Hai ini penulis Lefkilavanta. Terimakasih untuk kalian, para pembaca baik yang sudah mengikuti kisah Jenar dan Julian. Penulis berharap kalian tetap memberi cinta dalam bentuk dukungan saran dan lainnya (yang bersifat membangun) untuk penulis di masa depan. Penulis berharap, lewat cerita ini bisa memberikan banyak amanat dan sesuatu yang berkesan untuk kalian semua yang telah membacanya. Penulis juga berharap mendapatkan banyak dukungan untuk dari kalian agar novel ini menjadi salah satu novel 'berhasil' yang mampu mendapatkan banyak cinta dan perhatian dari seluruh pembaca Goodnovel. Akhir kata, terimakasih banyak dan terus ikuti kisah Jenar bersama keluarga barunya yang tentunya akan memberikan banyak kejutan untuk kalian semua. xoxo, and happy reading
“Sekali lagi aku minta maaf untuk Jasmine dan Julio.” Julian menatapnya dengan teduh, memohon pengertian dari Jenar. “Mereka memang keras kepala dan sulit untuk diatur.” Jenar malah tersenyum manis. Dia memberikan tas kerja pada Julian. “Kata orang menjadi ibu sambung memang tidak muda.” Jenar mencoba untuk memahami. “Aku sudah tahu risikonya sejak awal, Pak Julian. Aku mengerti dan memahami kedua anakmu dan aku akan mencoba untuk terus menghadapi mereka,” tuturnya. “Ini adalah pilihanku dan semua risikonya juga harus aku tanggung,” ucapnya seraya tersenyum. Jenar menatap jam dinding. “Berangkatlah sekarang, Pak Julian. Nanti terlambat bekerja.” Julian mengusap pundaknya dengan lembut. “Kabari aku jika terjadi sesuatu.” “Tentu,” jawab Jenar menganggukkan kepalanya. Dia berpaling dari Jenar, tetapi langkahnya tidak berjalan jauh. Dia kembali menatap ke arah Jenar. “Soal apa yang aku katakan pada Jasmine,” tutur Julian dengan suara rendah. Namun, cukup didengar oleh Jenar. “Ten
Mariani menutup panggilan suara di telepon. Meletakkannya dengan hati-hati, seakan takut jika seseorang mendengar dan mengetahuinya. "Habis dapat telepon dari siapa, Bi?" Suara Jenar menginterupsi kekosongan. "Kenapa nutupnya pelan-pelan gitu." Dia terkekeh. Berjalan masuk ke dalam rumah. "Bu Jenar sudah balik?" Mariani berusaha untuk bersikap wajar, meskipun dia sedang kalang kabut tertangkap basah. "Swalayan di depan sana tidak menjual yang aku cari," katanya. Tersenyum kecut, kecewa. "Jadi aku pulang saja." Mariani manggut-manggut. "Ngomong-ngomong gimana sama Jean?" tanyanya. "Dia siap berangkat sekolah?" tanyanya lagi. Mariani mengangguk. "Aku akan mengantarkannya sebentar lagi, Bu." Jenar menggelengkan kepalanya. "Biarkan aku yang antar," sahut Jenar. "Sekolahnya di perempatan jalan keluar dari komplek ini bukan?" Mariani ragu untuk menjawab dan menganggukkan kepalanya, karena m
Ini adalah pengalaman pertama untuk Jenar. Kehidupan pernikahannya langsung disambut dengan masalah yang jujur saja dia sendiri tidak yakin apakah dia bisa menanganinya, Julio. "Sekali lagi ini adalah peringatan yang terakhir yang diberikan pada Julio, Bu." Wanita tua di depannya mengembalikan kertas yang baru saja ditandatangani olehnya. "Jika hal serupa terjadi, maka kita akan mengeluarkan Julio," imbuhnya lagi. Jenar tersenyum seadanya. "Sekali lagi, aku benar-benar meminta maaf atas nama putraku, Bu." "Meminta maaflah juga pada keluarga saudara Martin. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit karena lukanya." Jenar mengangguk. "Tentu." ... Mereka keluar dari dalam ruangan, Julio berjalan terlebih dahulu yang kemudian diikuti Jenar. "Julio!" panggilnya. Untung saja lorong menuju bimbingan
Dia tersenyum aneh pada Jenar. "Kamu bahkan tidak tahu sebrengsek apa Pak Julian, tetapi malah menikah dengan dia."“Kalau begitu ajari aku untuk memahami ayah kamu!” Jenar menukas dengan tajam. “Kamu selalu berbicara kalimat yang sama, maka tunjukan solusinya.”Julio mendengus kesal. Dia sudah berusaha untuk menghentikan percakapan di antara mereka berdua.“Aku tidak mau dan aku tidak peduli.” Dia menyahut dengan ketus.“Lebih baik akhiri pernikahan kamu karena semuanya akan jadi, jauh lebih buruk nantinya,” sambung Julio. Dia hampir meninggalkan Jenar, tetapi Jenar masih ingin berbicara dengan dia.“Memangnya apa yang sudah dilakukan sama papa kamu, sampai kamu tidak menyukai dia begini?” Jenar memberi penekanan di dalam kalimatnya.“Dia merawat kamu dan dia membesar kamu. D
“Cappuccino less sugar!” Lamunan Jenar teralihkan oleh segelas cappuccino yang dia pesan. Sarah duduk di depan Jenar. “Kamu sudah kaya, kenapa datang ke tempat murahan tempat nongkrong anak muda begini?” Dia memprotes kedatangan Jenar. Jenar mengabaikan Sarah, dia memilih meminum cappuccino-nya. “Jenar!” Sarah menjentikkan jari di depan wajah Jenar. “Kamu sudah lupa dengan teman kamu yang miskin ini setelah menikah dengan Pak Julian?” Sarah menutup kalimat dengan senyum picik. “Kamu benar-benar tidak setia kawan.” “Julio berulah lagi,” sahut Jenar tiba-tiba. Dia menjauhkan sedotan dari depan bibirnya. “Aku baru saja mendatangi temannya itu.” Sarah mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?” “Julio bertengkar hebat dengan temannya. Sekarang temannya itu dirawat di rumah sakit karena tulang hidungnya retak.” Jenar menghela n
Luce meletakkan tanda terima dari pelunasan biaya rumah sakit dan perawatan yang diperlukan Martin.“Saya meminta maaf atas anak saya, Julio.” Luce menundukkan kepalanya sejenak. Tersenyum seadanya kemudian. “Saya datang mewakili Julio yang sedang ada keperluan di luar sana,” ujar Luce lagi.“Sekali lagi, saya mohon untuk Anda bisa memaafkan putraku.”Dari luar kamar rumah sakit, Jenar menatapnya.“Sekarang kamu tahu kenapa kamu tidak bisa menggantikan posisi Mama Luce?” Jasmine tiba-tiba saja menyela Jenar. Dia membuat pandangan mata mereka saling bertemu satu sama lain.“Kamu hanya mengeluh tanpa ada tindakan apapun, Jenar,” imbuhnya lagi.Jenar tidak mau membahasnya. Apa yang dilihat olehnya hari ini, sudah cukup memberi tamparan luar biasa.“Lalu kamu masih bisa berdiri sebagai ibu untuk kita?” Jasmine menukas lagi.Dia mendekati Jenar dan menghalang langkah kakinya untuk pergi dari sana.“Kamu bahkan kabur seperti pengecut,” timpalnya lagi. Senyum itu jelas-jelas meremehkan Jena
Jenar meletakkan secangkir teh di atas meja. Matanya memandang perawakan tubuh Luce yang jauh lebih tinggi dan besar dari dirinya.“Di minum tehnya, Nyonya Luce.” Jenar menawarkan dengan sopan padanya. “Aku mendapat informasi dari Bi Mariani kalau Nyonya Luce tidak menyukai minuman yang terlalu manis,” tuturnya dengan senyuman.Luce memutar tubuhnya dan tersenyum pada Jenar. “Kamu pandai memahami tamu.”Luce mendekati Jenar dan duduk di depannya. “Ngomong-ngomong, Julian belum pulang?” tanyanya lagi. Memandang suasana rumah.Jenar menggelengkan menggelengkan kepalanya. “Paling sebentar lagi,” jawab Jenar seadanya.Jenar merasakan canggung yang luar biasa di sini, baru kali ini, dia tidak bisa berbicara banyak. Pada dasarnya, dia sama sekali tidak mengenal Luce.“Ngomong-ngomong, bagaimana rasan