Share

Merebut Mary

"Dari mana saja kamu?" Raja Reginald memandang murka ke arah adiknya yang tampak termangu. Langkah kaki Henry terkesan lunglai tak bertenaga, kontras dengan kemarahan sang kakak. 

"Maaf. Aku akan masuk." 

Reginald mengerutkan glabela, merasa aneh dengan respons sang adik yang tidak membantahnya seperti biasa. "Kamu ..." 

"Aku hanya butuh udara segar, Yang Mulia. Sekarang aku akan masuk." Pipi Henry berdenyut nyeri, tetapi ia lebih merasakan sakit yang menusuk di dalam hatinya. 

Henry merasa lega karena acara pertunangannya hampir berakhir. Catherine masih duduk dengan kaku di kursinya, seolah ia memang dipahat di sana, dengan wajah minim ekspresi. 

"Maaf jika kamu menunggu lama, Putri Catherine," salam Henry kepada tunangannya yang menanggapinya dengan anggukan samar. Lelaki itu mengembuskan napas, kemudian duduk. Ia mengikuti sisa prosesi pertunangan mereka dengan wajah sama seperti tunangannya. Mungkinkah ini yang sedang dialami oleh Catherine? Menyembunyikan rasa sakit hatinya dan meminimalisir mimik muka demi menjaga semua pihak senang? Henry yang merasakan hatinya berdenyut nyeri kini mengikuti gerak-gerik Catherine yang menyapa semua tamu yang hadir, sebelum mereka keluar ruangan dan dikawal oleh penjaga serta pelayan. 

"Selamat malam, Pangeran Henry. Aku akan segera naik ke atas. Terima kasih atas jamuan yang sangat baik untuk menyambutku di sini. Aku sungguh terkesan." Suara Catherine pun terdengar membosankan, tetapi Henry tak punya tenaga untuk mendebatnya. Lelaki itu hanya mengangguk, lalu berdiri menatap langkah kaki tunangannya yang sangat anggun. 

"Mari kita kembali ke ruanganku, Theo." Henry mengangguk ke arah pengawal setianya. Theo mengikuti langkah kaki sang pangeran itu tanpa suara, seperti kebiasaannya. Henry tampak lesu ketimbang biasanya. Theo sempat menduga sepertinya Henry tidak punya teman kencan malam ini, untuk menghabiskan kegundahannya. Sebagai orang yang mendampingi lelaki itu setiap waktu, ia tahu bahwa Henry mengisi kesepiannya dengan perempuan yang tak pernah sama setiap malamnya. 

"Apakah saya perlu panggilkan ..." Pertanyaan Theo terputus oleh tatapan Henry yang tampak dingin. "Baik, Yang Mulia." 

***

"Aku ingin membatalkan pertunanganku." Henry berkata dengan dingin, setelah menerobos masuk ke ruangan pribadi Reginald malam itu. Ia sudah berusaha mendinginkan kepalanya, selama beberapa saat, tapi bayangan Mary yang lembut dan anggun sudah menerobos pertahanan hatinya. 

"Jangan bicara omong kosong!" Reginald nyaris berteriak. "Kalian baru saja mengesahkan pertunangan kalian! Kau gila? Ini bahkan belum satu hari!" 

Henry menarik napas panjang. "Aku jatuh cinta pada orang lain, Kak. Kumohon." 

Tak ada sahutan yang diberikan oleh Reginald. Ia hanya menatap Henry dengan tatapan mencemooh. "Cinta? Keluar dari kata-kata lelaki seperti dirimu?" 

"Entahlah. Mungkin saja itu benar cinta, atau bukan. Tapi aku jelas tak bisa menerima Catherine dalam kehidupanku." Henry mengatakan itu dengan jujur. 

"Lantas? Kamu mau mengenyahkan usaha para menteri yang sudah berdiplomasi dengan kerajaan Monaco? Memangnya kamu sungguh ingin membuatku dibabat habis oleh parlemen?" 

"Kak, untuk pertama kalinya, aku menemukan wanita ini dan aku lebih menyukai hidup dengannya daripada dengan seseorang yang sama menyedihkannya seperti aku. Aku tak bisa melakukan itu!" Suara Henry dipenuhi kabut putus asa. "Aku hanya ingin wanita ini. Dia lembut, manis dan baik hati. Aku bahkan belum mengenalnya, tetapi aku sungguh ingin menghabiskan waktuku dengannya. Bisakah, untuk sekali ini saja, aku memilih wanita yang kuinginkan? Setelah itu aku takkan melakukan kegilaan yang lain lagi. Aku bersumpah." 

Mata sang raja terpejam. Ia sungguh tak bisa mengerti jalan pikiran adiknya yang mudah sekali tersulut emosi. Lelaki itu bahkan akan menghancurkan segalanya karena jatuh cinta pada wanita yang entah siapa. 

"Biarkan aku menghubungi Andrew. Dia akan menjernihkan pikiranmu." Reginald segera menelepon salah satu menterinya yang sedang berada di istana malam ini untuk menyelesaikan pekerjaannya, sebelum mengambil cuti untuk menikahkan putrinya. 

Henry duduk diam di sofa dengan sebotol Brendy di tangannya. Ia tahu bahwa ia tak boleh mabuk demi dianggap waras oleh menteri pertahanan dan rajanya. Namun, ia sungguh membutuhkan sesloki keberanian. Ia tak bisa menerima jika pada akhirnya sang raja akan mementahkan keinginannya. 

"Saya datang, Yang Mulia. Salam Pangeran Henry. Ada yang bisa saya bantu?" 

"Maafkan aku karena memanggilmu selarut ini, Andrew. Namun, adikku entah sampai kapan ia berhenti membuatku sakit kepala. Ia ingin membatalkan pertunangan dengan Catherine." 

Andrew memasang mimik terkejut. "Putri Monaco? Tapi mengapa, Yang Mulia Henry? Anda baru saja memasang cincin di jari manisnya!" 

Henry menarik napas panjang. "Salam, Menteri Pertahanan. Aku hanya ingin diberikan kebebasan untuk menentukan pendampingku sendiri." 

"Namun, Anda tidak merespons saat kami mengajukan Putri Catherine. Mengapa Anda sekarang berubah pikiran?" Andrew jelas ingin mencekik pangeran yang suka seenaknya sendiri itu, tetapi jelas sebagai orang yang stratanya lebih rendah, ia hanya bisa menahan diri. 

"Aku hanya ingin menikahi orang yang membuatku bahagia. Titik. Dan aku tak menemukan itu pada Catherine." 

Sang menteri bahkan kehabisan kata-kata. Ia sudah memastikan sebelum mereka mengajukan lamaran kepada pihak kerajaan Monaco, bahwa pangeran Henry bersedia menikahi Catherine. Namun apa boleh buat, watak pangeran itu sungguh tidak bisa diduga. 

"Jadi, apakah Anda telah menentukan calon?" 

Henry memandang mata lelaki renta itu dengan serius. "Ya. Putrimu. Mary Thomas." 

***

"Ayah! Aku tidak mau menikahinya, sekalipun dia itu pangeran!" Mary membelalakkan mata ketika pada dini hari, sang ayah pulang dan memaksa semua orang yang sedang mempersiapkan pernikahannya untuk pergi dari sana. "Lagipula hari ini aku akan melakukan pemberkatan, ingat?" 

Andrew menggigit bibir, merasa terperangkap dilema karena berada pada situasi sulit. "Namun, Nak, dengan menjadi istri Pangeran Henry, keluarga kita akan mendapatkan banyak kemudahan. Ayah bahkan bisa menjadi perdana menteri!" 

Mary mendadak merasa murka dengan ayahnya yang dengan mudahnya mengkhianati komitmen dengan keluarga Thompson. "Ayah! Aku sudah menyerahkan hatiku sepenuhnya kepada Arthur. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan dia demi orang yang kasar, arogan dan sembarangan! Jika memang dia adalah Pangeran Henry yang kutemui saat di istana, dia sudah seenaknya padaku!" 

"Sayang, Mary. Dia takkan mengasarimu. Dia sudah berjanji. Dia bahkan rela meninggalkan putri Catherine untuk melamarmu. Bisakah kamu memikirkannya masak-masak? Ayah akan membatalkan pemberkatanmu hari ini." 

"TIDAK. Sekali lagi kukatakan, tidak. Aku tak mau menikahi Pangeran itu! Apalagi dia juga sudah bertunangan dengan wanita lain. Ayah sungguh-sungguh gila!" 

Lelaki paruh baya itu segera menghampiri dan membujuk putrinya. "Dengarkan Ayah, Sayang. Ini kesempatan yang langka. Ayah tak tahu apa yang membuat pangeran Henry begitu tertarik padamu, tapi itu bagus. Ayah sebenarnya ingin menjodohkan Anne dengannya, tetapi ternyata dia malah tertarik padamu. Bisakah kamu menerimanya?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status