Bu Ratna terdiam sejenak, lalu menarik diri. Dengan gerakan lambat, ia berpindah ke sisi ranjang, duduk dengan punggung membelakangi Juned. Cahaya lilin menari-nari di kulit pucatnya yang tiba-tiba terlihat rapuh. “Selama ini,” ujarnya, suara tiba-tiba kehilangan nada menggoda, “aku hanya menunggu penerus sejati untuk Cakra Buana.” Juned mengerutkan kening. “Penerus sejati?” Bu Ratna menoleh, matanya tiba-tiba berkilau aneh. “Anak yang akan meneruskan Perusahaanku. Warisan yang harus dijaga garis darahnya. Dan anak dalam kandunganku ini,” tangannya mengelus perut, “akan menjadi penerus sempurna karena darahku mengalir di dalamnya.” Juned merasa tenggorokannya kering. “Bagaimana dengan Rizka? Bukannya dia anak—” “Rizka?” Bu Ratna menyeringai. “Dia bukan darah dagingku. Hanya anak bawaan suami keduaku, salah satu sampah yang pernah kubawa masuk ke rumah ini.”Juned masih terduduk di tengah ranjang, tubuhnya tegang seperti kawat yang diregangkan. “Aku baru tahu soal ini.” Bu
Koridor megah itu terasa semakin panjang dengan setiap langkah Juned. Karpet merah di bawah kakinya menyerap suara langkah, seolah rumah ini ingin menyembunyikan jalannya menuju kamar Bu Ratna. Juned berhenti di depan pintu kamar Bu Ratna. Ukiran kayunya rumit—pola ular yang melingkar seolah hidup ketika disentuh cahaya lampu koridor. Dia mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi pintu terbuka sendiri sebelum jarinya menyentuh permukaan kayu. “Aku tahu kau pasti akan datang,” suara Bu Ratna terdengar dari dalam kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Dia sudah berbaring di tempat tidur luas, mengenakan gaun tidur transparan. “Jangan berdiri di sana seperti anak ketakutan. Masuklah.”Juned melangkah masuk dengan kaku, punggungnya tegang seperti kawat baja. Kamar Bu Ratna terasa seperti ruang terpisah dari dunia—udara hangat berminyak parfum, tirai sutra yang bergerak sendiri, dan tempat tidur besar yang seolah siap menelan apa pun yang berbaring di atasnya. Bu Ratna bersandar d
“Maafkan penampilanku yang berantakan,” ujarnya dengan suara serak, sambil berjalan mendekat dengan anggun. “Aku tidak tahu kalau akan kedatangan tamu.”Juned mengerutkan kening, bingung dengan reaksi yang tak terduga. “Bu Ratna, ini Tania—” “Aku tahu persis siapa dia!” Bu Ratna memotong, berjalan mendekat dengan langkah tegas. “Polisi wanita yang tinggal bersamamu itu. Tapi membawanya ke rumahku? Di hadapanku? Kau berani sekali.”Tania yang awalnya waspada, kini menyembunyikan senyum kecil. “Bu Ratna, kami datang karena—” “Diam dulu,” Bu Ratna mengangkat tangan, lalu menunjuk Juned. “Aku ingin dengar dari mulutnya. Apa maksudnya membawa wanita lain ke sini, padahal Rizka dan aku—” Dia sengaja tidak menyelesaikan kalimat, membiarkan implikasinya menggantung di udara. Juned menatap lurus ke mata Bu Ratna, suaranya tegas namun rendah. “Kami datang untuk meminta perlindungan, Bu. Tania baru saja keluar dari kepolisian. Ada orang-orang berbahaya yang akan mengejar kami jika kami
“Syarat apapun itu,” ujarnya dengan suara rileks, satu tangan terlepas dari setir untuk menyentuh paha Juned, “kita hadapi saja. Lagipula...” Dia mencuri pandang ke arah Juned, matanya berbinar licik. “Aku sudah lama ingin tahu seberapa jauh sih Bu Ratna bisa memainkan kita. Ini akan menarik.” Juned menggeleng tak percaya. “Kau tidak takut dia mungkin meminta—” “Sayang,” Tania memotong dengan lembut, “setelah apa yang aku ketahui hari ini? Setelah melihat rekamanmu dengan Rizka? Setelah tahu kau menghamili Bu Ratna?” Tawanya pendek. “Aku pikir tidak ada lagi yang bisa mengejutkanku.” Juned menyandarkan kepalanya ke belakang, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tak percaya akan berada situasi yang bisa dibilang enak bagi pria lain, tapi begitu rumit baginya.Mobil terus berlalu dalam kendali Tania yang sesekali menoleh ke arah Juned. “Apa kamu pernah ke rumah Bu Ratna?” Tanya Tania dengan santai.Juned menggeleng tanpa mengucapkan sesuatu, seolah sedang memikirkan
Juned hanya tersenyum, tak terburu-buru melepaskan diri. “Tenang, Bu,” bisiknya sambil menekan perlahan pundak Bu Reni yang mengeras. “Ini biasa.” “Aku sempat lupa kalau dia menunggu di luar! Selama ini!” Suara Bu Reni naik setengah berbisik, wajahnya memerah campuran malu dan sesuatu yang lain. Juned mengangkat bahu, mulai mengambil handuk di samping sofa. “Tania pasti sudah tahu. Prosedur yang kulakukan saat memijat pelanggan.” Tok.. Tok.. “Sayang, apa kamu butuh minyak lagi? Kalau butuh minyak tambahan ada di atas lemari” tanya Tania lagi, suaranya datar. Bu Reni menarik handuk dengan gemas, tubuhnya masih bergetar sisa kenikmatan yang baru saja di lepaskan. “Ini... ini memalukan...” Juned membetulkan baju seadanya sebelum berjalan ke pintu. “Tidak ada yang memalukan dari kebutuhan alami, Bu Reni,” ujarnya dengan suara cukup keras untuk didengar kedua perempuan itu. Pintu terbuka setengah, memperlihatkan Tania berdiri dengan ponselnya. Matanya yang tajam menyapu cepat
“Silakan berbaring telentang, Bu,” bisik Juned, suaranya serendah gemerisik daun di jendela.Bu Reni mengalihkan pandangannya sebentar, bulu matanya bergetar. Perlahan, seperti daun yang jatuh di musim gugur, tubuhnya berbalik menelentang. Kain katun tipis itu mengikuti lekuk tubuhnya, menyingkapkan leher jenjang yang mulai memerah. Dada Bu Reni yang naik turun tak beraturan membuat ujung jari yang gemetar mencengkeram tepi sofa.Juned menuangkan minyak hangat di telapak tangannya. Dia kembali mulai dari tulang selangka. Jari-jarinya yang terlatih menari di kulit Bu Reni, menemukan setiap titik ketegangan. “Di sini ya, Bu?” tanyanya sambil menekan lembut bagian bawah leher. Bu Reni mengatupkan bibir. Tangannya meraih bantal sofa. “Iya... tepat di sana...” Suara Bu Reni pecah ketika jempol Juned menyentuh area sensitif di batas atas lembah gunungnya, tepat di mana detak jantung bisa dirasakan. “Apa terasa sakit di sini?” Bu Reni menggeleng, tapi lengannya yang gemulai m