Juned berdiri dalam keadaan yang berbeda, setelah berada di ambang antara hidup dan mati akibat memakan Jamur yang hanya tumbuh 1000 tahun sekali. Beberapa luka yang di derita sebelumnya menghilang seketika. “Wah, kok aneh. Lukaku sembuh tak berbekas.” Juned merasa takjub dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
Sudah semalaman Juned tidur di dalam hutan, lukanya juga telah sembuh. Juned juga menyadari bahwa ada beberapa perubahan, seperti mentalnya yang kini kembali pulih. Juned bergegas kembali ke rumah, dia takut jika Tante Lilis khawatir karena semalaman dia tak pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, Juned melewati sungai yang airnya masih bersih di kampungnya. Juned berniat membasuh mukanya di sana agar terlihat lebih segar. Karena airnya yang bersih, sungai itu sering digunakan warga kampung untuk beraktivitas, mulai dari mandi sampai mencuci baju. Saat berada di tepi sungai dan hendak menciduk air. Juned melepas kaos dan celana jeans milikinya menyisakan celana kolor pendek, dengan maksud agar pakaiannya tidak basah. Ketika membasuh muka, terdengar suara tangisan tak jauh dari tempatnya. Tangisan yang terdengar pelan namun jelas bagi Juned. Dia baru menyadari ternyata ada seorang wanita yang sedang mencuci baju di sungai. Ternyata itu adalah Vivi, istri seorang jawara di kampung itu. Juned melihat Vivi yang sedang menangis sesenggukan di tepi sungai. Vivi saat itu hanya mengenakan kemben bermotif batik, menutup sebagian dada hingga atas lutut saja, mempertontonkan tubuhnya yang menggoda. Juned mendekat ke arah Vivi hingga terlihat paha mulus yang menyilaukan mata. Seketika membuat bagian tubuh bawah Juned bereaksi, hal itu membuktikan bahwa miliknya kembali normal. “Loh, kok jadi sesak celanaku,” gumam Juned, sambil berusaha menyembunyikan reaksi yang terjadi. Juned yang awalnya melihat Vivi dengan pandangan penuh nafsu, berubah menjadi kasihan terhadapnya. Juned melihat luka lebam di wajah cantik wanita itu. “Vivi, Apa yang terjadi dengan wajahmu itu?” Tegur Juned. Vivi menoleh dan melihat kehadiran Juned yang hanya memakai celana pendek. “Juned, apa yang kau lakukan di sini?” dengan suara sedikit tersentak Vivi bertanya balik kepada Juned. Awalnya Vivi merasa takut dengan adanya Juned yang mendekatinya, apalagi dia hanya memakai kemben yang hanya menutupi setengah bagian tubuhnya saja. Namun karena Vivi sering mendengar kabar bahwa Juned adalah seorang yang memiliki lemah syahwat. Ketakutannya seketika menghilang. “Mana mungkin pria yang tak bisa berdiri melakukan hal yang tidak-tidak padaku.” Pikir Vivi dalam hati, membiarkan Juned duduk di sampingnya. “Aku hanya membasuh muka saja kok, Vi.” Juned duduk di samping Vivi dengan rasa penasaran yang semakin besar tentang yang terjadi dengan wajah lebam itu. Merasa belum terjawab keingintahuan, Juned mendesak Vivi untuk bercerita. “Apa ini ulah suamimu, Vi?” tanya Juned. Vivi mengangguk pelan seolah membenarkan pertanyaan dari Juned. Dalam tangisan yang masih tersisa Vivi berusaha membagi cerita dengan Juned. Karena selama ini dia hanya memendam rasa sakit itu sendirian, tanpa ada orang lain yang mampu mengerti betapa tersiksanya batin dan jasmaninya. “Semalam, Aku melihat Mas Anton bersama wanita lain, dan tak pulang ke rumah. Lalu tadi pagi saat dia pulang, aku mencoba bertanya kepadanya perihal wanita yang bersamanya semalam. Tapi....”cerita Vivi terhenti, seperti ada beban yang menahan ucapannya. “Dia marah, lalu melakukan ini padamu.” Sahut Juned sambil menunjuk wajah Vivi yang menghitam. Sebenarnya Juned tak terkejut dengan kelakuan Anton, suami Vivi. Karena itu bukan rahasia umum lagi di masyarakat bahwa Jawara Kampung itu selalu berlaku kasar kepada istrinya. “Iya, Juned. Dia memukulku hingga seperti ini.” Ucap Vivi dengan suara yang bergetar. Juned ingin menenangkan wanita yang tengah bersedih itu, tangannya ingin meraih kepala Vivi namun Juned takut jika dia akan mendapat penolakan. Akhirnya Juned mengurungkan niatnya dan memilih untuk terus mendengarkan cerita Vivi. “Akhir-akhir ini dia jarang menyentuhku karena lebih suka main perempuan di luar sana. Apa aku ini kurang cantik?” Suara Vivi semakin bergetar, tangisan yang awalnya mereda kembali melanda. Membuat pilu hati Juned yang mendengarnya. “Kamu itu cantik kok, Vi. Memang si Anton saja yang kurang ajar. Sudah memiliki istri secantik kamu, tapi masih mencari wanita lain.” Ucap Juned. Vivi sedikit terkejut mendengar gaya bicara Juned yang seperti orang pemberani. Padahal Dia dikenal sebagai laki-laki yang pengecut dan lemah, tapi kali ini tak sinkron dengan gaya bicaranya yang sekarang. Tiba-tiba Vivi menyandarkan kepalanya ke pundak Juned, hal itu terjadi begitu saja tanpa rencana dan komando. Hanya refleks kilat yang dilakukan oleh Vivi hingga Juned merasa bingung apa yang harus dilakukannya. Baru pertama kali bagi Juned ada seorang wanita yang meletakkan kepalanya di pundaknya. Juned akhirnya memberanikan diri untuk memegang kepala Vivi dan membelai rambut hitam Vivi yang panjang dengan sentuhan lembut. “kamu sabar aja ya, Vi.” Ucap Juned. Hal itu membuat apa yang ada di dalam celana pendeknya kembali bereaksi. Laki-laki mana yang tak tergoda saat seorang wanita yang hanya mengenakan kemben bersandar di pundaknya, Dengan rasa iba dan nafsu kepada Vivi yang muncul saling berbenturan dalam tubuh. Juned memandang tubuh Vivi begitu dekat dari atas sampai bawah, menikmati setiap jengkal kulit kuning langsat yang memesona mata. Juned menelan ludah saat matanya tertuju ke bagian dada yang segar. Sesekali Juned berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya agar Vivi tak melihatnya. Ketika mereka berada dalam posisi yang lumayan mesra, terdengar suara samar dari balik semak-semak. Ada seorang misterius yang ternyata sedang mengintip dan mengawasi mereka sejak tadi. “Aku harus melaporkan ini kepada ketua.” ujar seorang misterius itu. Kemudian melenggang pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Siapa orang misterius itu? Siapa yang dimaksud dengan ketua? Dan apa yang diinginkan dengan melaporkan Juned dan Vivi. Orang misterius itu terus menjauh dari tempat Juned dan Vivi tanpa diketahui oleh mereka berdua yang saling berbagi cerita.Rizka menutup wajah, bahunya terguncang isak tangis. “Kita... berdosa, Mas Jun!” suaranya parau di antara sedu sedan. Juned segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “Masuklah,” desisnya, tangan menuntun Rizka yang limbung melewati ambang pintu. “Akan sangat rumit jika ada tetangga yang usil melihatmu menangis di sini.” Pintu terkunci. Ruang tamu yang sunyi tiba-tiba menjadi ruang pengakuan. Rizka terjatuh di sofa, jilbabnya basah oleh air mata. “Kenapa tak ada penyesalan di matamu?” tanyanya, memandangi Juned yang berdiri di depan jendela tertutup. Juned berlutut, tangan hangatnya mengangkat dagu Rizka. "Karena malam-malam bersamamu," bisiknya, napasnya berbaur dengan aroma pandan dari kue yang terbawa masuk, "adalah satu-satunya saat aku lupa bahwa Sugeng pernah membakar masa laluku." Rizka tercekat. "Bakar? Apa maksud—" "Shhh," jempol Juned menyentuh bibirnya yang gemetar. "Belum waktunya kamu tahu."Ia mengambil handuk kecil, menyeka pelan wajah Rizka. Di balik ti
Juned menyendiri di ruang tamu rumahnya yang sederhana di Perumahan. Ketiadaan Tania—yang sedang mengejar buronan di luar kota—membuat ruangan terasa lebih besar dan lebih sunyi. Hanya suara kipas angin yang berdengung menemani tumpukan dokumen rencana pembalasan dendam kepada Anton.Berita mengenai proyek besar di daerah metropolis, kliping koran tentang pembangunan bank oleh tiga perusahaan besar— Cakra Buana, Bumi Marina dan Anton Perkasa. “Kau pikir aku lupa, Anton?” bisik Juned sambil mengoleskan minyak kayu putih di pelipis.Di layar ponsel, Juned melihat sosial media milik mendiang tantenya. Foto tante Lilis yang terlihat bahagia seolah memunculkan kerinduan.“Aku akan membuat semua orang merasakan apa yang kau rasakan Tante.” Gumam Juned tanpa terasa air mata mengalir di pipinya.Saat sedang menggeser-geser layar ponselnya. Tanpa sengaja dia melihat nama Sugeng yang telah memberikan tanda suka di salah satu foto Tante Lilis.Juned dengan cekatan menelepon nomor Dinda.“H
Langit pagi masih berwarna abu-abu susu, menyisakan embun pagi yang menggantung di daun pisang dekat pintu kos. Juned menekan “pesan ojek” di aplikasinya, jari-jarinya gemetar seperti baru memegang kabel listrik yang terkelupas. “Bang, tujuan sudah sesuai yang tertera di aplikasi,” ucapnya pada pengendara ojek yang helmnya dipenuhi stiker band metal. Si pengendara mengangguk, sambil matanya menyapu tubuh Juned yang masih kusut—baju tak rapi, bau campuran keringat dan lavender. “Habis begadang, Bang?” tanyanya sambil menyodorkan helm, suaranya serak seperti gergaji tua. Juned mengabaikan pertanyaan itu, tubuhnya meringkuk di jok motor yang masih terasa dingin.Kota mulai bangun: tukang bubur dorong gerobaknya, ibu-ibu dengan tas belanja menyerbu pasar pagi, sekelompok anak SMA tertawa di halte.“Apa abang mengantuk?” teriak pengendara sambil menyerobot lampu merah, “kalau mengantuk pegangan yang kencang.” Angin pagi menerpa wajah Juned, membawa aroma khas yang menyegarkan.
Juned menutup mata, tapi jemarinya terpaku pada kulit Dinda yang hangat, bergerak pelan seperti pena yang menari di atas perkamen. Setiap lekuk tubuhnya adalah kaligrafi: bahu yang keras namun lembut di ujung sentuhan, pinggul yang bergelombang laksana bukit pasir di tengah gurun sunyi. “Kau tahu cara menyembuhkan,” desis Dinda, melengkungkan punggung saat jemari Juned menyentuh bekas luka di pinggangnya, “tapi malam ini, aku akan memberimu kesembuhan dengan hiburan.” Bibir mereka hampir bertaut—napas saling menjajaki, menggantung di ruang sempit antara keinginan dan penyesalan. Dinda merekah seperti bunga teratai di tengah rawa gelap, tangannya meraih leher Juned dan menariknya ke dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Rasakan bagaimana ciuman seorang penghibur sepertiku,” geramnya di sela ciuman pertama yang menggigit, pahit dan manis seperti kopi tanpa gula. Pakaian yang tersisa luruh bagai dedaunan musim gugur, menyingkapkan dua tubuh yang tak lagi mengenal kata “milik”.
Bayangan Tania, tiba-tiba terlintas di pikiran Juned—wanita yang selalu terlihat tegas dengan seragam polisi dan rambut pendek sebahu. Tapi di sini, dalam gelap dan desau nafas Dinda yang pendek, ingatan itu terasa seperti asap.“Dulu, waktu kamu pijat Tante Yuni yang punya kos itu,” Dinda tiba-tiba bercerita, jarinya tak sengaja menyentuh leher Juned saat meraih botol minyak, “Aku liat kalian saat berada di dalam kamar Mbak Yuni. Bergairah banget. Aku mikir… pasti enak jadi klienmu.” Juned menelan ludah. “Dinda…” “Aku pernah bayangin,” sambung Dinda, suaranya parau, “Kalau suatu hari, kamu yang pijat aku. Bukan pijat biasa. Yang… pelan. Detail. Kayak kamu selalu lakuin ke klien cewek cantik.” Juned menghela napas. “Kita nggak boleh—” “Kenapa?” Dinda memotong. Tangannya sekarang berada di atas paha Juned, hangat dan tegas. “Karena kamu punya pacar? Atau karena takut ketahuan tetangga?” Di luar, tiba-tiba petir menggelegar. Juned menutup mata, berusaha mengingat wajah Tani
“Pastinya, tidak.” Juned menoleh ke arah Dinda sejenak.Dinda tersenyum melihat Juned yang salah tingkah. Dia mendahului Juned, berjalan di depannya.“Aku jamin kamu pasti kerasan dengan kamar kosku yang baru.”Dinda dan Juned menyusuri jalan perumahan yang tak jauh dari warung bakso tempat mereka makan.Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di sebuah bangunan tingkat tiga. Pintu pagar warna hitam menjulang tinggi di hadapan mereka.Dinda membuka gembok pagar yang menggantung di sisi dalam, senyum tipis mengembang. “Selamat datang di istanaku,” bisiknya, menggeser pagar begitu mudah karena memang bangunan baru. Baru saja masuk terlihat sebuah basemen yang digunakan sebagai parkiran motor dan mobil, dua vespa matic warna pastel terparkir rapi. “Modelnya seperti hotel saja.” Celetuk Juned yang baru tahu ada kost yang fasilitasnya hampir mirip seperti hotel.Juned mengikuti Dinda melewati koridor berpendingin udara, aroma lavender dan desinfektan menggantikan bau pengap yang