Julio heran menatap tawa yang terdengar sekarang. Sepertinya pria ini memang sudah tidak waras. Keluar dari penjara selama bertahun-tahun mungkin membuat dirinya jadi seperti ini. "Kamu tidak percaya padaku sepertinya," kekeh Hang. "Kamu sudah tinggal lama bersama Julian, jadi wajar saja jika kamu lebih mempercayainya."Julio langsung menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mempercayai siapa pun. Aku hanya mempercayai diriku sendiri dan pendirianku sendiri.""Aku akan percaya padamu jika kamu bisa memberikan aku bukti bahwa Julian lah yang mengambil diriku," kata Julio. "Juga, bagaimana bisa aku langsung percaya pada mantan narapidana?" Hang lagi-lagi tertawa mendengarnya. "Aku tidak bisa membuktikannya, karena kamu saja tidak percaya dengan ceritaku."Hang seakan pasrah dan tidak mau banyak bertingkah. "Kamu bisa mempercayaiku atau tidak. Itu semua terserah padamu dan aku tidak akan memaksa."Julio mendengus. "Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi dan di mana Ibu kandungku?" Juli
Julian keluar dari rumah Luce. Urusannya sudah selesai, kini saatnya kembali pada realita yang sesungguhnya bahwa dia dan Luce sudah tidak pantas berada dalam satu rumah seperti tadi. "Jika berselingkuh, lakukan dengan benar." Julian terkejut mendengar kalimat itu. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Julio sudah berdiri di sisi ambang pintu gerbang rumah Luce. Julian memicingkan mata. "Kamu ngapain di sini?" tanya Julio berusaha untuk membuat topik pembicaraan baru. Tentu saja dia tidak mau membahas kedatangannya ke rumah mantan istrinya. "Bukankah seharusnya itu yang aku tanyakan sama Papa?" Julio tersenyum seringai. "Seharusnya Papa tidak ada di sini, selain ini adalah jam kerja ... ini juga rumahnya Mama Luce." Julian yang tidak bisa membohongi Julio lagi. Putranya ini sudah cukup dewasa untuk mendengar alasan yang tak masuk akal. "Papa ada urusan sebentar dengannya. Jadi Papa mampir ke sini, kebetulan sebelumnya Papa menemui klien yang tinggalnya tidak jauh dari sini
Kantor polisi setempat.Jenar mengikuti langkah kaki Jasmine. Sama sekali tidak ada suara semenjak Jasmine keluar dari kantor polisi. Sepertinya gadis itu sedang kalut di dalam hatinya."Tidak mau makan siang?" tanya Jenar, nada bicaranya sedikit tinggi karena posisi mereka yang sedikit jauh.Jasmine tak menggubris. Dia hanya terus melangkah menjauh dari Jenar."Jasmine!" Jenar meneriakinya. Langkah kaki dipercepat, dia meraih tangan Jasmine.Jenar berhasil menghentikan Jasmine. Dia memandang penampilannya. "Aku akan membantumu beralasan dari papamu jika kamu mau makan siang sekarang. Aku yakin kalau belum ada nasi yang masuk k
Restoran Jepang, Jakarta."Aku ke sini bukan ingin mengajak Papa makan siang, aku ingin mendengarkan penjelasan dari Papa." Julio memandang Julian tak henti. Pikirannya melayang, memaksa dirinya sendiri untuk mendesak Julian. Julio menghela napas. "Aku ada kelas setelah ini. Aku yakin Papa tidak setuju jika aku membolos," sambungnya. Julian malah tertawa kecil mendengar kalimat itu. Dia manggut-manggut ringan dan tersenyum melirik Julio. "Bukankah itu kebiasaanmu?""Kamu sudah sering membolos dan Papa tahu itu. Terakhir kali kamu bertengkar dengan temanmu, Papa biarkan kamu." Julian menukas. Dia kembali memasukkan satu gulung sushi ke dalam mulutnya. Julio mengerutkan kening. "Jenar mengatakan itu?""Panggil dia Mama," kata Julian ketus. "Meskipun usia kalian hampir sama, tetapi ingatlah kalau dia adalah mamamu. Dia istriku."Julio berdecak. "Jika tahu kalau Jenar adalah istrinya Papa, kenapa malah menemui Mama Luce?" tanya Julio. "Jenar pasti—"Kalimat Julio langsung terhenti kal
Jenar menyambut kepulangan Julian malam ini. Dia memandang suaminya dengan saksama, penampilannya sedikit kacau. Tidak seperti biasanya."Ada masalah di kantor, Mas?" tanya Jenar dengan hati+hati. Dia takut kalau malah menambah beban suaminya.Julian merebahkan diri di atas sofa, mengabaikan pertanyaan dari Jenar. Sepertinya permasalahan tidak bisa dibagikan dengan istrinya malam ini. Toh juga, Jenar hanya akan terbebani saja.Jenar memandang ke arahnya dengan senyuman. "Kamu bisa menceritakan apapun padaku jika memang kamu ingin bercerita. Kamu tidak perlu ragu."Julian memandang Jenar dengan sendu. Kelelahan membuatnya enggan untuk membuka mulutnya.
Pulang dari warung Jenar hampir masuk ke dalam rumah, tetapi suara seorang wanita menghentikan langkah kakinya. Jenar berbalik memandang siapa yang datang."Nyonya Luce?" Jenar mengerutkan kening. "Ada apa siang-siang datang ke sini?" tanyanya. Jenar sedikit bingung karena perempuan itu tak menjawab, tetapi dia tersenyum pada Jenar."Julia ada di kampusnya dan Jasmine ada di sekolahnya. Jean pulang satu jam lagi," kata Jenar menjelaskan. "Jika ke sini untuk melihat mereka, kamu seharusnya datang satu jam lagi."Luce terkekeh. "Kamu pikir aku sudah lupa dengan jam sekolah putra dan putriku sendiri?" tanyanya. "Tentu saja aku mengingat rutinitas mereka. Aku lebih lama tinggal bersama mereka ketimbang dirimu."Jenar langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia memendam kekesalan setelah mendengar kalimat itu. "Kalau begitu, kamu boleh pergi dari sini, Nyonya. Pak Julian juga sedang ada di kantornya. Hanya ada aku di rumah."Jenar hampir berpaling, tetapi tiba-tiba wanita itu menarik lengann
"Kepercayaan dirimu terlalu tinggi, Nyonya Luce." Jenar memberanikan dirinya untuk menyahut.Jenar tersenyum seringai. "Kepercayaan yang seperti itulah, yang nantinya malah menjadi bumerang untukmu sendiri."Luce tertawa ringan melihat perubahan ekspresi wajah Jenar. Luce bisa memaklumi jika jurnal tidak suka dirinya ada di depannya. Kata Jasmine, Jenar hanya sok kuat saja."Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu, Jenar." Luce mendekatinya lagi. Dia mengusap pundak Jenar yang hanya setinggi telinganya saja.Orang lain yang memandang mereka, mungkin sepintas mengira mereka adalah ibu dan anak. Penampilan Luce mencerminkan wanita yang dewasa, sedangkan Jenar terlihat begitu muda dan segar.
Jasmine duduk di depan Julio. Ini seperti momen langka mengingat mereka sudah jarang sekali duduk bersama. Bukan tanpa alasan Julio mengajak Jenar kemari setelah menjemputnya pulang sekolah. Alasannya hanya ingin mampir untuk makan. "Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Jasmine." Julio menyela aktivitas Jasmine. "Ini tentang Papa dan Mama.""Mama yang mana?" Jasmine menyunggingkan senyum bersama dengan kalimatnya. "Kita punya dua mama jangan lupa itu."Julio terdiam sejenak. Jasmine benar, tetapi dia bersikap aneh kali ini. "Mama Luce," sambung Julio. "Ada satu pertanyaan yang mengganjal di kepalaku sejak tadi. Sebenarnya aku ingin menanyakannya langsung pada Mama Luce, tetapi aku rasa dia tidak akan menjawab dengan jujur."Jasmine menghentikan makannya. Fokus pandangan menatap ke arah Julio. "Emangnya apa yang ingin kamu tanyakan?""Kamu tahu sesuatu tentang mereka?" tanya Julio hati-hati. Jasmine terdiam sejenak. Dia berusaha memahami pertanyaan dari kakak tirinya itu. Ingin me