Share

First Kisses

"Sudah banyak orang yang mengatakan bahwa mataku indah." Henry tersenyum simpul. Perlahan ia mengarahkan matanya, memindai setiap jengkal wajah gadis berambut pirang di hadapannya. "Namun, matamu jauh lebih indah." 

 Gadis itu menggigit bibir dengan gugup, sebelum ia memalingkan muka. Ia tak mengerti mengapa jantungnya berdebar begitu keras di bawah tatapan lelaki asing itu. Lidahnya mendadak kelu, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah.

“Siapa namamu?” tanya Henry dengan nada lembut. Ia mundur selangkah demi mengurangi ketidaknyamanan gadis di hadapannya.

“Aku ... Mary.” Gadis itu tak berani menyebutkan nama keluarganya, karena takut akan mendapatkan masalah di kemudian hari.

“Mary, namamu sungguh indah seperti wajahmu. Namun, kamu pasti sudah sering mendengar pujian seperti itu.”

Pipi Mary bersemu merah, sehingga menyebabkan gadis itu menundukkan kepala. “Sebenarnya, ini pertama kalinya aku mendengar pujian seperti itu.”

Ada gejolak yang mendadak menggelora dalam hati Henry, ketika memandangi gerak-gerik kikuk gadis di hadapannya. Ia tak bisa mempertahankan kewibawaannya, apalagi gadis cantik adalah kelemahan terbesarnya. Bibir Henry melengkung ke atas, matanya tak jua lepas dari wajah Mary.

“Apakah Anda adalah seorang pegawai istana?” tanya Mary, jengah karena lelaki itu tak kunjung melepaskan pandangannya dari dirinya.

Henry terkekeh dan menggeleng. “Tidak. Aku ... bukan pegawai istana.”

“Lantas mengapa Anda bisa berada di sini, sementara banyak orang yang takkan melewatkan kesempatan untuk berjumpa pangeran Henry dan putri Monaco?” Manik mata Mary mengerjap, karena ia tak kuasa menyembunyikan kekagumannya kepada lelaki yang tampak tenang dan berwibawa itu.

“Yah, tidak semua orang menyukai pangeran, ya kan?” Henry mengedipkan salah satu matanya.

Mary tersenyum simpul. “Tapi menurutku, pangeran Henry itu orang baik.”

Baru kali ini Henry mendengarkan pujian untuknya, dari seseorang yang bahkan tidak mengetahui jati dirinya. “Benarkah? Mengapa kamu menganggap pangeran Henry orang baik?”

“Karena beliau orang Katolik.” Jawaban Mary nyaris membuat Henry terpingkal, tetapi ia berusaha menahannya sehingga wajahnya tampak berkedut-kedut.

“Itu ... sungguh perspektif yang menarik, Mary. Baru kali ini aku mendengarnya.” Henry memalingkan muka, demi mengusir geli yang masih menghinggapinya karena perkataan Mary.

“Semua orang Katolik itu baik, sungguh. Karena kejahatan apapun yang mereka lakukan, mereka selalu punya tempat untuk kembali menyucikan dosanya. Kudengar Pangeran Henry adalah jemaah yang taat di Gereja Gaia.” Mary memaparkan alasannya. “Jika dia memang titisan iblis, ia takkan sudi menginjak gereja.”

Lelaki itu menghela napas. Jelas saja ia jemaah yang taat, karena keluarganya akan terus menerornya jika ia tidak datang saat misa. Tidak peduli seberapa liar dia di luaran, dia harus rajin ke gereja untuk mempertahankan citra keluarga Baldwin agar kekuasaannya langgeng.

“Yah, kau benar, Mary.” Henry kembali memandangi wajah gadis itu.

“Maaf, Tuan. Tapi saya akan menikah. Jadi tolong jangan pandangi saya seperti itu!” pinta Mary yang akhirnya menundukkan kepala lebih dalam.

“Aku tahu. Aku hanya mengagumi kecantikanmu.”

“Hanya suami saya yang boleh mengagumi kecantikan saya.” Mary terdengar tegas. Rasanya hal itu semakin memantik semangat Henry untuk mendapatkan gadis pirang yang berbadan mungil itu.

“Baiklah. Jika aku memintamu menjadi istriku, apakah kamu bersedia?”

Kali ini Mary terperangah dan menatap Henry dengan ekspresi terkejut. “Ta-tapi saya ...”

“Iya, kamu akan menikah. Namun saat ini belum terlambat kan, jika aku memintamu menikahku?” Henry mempertahankan ekspresinya yang lembut dan menghanyutkan. Ia yakin, pendirian gadis di hadapannya mulai goyah.

“Ti-tidak bisa. Saya akan menikah dengan orang yang sudah melamar saya kepada orang tua saya.” Mary menelan saliva. Dalam hatinya sedang terjadi pergulatan rasa yang tidak kunjung usai. Akal sehatnya memerintahkannya untuk segera pergi dari sana.

Henry tersenyum lalu memalingkan wajah. “Kamu tidak tahu siapa yang sedang kamu tolak, Mary. Aku bisa saja merampasmu dari calon suamimu.”

“Anda tidak bisa melakukan itu! Itu dilarang oleh Tuhan dan Kerajaan!” pekik Mary terkejut.

Bibir Henry tersenyum sinis, tangannya mencoba menyentuh pipi gadis itu. “Jika memang aku harus melawan Tuhan demi mendapatkanmu, aku akan melakukannya,” ujarnya lirih.

Mary merasa bingung dengan sentuhan lelaki di hadapannya. Ia bisa saja menolak tetapi ia seakan terperangkap dalam jerat pesona mata lelaki itu. Kaki gadis itu membeku, tak bisa bergerak. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi hatinya juga mengharapkannya. Mungkinkah ini yang dikatakan Anne, sebagai gairah?

Tanpa menunggu lagi, bibir Henry bertaut pada bibir Mary. Lembut dan perlahan. Mary memejamkan mata, merasa ketakutan, tetapi ia tak juga bisa bergerak. Karena gadis itu tidak menolak, Henry kembali menautkan bibirnya ke bibir gadis itu, sembari tangannya bergerak memeluk punggung Mary yang ringkih. Gairah meledak dalam dada lelaki itu, sehingga ia semakin memagut bibir Mary dengan liar, meskipun gadis itu tergagap-gagap meresponnya. Lelaki itu menarik wajahnya sekilas, sebelum kembali mendaratkan ciumannya sekali lagi. Kali ini Henry banyak menuntut, lidahnya memaksa bibir Mary yang terkatup untuk membuka, sementara tangannya membelai punggung gadis itu dengan gerakan sensual. Lelaki itu sudah terbiasa melakukannya di mana pun, sehingga ia pun cekatan menyusupkan tangannya ke balik gaun Mary dan menyentuh kulitnya.

Namun, kali ini, Mary terkesiap dan memundurkan langkah. Ia menatap Henry dengan wajah memerah, sementara tangannya menutup bibirnya. Gadis itu tak menyangka bahwa ciuman pertamanya telah dicuri! Bahkan di malam sebelum ia menikah! Mary menatap Henry dengan marah dan menampar pipi lelaki itu keras-keras. Sebelum Hary sempat menjelaskan, Mary berlari kelaur ruangan dan menghindari lelaki asing yang telah menodainya. Gadis itu bercucuran air mata, menyesal karena ia tak bisa mempertahankan kesuciannya hanya untuk suaminya.

Mary terhenti ketika ia menabrak seseorang. “Ma-maaf, maafkan aku!”

“Mary! Darimana saja kau? Aku mencarimu kemana-mana!”

Suara itu menyentakkannya untuk kembali sadar. Anne. Wajah adiknya menatapnya dengan cemas, sementara ia tak bisa menghentikan air matanya yang menderas.

“Anne! Anne, aku ...” Mary tergugu, lalu memeluk tubuh adiknya yang lebih jangkung daripadanya.

“Apa yang terjadi? Gaunmu berantakan!” Anne segera membenahi ikatan gaun kakaknya dengan segera. “Kau bertemu seseorang yang jahat? Di mana dia? Biar aku yang menghajarnya untukmu! Katakan padaku!”

“Ti-tidak ....” Gadis berambut pirang itu masih merasakan lidahnya kelu, tak sanggup menceritakan apapun. Apa Anne akan percaya dan memihaknya? Apakah Anne tidak akan menudingnya perempuan rendahan karena ciuman pertamanya dilakukan bersama orang yang bukan suaminya? Mary hanya bisa menelan kesedihan itu, menumpahkannya dengan air mata. Anne memeluknya dengan erat, tangannya menepuk punggung sang kakak untuk menenangkannya.

Gadis itu tak bisa mencerna apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Ia hanya bisa berdoa bahwa Tuhan akan mengampuni perbuatannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status