Juned dan Vivi masih dalam posisi yang sama, kepala Vivi yang bersandar di pundak Juned, sedangkan Juned masih membelai lembut rambut Vivi. Pria itu semakin berani dengan merangkul kan tangannya ke pundak Vivi, merasakan kulitnya yang halus nan lembut.
Vivi menumpahkan semua kesedihannya untuk beberapa saat kala itu. Hingga akhirnya dia tersadar dan tubuhnya menjauh dari pelukan Juned. “Maaf, jadi terbawa suasana.” Ujar Vivi dengan lirih, menunjukkan mukanya yang memerah menahan malu. Juned merasa canggung dengan yang baru saja terjadi, “iya enggak apa-apa.” Juned berusaha mengatur nafas dan birahinya yang sudah naik dengan membetulkan posisi duduknya. Sampai akhirnya desakkan yang ada di dalam celananya mulai mengendur. “Kenapa sih, Vi? Kamu masih terus bertahan dengan laki-laki seperti Anton.” Tanya Juned untuk mengalihkan perhatian. “Aku enggak bisa melakukan itu, Jun. Pernikahanku dengan Mas Anton dulu karena kondisi terpaksa.” Jawab Vivi dengan lirih, menundukkan wajahnya. “Maksudnya bagaimana, Vi?” Tanya Juned dengan tatapannya yang tajam memperhatikan Vivi yang terlihat kembali murung. Awalnya Vivi terdiam sejenak seolah tak ingin bercerita yang sebenarnya kepada Juned. Dirasa percuma bercerita dengan pria lemah yang tak bisa berbuat apa-apa seperti Juned. Di pikirannya Juned masihlah seorang pria miskin dan tak berdaya, mana mungkin bisa membantunya. Akhirnya dengan pertimbangan sesaat, karena hanya butuh sekedar tempat berbagi cerita akhirnya Vivi memberi tahukan alasan menikahi Anton. “Dulu orang tuaku memiliki hutang yang banyak kepada Mas Anton, Jun. Sehingga aku harus menikah dengannya untuk membayar hutang orang tuaku.” Kata Vivi. Juned terkejut mendengar ucapan Vivi, di jaman sekarang ternyata masih ada pernikahan yang dilandasi dengan hal seperti itu. “Kenapa kamu mau aja?, kamu tahu kan Anton itu orangnya seperti apa?”. Dengan nada kesal Juned terus memberikan pertanyaan kepada Vivi. Dia sangat kecewa dengan hal-hal seperti itu. Batin Vivi terasa tertekan jika harus mengingat hal itu. Pikirannya kembali buyar tak tentu arah. “Apalah dayaku, itu adalah satu-satunya cara agar Mas Anton tak menyakiti keluargaku.” Kata Vivi dengan nafas yang berat. Juned merasa empati dengan apa yang terjadi dengan Vivi, dia juga merasakan hal yang sama selama ini. Juned tak bisa berbuat apa-apa dengan perundungan, cemooh, dan hinaan yang dia dapatkan dari warga lain. Setelah ada perubahan dalam dirinya, Juned mencoba membantu orang-orang yang sedang membutuhkan seperti Vivi. “Vivi, aku berjanji akan membantu membebaskanmu dari belenggu Anton. Aku akan membebaskan burung yang terkurung di dalam sangkar.” Kata Juned penuh percaya diri. Mendengar ucapan itu, Vivi langsung semringah, masih ada orang yang mau membantunya. Di lain sisi dia tak percaya jika Juned si pria lemah bisa melakukan hal itu. “Aku akan melakukan apa pun untukmu jika kamu bisa membantu memisahkanku dan mas Anton.” Kata Vivi dengan nada meremehkan. Juned semakin tertantang setelah tawarannya di terima oleh Vivi. Sejenak memandangi tubuh Vivi untuk ke sekian kali, seperti tak ada rasa bosan bagi Juned. “Termasuk tubuhmu, kamu mau memberikannya untukku.” Kata Juned dengan tatapan yang kembali bergelora. Vivi menghela nafas sejenak, “Iya.” Singkat, padat, dan tanpa pikir panjang jawaban itu terlontar dari bibir Vivi. Jawaban itu sontak membuat pikiran Juned berlari ke mana-mana. Bayangan hal indah di balik kemben Vivi pun mulai liar di pikiran Juned, dari ujung rambut sampai ujung kaki tak lepas dari pikiran kotor si Juned. Hal itu membuat bagian milik Juned bereaksi, bahkan Vivi sempat melihat ada yang bergerak gerak di antara kedua kaki Juned. Pria itu berusaha menahan setengah mati agar benda yang bergerak itu tak terlihat oleh Vivi. Vivi sempat tertegun ketika melihatnya dan tersenyum kecil, lalu dia pergi meninggalkan sungai. Di ikuti Juned yang mengikuti langkahnya dari belakang. Juned dan Vivi akhirnya pulang dan berpisah di tengah jalan, mereka menuju ke rumah masing-masing. Juned tak sabar menunggu waktu di mana dia bisa menyelamatkan Vivi. Sesampainya Juned di rumah, dia melihat sesuatu yang tak mengenakkan hati. Tantenya sedang di dekati oleh beberapa orang pria di klinik milik Juned. Juned berpikir hal itu sudah biasa terjadi selama ini. Mengingat Tante Lilis yang meskipun janda, dia masih terlalu menarik perhatian para lelaki di kampung tersebut. Wajah kekanak-kanakkan serta didukung oleh tubuh yang seksi layaknya artis film jepang, membuat Tante Lilis menjadi primadona di desa tersebut. Tante Lilis juga menyadari perlakuan dari para pria di kampungnya, karena pesona yang dimilikinya tak dapat di tolak oleh setiap pasang mata lelaki. Jadi dia membiarkan saja selama masih dalam batas yang wajar. Terkadang Tante Lilis merasa senang ketika dia menjadi pusat perhatian orang lain. Sepeninggal sosok suaminya dia merasa begitu kesepian dan terkadang rindu akan belaian seorang lelaki. Juned yang berdiri di ambang pintu baru menyadari bahwa kawanan pria yang sedang mendekati Lilis adalah Anton (suami Vivi) dan komplotannya. Melihat Pria kasar dan kurang ajar sedang menggoda tantenya. Darahnya mengalir ke ubun-ubun dengan cepat, amarahnya bergelora di dalam jiwanya. Juned takut apabila Anton bersikap kurang ajar kepada sang tante, sama seperti yang dilakukan pria kurang ajar itu pada Vivi. Benar saja apa yang ditakutkan oleh Juned. Dari kejauhan, Juned melihat Anton sedang mencolek dagu tantenya yang runcing itu. “He bajingan!! Jauhkan tangan kotormu dari tanteku.” Teriak Juned dari jauh penuh keberanian. Mendengar teriakkan Juned, Anton dan kawan-kawannya sontak menoleh ke arah Juned. Begitu pula dengan Lilis, seketika merasa khawatir dengan yang dilakukan Juned. Lilis hanya bisa mengernyitkan dahi dan sedikit menggelengkan kepalanya. “Apa yang di lakukan anak itu? Kenapa harus cari gara-gara sama si Jawara Kampung.” Batin Lilis yang pasrah menerima apa pun yang terjadi selanjutnya.“HORE! HIDUP JUNED!”Sorak-sorai kemenangan warga desa masih bergema di udara ketika Nyonya Lim memandang dengan para warga desa dari kejauhan. Wanita itu mendekat dengan elegan, langkahnya tenang dan penuh wibawa bagai macan yang memasuki wilayah kekuasaannya. Semua mata tertuju padanya, termasuk Juned yang masih dikelilingi warga.Dia berjalan mendekati Anton yang masih berlutut di tanah, tubuhnya terguncang oleh isakan yang memilukan. Wajah Anton yang babak belur dan penuh debu tampak begitu memprihatinkan di bawah sinar matahari pagi.Nyonya Lim berdiri di depan Anton, memandangnya dengan pandangan dingin, tanpa sedikitpun belas kasihan. “Kau lihat, Anton?” ujarnya dengan suara yang jelas terdengar oleh semua orang. “Inilah akhir dari setiap keserakahan yang tidak mengenal batas.”Anton mengangkat kepalanya, matanya yang bengkak dipenuhi rasa takut dan keputusasaan. “Nyonya Lim... tolong... aku mohon...”“Diam,” potong Nyonya Lim tajam. “Kau sudah kehilangan hak untuk berbicara.”
Udara pagi yang semula dingin dan diselimuti kabut, kini berubah menjadi panas oleh amarah yang lama terpendam. Anton, berdiri terhuyung dengan wajah babak belur, matanya menyala-nyala seperti binatang yang terkepung. Di depannya, Juned berdiri tegak, tubuhnya penuh luka tapi sorot matanya tajam bagai pedang. Tapi yang membuat Anton benar-benar terpojok adalah barisan di belakang Juned. Warga desa yang selama ini ia anggap sebagai kawanan domba penurut, kini berdiri dengan batu, kayu, dan pacul di tangan. Wajah-wajah mereka yang biasa tunduk kini dipenuhi tekad membara.“Kalian pikir segelintir petani kotor bisa mengalahkan kami?!” teriak Rico, tangan kanan Anton, sambil mengacungkan golok pendek. Suaranya menggertak, tapi ada getar ketakutan di dalamnya. Ia dan lima anak buahnya yang tersisa mundur selangkah, membentuk formasi perlindungan di sekitar Anton yang nyaris tak berdaya.Pak Darmin, lelaki berotot yang selama ini dikenal pendiam, maju selangkah. Tangannya yang kekar mencen
“SUDAH CUKUP, JUNED!”Teriakan itu datang, tajam dan berwibawa, memotong ketegangan yang mencekik. Suara yang familiar bagi sebagian warga, terutama bagi Pak Samijo yang wajahnya langsung pucat pasi.Semua kepala menoleh. Sebuah mobil sedan sederhana berhenti di belakang kerumunan. Keluarlah seorang wanita dengan saree elegan, wajahnya tampak lelah namun penuh kewibawaan. Dia adalah Bu Ratna, mantan istri Pak Samijo dan pemimpin sebelumnya dari Cakra Buana.“Bu Ratna?” gumam beberapa warga tua, heran melihatnya kembali.Dia berjalan mendekat, langkahnya pasti, mengabaikan tatapan takjub dan heran. Matanya yang tajam menyapu kerumunan sebelum akhirnya tertuju pada Juned yang babak belur dan Anton yang masih dengan congkaknya.“Lihatlah mereka, Juned!” hardik Bu Ratna, suaranya bergetar bukan karena takut, tapi karena kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. Dia menunjuk ke arah warga yang membeku. “Lihatlah baik-baik orang-orang yang kau bela ini!”Juned mencoba memusatkan pandangannya
“Ini bukan tentang menang atau kalah, Anton,” ujar Juned, suaranya lantang sehingga terdengar oleh warga yang berkerumun, termasuk Pak Samijo yang masih terpana. “Ini tentang membayar hutang. Hutangmu pada desa ini. Hutangmu pada setiap keluarga yang berasal dari desa ini.”Juned menunjuk ke bangunan klub malam yang terbengkalai di sebelah rumahnya. “Kau mengubah warisan kakekku menjadi tempat kekotoranmu. Kau meracuni tanah dan air kami dengan tambangmu. Kau menyiksa orang-orang yang tidak berdaya, seperti Lastri... dan tanteku, Lilis!”Anton tertawa getir, hampir histeris. “Bodoh! Kalian semua bodoh! Di dunia ini yang penting adalah uang dan kekuasaan! Dan aku memilikinya! Aku... aku...” Teriakannya teredam ketika dia menyadari bahwa uang dan kekuasaannya telah lenyap. Ekspresinya berubah menjadi putus asa.“Tidak, Anton,” sergah Juned, suaranya menggelegar penuh keyakinan. “Yang kau miliki sekarang hanya rasa malu. Lihatlah sekelilingmu.” Juned menunjuk ke arah warga yang mulai be
Perjalanan ini terasa seperti mimpi. Beberapa jam yang lalu, dia adalah seorang penyusup yang putus asa. Sekarang, dia duduk di samping seorang wanita yang dengan mudah meruntuhkan kerajaan seorang Anton, dan pulang dengan status yang sama sekali berbeda.Nyonya Lim tampak tenang, sesekali melihat dokumen di tabletnya, seolah perjalanan ini adalah urusan bisnis biasa.“Apakah kau siap?” tanya Nyonya Lim tiba-tiba, tanpa mengangkat pandangannya dari tablet.“Untuk apa?” jawab Juned.“Untuk menghadapi masa lalumu. Untuk menjadi orang yang berbeda di mata orang-orang yang mengenalmu sebagai anak desa yang biasa saja,” jelasnya. “Kekuatanmu akan mengubah segalanya. Termasuk caramu memandang desamu, dan cara mereka memandangmu.”Juned tidak langsung menjawab. Dia ingat ejekan, ingat rasa tidak berdaya, ingat bagaimana keluarganya berjuang melawan perusahaan Anton.“Aku selalu siap,” gumamnya akhirnya. “Hanya saja, dulu aku tidak punya kekuatan untuk melawan.”“Sekarang kau memilikinya,” sa
Limusin itu berhenti di depan menara pencakar langit yang megah, tempat kantor pusat Grup Anton Perkasa berdiri. Berbeda dengan penyusupan gelap-gelapan ke rumahnya, kali ini Juned masuk melalui pintu utama, disamping Nyonya Lim yang langkahnya penuh wibawa. Para satpam hanya memberi hormat dalam-dalam, tidak berani menanyakan identitas Juned.Mereka naik lift eksklusif menuju lantai paling atas. Koridor sepi dan mewah, berlapis karpet tebal. Tanpa mengetuk, Nyonya Lim mendorong pintu kayu berukir yang megah, menuju ruang kerja utama Anton.Ruangan itu luas dan mewah, dengan pemandangan kota yang memukau. Namun, ruangan itu kosong. Tidak ada Anton yang terpojok, tidak ada konfrontasi dramatis.Nyonya Lim berjalan langsung ke meja kerja megah Anton dan menghidupkan komputer. Dengan beberapa klik, dia memasukkan sebuah device USB. Layar komputer berpendar, dan berbagai jendela data terbuka dengan cepat.“Kekuasaan sejati,” ujar Nyonya Lim tanpa menoleh pada Juned, “tidak selalu membutuh