adik iparnya.Angga masih berada di pihaknya, memberi bahunya yang terasa nyaman untuk tempatnya bersandar. Walaupun juga kerap terluka dengan segala perlakuan keluarga suaminya. Laras menahan semua itu selama ini.Laras mengabaikan segalanya dengan segenap perasaan cinta yang tulus dan suci pada suaminya. Tapi kini, sebuah pengkhianatan hadir di depan mata. Maka Ia memilih untuk mundur teratur dari rumah tangga yang sekian lama telah dibina.Usai membereskan pakaiannya, lantas ia menyeret langkahnya pergi. Ruang tamu rumahnya sudah tampak kosong. Entah ke mana perginya ketiga orang itu. Tujuannya kini adalah menuju rumah peninggalan orang tuanya.Dia hanya tinggal sendirian karena tak memiliki saudara kandung. Ia merupakan anak tunggal. Ayahnya telah tiada, lalu ibunya sudah lama menikah lagi dengan seorang duda kaya yang ditinggal mati istrinya.Kehidupan Laras yang berasal dari keluarga broken home itu, tidak membuatnya lupa daratan. Setidaknya meski pergaulannya sangat luas, tapi dirinya selalu bisa menjaga diri. Angga takkan mengingkari hal itu. Laras sangat pandai menjaga dirinya untuk menghindari pergaulan bebas.Sejak lulus sekolah hingga menyadari kalau dirinya memiliki bakat lebih dalam menyanyi. Ia fokus untuk memulai karir menyanyi dari panggung ke panggung menjadi biduan. Angga lah yang selalu setia menemaninya. Hubungan mereka sudah terjalin sangat indah sejak dulu kala.Saat mereka memutuskan akan menikah pun sempat terhalang restu dari keluarga Angga, terutama Bu Intan dan Tasya. Angga yang keras kepala akhirnya mampu meluluhkan kerasnya hati sang ibu hingga mau tak mau menerima Laras yang berprofesi sebagai seorang biduan. Profesi yang terlanjur akrab dengan stigma jelek di masyarakat.Laras hanya menjual suaranya. Hobinya bernyanyi membuatnya menekuni profesi itu. Sejak ibunya menikah lagi saat usianya lima belas tahun, Laras sudah mulai belajar berdikari. Mencari jati dirinya yang sesungguhnya. Beruntung Laras bertemu dengan orang-orang yang tepat hingga bakatnya tersalurkan dengan baik.Laras bahkan pernah mengikuti sebuah audisi penyanyi dangdut yang disiarkan di TV nasional. Dan keberuntungannya hanya sampai pada 20 besar. Ia harus rela tereliminasi malam itu. Tapi, hal itu ia jadikan cambuk semangat untuk lebih baik lagi dalam bernyanyi. Tidak berkecil hati atas kegagalan.Berlayar jauh mengarungi biduk rumah tangganya, kini bagi Laras sudah saatnya menepikan biduknya. Dia harus memikirkan langkah untuk ke depannya. Berpisah mungkin adalah satu-satunya jalan baginya. Ia tidak ingin dimadu. sudah cukup baginya bertahan dengan segala cercaan dari keluarga Angga."Aku berhak bahagia, bukan?" gumamnya lirih. Wanita itu menatap kosong rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama lima tahun terakhir.#148Setelah Tasya pergi dan memulai kehidupannya di tempat yang baru. Angga dan Syahna saling bergantian menjaga Bu Intan di rumah sakit.Kadang ada rasa bosan yang menghampiri, karena Angga hanya berkutat di kantor, rumah dan rumah sakit. Namun, kehadiran Syahna selalu menenangkan suasana dan selalu menghiburnya di saat rasa bosan kadang menghampirinya.Angga hampir saja kehilangan harapannya pada Bu Intan, sebab Ia tak kunjung siuman sejak dinyatakan koma beberapa hari yang lalu. Dan hingga saat ini pun tidak terlihat ada tanda-tanda vital jika Bu Intan akan segera siuman.Saat dia ingin menyerah dan terus merasa frustrasi dengan keadaan, Angga akan mengingat jika dia masih memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai tempatnya melangitkan doa."Jangan lupa selalu berdoa untuk kesembuhan ibumu, Ga." Itulah pesan dari Pak Rahmat yang selalu terngiang dan tertanam di benak Angga.
#147Tasya sudah bersiap dengan koper kecil yang berisi barang-barang bawaannya. Di pagi buta itu seusai sarapan, Tasya sudah berpenampilan rapi dan telah bersiap pergi bersama Angga ke rumah sakit. Syahna pun turut serta untuk menemani Bu Intan di rumah sakit, atas permintaan Angga semalam.Setelah itu barulah dia akan pergi ke terminal bersama Pak Rahmat. Sedangkan, Angga hanya akan mengantarnya hingga ke terminal bus. Ia pun harus membawa serta Syahna dan Jelita ke rumah sakit untuk menunggu Bu Intan di ruangannya.Saat Angga mengatakan tentang rencana kepergian Tasya esok hari dan saat datang menemui Laras di rumah pada Syahna. Tentu hal itu mengundang respon terkejut atas pernyataan Angga. Syahna merasa kesal karena Angga terkesan melupakan janjinya sendiri."Kok aku nggak diajak ketemu Laras kemarin, Mas," protes Syahna kala lelaki itu memberitahukan padanya tentang apa saja yang dia lakukan kemarin b
#146"Apa Syahna lagi sakit? Atau Jelita yang sakit?" Angga terus bertanya-tanya. Dan akhirnya memberanikan diri untuk melihat isinya."Ini …."Syahna baru saja menyelesaikan acara memasaknya. Memang dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memasak mie goreng spesial yang menjadi favorit Angga.Satu gelas kopi, dan satu piring mie goreng spesial untuk Angga, serta satu mangkok makanan pendamping Asi untuk makan siang Jelita, sudah Syahna tata rapi di atas nampan. Siap untuk dihidangkan ke Angga dan Jelita.'Mereka pasti udah nggak sabar lagi nunggu makanan ini,' batin Syahna riang dalam hatinya.Mood nya sempat turun akibat kabar dari tes DNA itu, akan tetapi setelah Angga pulang. Kehadirannya cukup untuk membuat Syahna mendapatkan kembali semangatnya. Angga serta perasaan cintanya sangat berpengaruh bagi mood Syahna.Tanpa firasat buruk apa pun, Sy
#144Terkadang bertemu dengan masa lalu yang menyakitkan itu, akan membuat kita mau tak mau mengingat lagi masa-masa sulit yang disebabkan oleh orang yang menyakiti kita tersebut.Hal yang harus dihindari adalah, memutus kontak dan menghilangkan semua akses untuk bertemu. Namun, hari ini semua itu seolah tak berlaku bagi Laras.Ia tak pernah menyangka jika mantan suami dan adik iparnya yang kini sudah mengubah penampilannya, ada di sini dan menginjakkan kaki ke rumahnya untuk pertama kalinya."Kenapa kalian ada di sini?" tanya Laras memberanikan diri. Ia berharap-harap cemas menantikan jawaban mereka. Laras sangat tidak menghendaki kehadiran mereka, namun apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain selain menanyakan maksud kedatangan mereka.Sebenci apa pun Laras di masa lalu pada keduanya. Akan tetapi, Laras juga tak mungkin mengusir kedua kakak beradik itu setelah mereka sudah duduk di ruang
#142"Kamu yakin … mau ikut menemui Laras?" Lelaki itu menatap lekat wajah Syahna yang tampak serius saat ini. Wajahnya tampak tenang seolah tak menunjukkan ekspresi apa pun, akan tetapi Angga dapat menilai kalau Syahna cukup serius dengan apa yang baru saja diucapkannya itu.Angga bertanya untuk memastikan lagi agar dia tak salah dalam menafsirkan keinginan Syahna. Angga berharap-harap cemas menantikan jawaban Syahna. Lelaki itu menatap Syahna dengan tatapan yang sulit dimengerti. Dengan sabar, Angga menunggu Syahna membuka mulutnya dan menjawab pertanyaannya.Syahna menganggukkan kepalanya mantap. Gadis itu merasa yakin dengan pilihannya untuk menemui Laras. Keinginan itu datang dengan sendirinya dari dalam hati. Entah mengapa, ia tiba-tiba berkeinginan menggebu untuk mengenal wanita hebat seperti Laras.Ia ingin sekali bertemu dan mengenal Laras. Sebab, Entah mengapa Syahna yakin jika sampai saat ini pu
#140Hari itu, Angga dan Tasya pulang ke rumah. Angga sengaja berniat untuk pulang, sekadar untuk melihat keadaan Syahna dan Jelita. Sementara, Tasya pulang untuk sekadar beristirahat dengan tenang sebelum harus kembali ke rumah sakit lagi.Pak Rahmat bersedia ditinggal di rumah sakit untuk menunggu Bu Intan dan membiarkan kedua kakak beradik itu pulang untuk beristirahat sejenak. Hari-hari yang mereka lalui pasti sangatlah berat. Tetapi mereka tetap bersyukur telah dikirimkan Pak Rahmat untuk sedikit meringankan beban mereka."Sore nanti kita balik lagi ke rumah sakit, Sya," ucap Angga mengingatkan sang adik setelah mobilnya terparkir sempurna. Kadang rasanya lelah, harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga sang ibu yang sedang koma. Namun, mereka tak boleh dan pantang mengeluh. Sebab, itu sudah menjadi kewajiban mereka sebagai seorang anak untuk berbakti pada sang ibu."Iya, Bang. Tasya mau tidur dan