Julio mengobati luka bakar Jenar dengan begitu hati-hati, seakan dia takut jika itu akan merusak kulit indah milik Jenar.
Jenar sedari tadi tidak berani berkata-kata, Bahkan dia sesekali menahan napasnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan badai. Petir tidak menyambar-nyambar dan semua keadaan baik-baik saja. Namun, anehnya Julio berubah begitu drastis hanya dalam satu malam.
"Sudah selesai," kata Julio memecah keheningan. Pandangan matanya tertuju pada Jenar. "Sudah selesai," katanya lagi mengulang. Sepertinya Julio tahu Jenar gagap dan kikuk tiba-tiba.
Jenar langsung menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari Julio saat dirinya kembali mendapati Julio yang ketus dan dingin.
"Terimakasih," ujar
Luce menunggu di depan kantor Julian. Katanya, Julian sedang menemui seorang klien untuk urusan yang penting. Cukup lama dia menunggu, akhirnya mobil Julian terlihat menepi di sisi trotoar tak jatuh dari tempatnya menunggu. Anehnya, alih-alih kembali ke kantor di memilih berhenti di restoran Jepang di sisi jalanan.Luce keluar dari dalam mobilnya. Dia menyeberang jalan, menghampiri Julian. "Julian!" Luce mempercepat langkah kaki. Julian berhenti di ambang pintu masuk restoran. "Aku sudah menunggumu, tetapi kamu malah mampir ke sini," kekehnya. Luce memandang raut wajah Julian yang tak seperti biasanya. Luce mencoba menerka. "Kamu ... sedang ada masalah?" Julian menghela napas. "Aku belum makan siang. Aku lapar," sahut Julian seadanya. "Kamu mau makan siang bersamaku?" Julian tiba-tiba bersifat lunak padanya. Tak ketus seperti biasanya.Luce awalnya hanya terdiam, sesekali dia menatap keadaan sekitar. Seakan dirinya sedang memastikan, tidak ada yang melihat mereka. "Kalau tidak
"Perusahaanmu akan bangkrut?" Luce memandang mantan suaminya dengan penuh kecemasan. "Kamu jangan main-main kalau berbicara! Kamu punya beberapa cabang di dunia, bagaimana bisa itu semua bangkrut dalam bersamaan?"Julian menghela napas. "Tidak semuanya. Namun, aku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan jika salah satu pondasi sudah mulai goyah," ucap Julian lagi.Julian tidak punya semangat hari ini. Pertemuannya dengan kliennya adalah hal yang paling buruk yang dialami sekarang."Perusahaan yang ada di Indonesia punya masalah, aku mengalami kerugian besar." Julian menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini aku tidak punya cara untuk menutup kerugian itu, selain menutup perusahaan sementara."
Jenar mendorong pintu kaca di depannya. Pandangan matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Jenar tersenyum setelah dia melihat Sarah duduk di paling pojok, dekat tangga naik ke lantai dua."Sarah!" Jenar menghampirinya sambil melambaikan tangan. Dia menarik kursi di depan Sarah. "Kenapa mengajakku bertemu sore ini?" Jenar langsung menyerobot ke inti pembicaraan. Padahal napasnya saja masih terkesan ngos-ngosan. "Ada yang penting?"Sarah juga tidak berbasa-basi. Dia meletakkan ponsel di depan Jenar. Layar menunjukkan apa yang dia dapat siang ini. "Lihatlah kelakuan suamimu, Jen."Jenar mengerutkan kening. "Pak Julian?" "Memangnya kamu punya suami lain?" kekeh Sarah, tawanya jelas-jelas dipaksakan. Tidak datang dari dalam hati.Jenar mengambil ponsel Sarah. Melihat isinya, dia membelalakkan matanya. "Ini ...." Jenar tergagap di tempatnya. "Ini Nyonya Luce?""Syukurlah kalau kamu langsung mengenali mereka." Sarah ketus pada Jenar. Sarah menggebrak meja dengan ringan, berharap bisa mem
"Mbak Jenar!" Alif meneriaki nama Jenar ketika melihat perempuan itu berjalan menelusuri trotoar jalanan.Jenar berhenti, menoleh pada Alif yang berlari menuju ke arahnya."Mbak Jenar dari mana?" tanya Alif seraya mengatur kembali napasnya. "Tumben jalan kaki.""Memangnya aku biasanya naik helikopter?" kekeh Jenar. Dia kembali menatap jalanan di depannya. Jenar memilih duduk di kursi halte, padahal Julian memberikan uang saku yang banyak, bahkan cukup untuk menyewa puluhan taksi demi menghantarkan dirinya pulang.Jenar tidak bisa mengabaikan kebiasaan lamanya naik bus."Mbak Jenar sudah jadi istrinya orang kaya, jadi sedikit aneh melihat M
Jenar mampir sebentar di swalayan. Niatnya ingin membeli beberapa buah-buahan segar sebelum pulang ke rumah. Julian menelepon dirinya sebelum ini, bertanya dia ada di mana. Katanya Julian akan menjemputnya di swalayan ini, dia akan datang setengah jam lagi. Sedang asyik asyiknya memilih buah, tangannya tiba-tiba bersentuhan dengan pengunjung swalayan lainnya.Jenar langsung menarik tangannya dan menoleh. "Maafkan, aku ...." Jenar tidak jadi melanjutkan kalimatnya setelah dia melihat siapa yang ada di sisinya. "Adam?" Jenar mengerutkan kening. Adam adalah mantan kekasihnya yang pernah dia ceritakan pada Julio. Mereka berpisah sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Setelah perpisahan tak baik itu, Jenar tidak pernah bertemu dengan Adam lagi. "Kamu seperti sedang melihat hantu, Jenar." Adam tertawa. "Kamu sepertinya sudah lupa denganku?" Jenar menggelengkan kepalanya. "Tentu saja aku ingat kamu." Jurnal berbicara sembari memandang penampilan Adam. "Kamu banyak berubah, Dam." Adam te
Jenar berusaha untuk menghilangkan perasaan aneh ini sekarang."Kamu, benar-benar sudah melupakan aku?" Adam bertanya sembari mengulas ingatan di masa lalu. "Dulu kamu mencintaiku dengan segenap hatimu. Kamu bahkan menangis dan memohon padaku agar aku lebih memilih kamu."Jenar memandang Adam yang terkesan tidak tahu malu. Seharusnya dia tidak diberi kelonggaran seperti ini."Keadaannya sudah berbeda, Dam. Aku bukan Jenar yang dulu kamu kenal," jawab Jenar. "Aku sudah berubah dan waktu pun juga sudah mengubah hubungan di antara kita."Adam menghela napas penuh kecewa. "Kita bisa memperbaiki semuanya, Jenar.""Aku sudah belajar banyak hal di pern
Jenar tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi dia juga tidak berani memandang Julian. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. "Kamu akan terus diam begini?" Julian yang pertama kali menyela pembicaraan di antara mereka. Dia tersenyum ketika Jenar menoleh padanya. "Kalau kamu diam begini, aku jadi merasa bersalah sudah mengusir mantan kekasihmu dan berbicara seperti itu tadi." Julian menambahkan. Jenar menggeleng. "Mas Julian tidak salah apapun. Yang kamu lakukan tadi sudah benar.""Lalu kenapa kamu diam sepanjang perjalanan?" tanya Julian lagi. "Jangan bilang kalau kamu marah padaku sebab aku terlambat menjemput," tandasnya. Julian tertawa kecil. Jenar menggelengkan kepala lagi. "Aku yang merasa tidak enak atas apa yang sudah terjadi tadi, Mas Julian." "Kenapa kamu merasa tidak enak?" Julian langsung menghentikan aktivitasnya. Dia memandang Jenar yang duduk di atas sofa sembari memandang ke arahnya.Julian berjalan mendekatinya dan memilih turun dari ranjang, pembicaraan tidak
Jasmine berjalan seorang diri menyusuri gang komplek perumahannya. Di tengah perempatan jalan komplek, Jasmi melihat seorang pria berdiri di bawah tiang lampu jalan. Dia asyik memainkan sembari merokok. Tentu saja itu bukan hal yang aneh, Jasmine biasa menghadapi orang seperti itu. Lagian ini bukan kali pertamanya dia pulang malam. Jasmine melewatinya begitu saja. Namun, hanya berjalan mulus beberapa langkah. Pria itu memanggil Jasmine. "Hei! Nak!" Jasmine menoleh. Bodohnya dia malah berhenti di sana. "Bapak memanggilku?" Jasmine menunjuk pada dirinya sendiri, memastikan kalau memang pria itu memanggilnya."Namaku Hang," katanya. Hang adalah nama panggilannya, dia tidak memperkenalkan siapa nama lengkapnya. Hang juga yakin, Jasmine tidak aku mau peduli.Jasmine hanya manggut-manggut. Dia pria paling aneh yang pernah ditemui Jasmine. "Haruskah aku memperkenalkan namaku juga?" Jasmine meladeninya. Jasmine memang benar-benar tidak punya rasa takut, mirip seperti ibu kandungnya. Luce