Tanpa pikir panjang, Juned berlari menerobos lingkaran orang-orang yang mengelilingi Tante Lilis. Dia mendorong satu per satu dari mereka, sampai akhirnya berdiri di depan Anton.
"Berhenti!" teriak Juned dengan nafas memburu. "Apa yang kalian lakukan?!" Anton tersenyum miring. “Oh, jadi akhirnya kau berani muncul juga, Juned,” katanya dingin. “Bagus. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan.” Sebelum Juned sempat bertanya, Anton mendekatinya dengan wajah penuh kebencian. "Apa yang kau lakukan dengan Vivi di sungai, hah?" suara Anton meninggi. Juned terdiam sejenak, pucat. Bagaimana Anton bisa tahu tentang pertemuannya dengan Vivi?. "Aku tidak melakukan apa-apa!" Juned menjawab dengan tegas. "Aku bertemu dengan Vivi secara kebetulan di sungai, saat aku sedang mencari tanaman herbal. Kami hanya mengobrol sebentar." Anton tidak mempercayainya. "Jangan bohong, Pria Letoy! Kau pasti membuntuti dia! Kau pasti berniat buruk terhadap istri orang!" Anton semakin mendekat, matanya seperti elang yang siap menerkam. Juned mencoba menjelaskan, namun Anton tidak mau mendengar. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya, dan tiga orang segera menghampiri Juned. Mereka mendorong dan memegang lengan Juned dengan kasar, memojokkannya ke tembok. Tante Lilis yang menyaksikan kejadian itu mulai histeris. "Lepaskan dia! Juned tidak bersalah!" teriaknya. Suaranya tenggelam di antara tawa dan ejekan dari anak buah Anton. Pukulan pertama menghantam wajah Juned. DEBUUKK... Kepala Juned terpaksa menoleh ke samping karena kerasnya pukulan itu. Namun anehnya, Juned tidak merasakan sakit yang seharusnya, seperti ada sesuatu yang tak terlihat melindungi tubuhnya. DEBUUKK... DEBUUKKK.. GEDEBUKKK Dengan tempo yang tak beraturan anak buah Anton melayangkan pukulan demi pukulan. “Duuhh...” rintihan tak jelas keluar dari mulut setiap orang. Setiap pukulan yang diberikan anak buah Anton seakan tak berefek sama sekali kepada Juned. Mereka yang menghantam, namun setelah itu mereka memegangi tangannya sendiri, seolah mereka sendiri yang kesakitan. Juned masih tetap berdiri tegak meski telah dipukuli, “silakan, pukul lagi sepuas kalian.” Kata Juned dengan nada memprovokasi. Hal itu membuat kemarahan Anton semakin membara. “Jadi kamu masih belum menyerah ya, sialan. Apa kau benar-benar cari mati saat ini?!” Anton melangkah maju dan mendekatkan wajahnya ke telinga Juned. “Baiklah, kita buat semuanya lebih mudah. Bagaimana kalau kita tukar saja Vivi dengan Lilis.” Mata Juned langsung melotot mendengar ucapan Anton. Anton masih melanjutkan ucapannya, “Kau bisa mengambil istriku, asal tante mungilmu ini menjadi milikku.” Tangan Anton dengan kasar menarik lengan baju Lilis sampai sobek. Kemudian merangkul tubuh Lilis yang gemetar ketakutan. CUIIHHH... Tanpa berpikir lebih jauh, Juned meludah ke arah Anton. Ludah itu tepat mengenai wajah sang Jawara Kampung itu. “Kurang ajar!!” Anton berteriak marah. Ia langsung melayangkan pukulan ke wajah Juned dengan sekuat tenaga. Pukulan Anton memang beda dengan anak buahnya, tubuh Juned sedikit tersentak ke belakang hingga ambruk. Namun Juned masih tak merasakan sakit sama sekali. Anton memegangi tangannya sambil merintih, “Sialan, tanganku sakit sekali.” Para anak buah Anton yang tadi juga ikut memukuli Juned saling pandang, melihat pemimpinnya yang mengeluh kesakitan. “Bos, sepertinya ada yang aneh dengan dia.” Anton masih tak percaya dengan keanehan yang terjadi. “Diam kalian! Mungkin tadi aku hanya salah posisi tangan saja.” Kata Anton dengan penuh amarah membentak anak buahnya. Di lain sisi Juned sudah kembali berdiri tegak tanpa luka. “Kau sudah selesai, Jawara.” Kata Juned. Kemarahan Anton menjadi tak terkendali, dia mengeluarkan kata-kata kasar. “Tetap jaga batasanmu, Letoy. Aku bisa saja menghabisimu sekarang juga.” Lilis yang mengerti sepak terjang Anton, hanya bisa menangis ketakutan. Tak tahu harus melakukan apa. “Habisi dia! Sampai tak bisa berdiri lagi!” Perintah Anton menggema membuat anak buahnya langsung mendekati Juned. DEBUUUKK... GEDEEBUUUKKK... Kali ini Juned sedikit melawan, dengan menangkis dan mendorong anak buah Anton hingga jatuh ke tanah. Seperti buah yang berserakkan. “Kenapa kalian kalah sama kutu ini!!!” Anton mulai panik dan tak menyangka melihat Juned yang mampu meredam perlawanan anak buahnya. “Tubuhnya kayak keras sekali, Bos.” Rintih salah satu anak buahnya. Anton celingak-celinguk memperhatikan sekitar, dia melihat sebuah kursi besi lalu mengambilnya. BRUUUAAAAAKKK... Tubuh Juned terhuyung ke belakang, menerima pemberian dari Anton yang begitu keras. Kursi yang di pegang Anton sampai patah, sementara Juned kembali jatuh ke tanah. “Bodoh kalian!!! Gunakan barang kalian untuk melawannya, jangan dengan tangan kosong!” Anton terus berteriak ke arah anak buahnya memberi komando. Seketika Anak buah Anton sudah mengelilingi Juned yang masih terbaring di tanah, tetap tak merasa kesakitan. Dia jatuh hanya karena terkejut dengan pemberian Anton yang tiba-tiba. Kini Anton dan anak buahnya sekarang berdiri sambil memegang barang mereka masing-masing. Seperti kawanan singa yang siap menerkam seekor rusa.Rizka menutup wajah, bahunya terguncang isak tangis. “Kita... berdosa, Mas Jun!” suaranya parau di antara sedu sedan. Juned segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “Masuklah,” desisnya, tangan menuntun Rizka yang limbung melewati ambang pintu. “Akan sangat rumit jika ada tetangga yang usil melihatmu menangis di sini.” Pintu terkunci. Ruang tamu yang sunyi tiba-tiba menjadi ruang pengakuan. Rizka terjatuh di sofa, jilbabnya basah oleh air mata. “Kenapa tak ada penyesalan di matamu?” tanyanya, memandangi Juned yang berdiri di depan jendela tertutup. Juned berlutut, tangan hangatnya mengangkat dagu Rizka. "Karena malam-malam bersamamu," bisiknya, napasnya berbaur dengan aroma pandan dari kue yang terbawa masuk, "adalah satu-satunya saat aku lupa bahwa Sugeng pernah membakar masa laluku." Rizka tercekat. "Bakar? Apa maksud—" "Shhh," jempol Juned menyentuh bibirnya yang gemetar. "Belum waktunya kamu tahu."Ia mengambil handuk kecil, menyeka pelan wajah Rizka. Di balik ti
Juned menyendiri di ruang tamu rumahnya yang sederhana di Perumahan. Ketiadaan Tania—yang sedang mengejar buronan di luar kota—membuat ruangan terasa lebih besar dan lebih sunyi. Hanya suara kipas angin yang berdengung menemani tumpukan dokumen rencana pembalasan dendam kepada Anton.Berita mengenai proyek besar di daerah metropolis, kliping koran tentang pembangunan bank oleh tiga perusahaan besar— Cakra Buana, Bumi Marina dan Anton Perkasa. “Kau pikir aku lupa, Anton?” bisik Juned sambil mengoleskan minyak kayu putih di pelipis.Di layar ponsel, Juned melihat sosial media milik mendiang tantenya. Foto tante Lilis yang terlihat bahagia seolah memunculkan kerinduan.“Aku akan membuat semua orang merasakan apa yang kau rasakan Tante.” Gumam Juned tanpa terasa air mata mengalir di pipinya.Saat sedang menggeser-geser layar ponselnya. Tanpa sengaja dia melihat nama Sugeng yang telah memberikan tanda suka di salah satu foto Tante Lilis.Juned dengan cekatan menelepon nomor Dinda.“H
Langit pagi masih berwarna abu-abu susu, menyisakan embun pagi yang menggantung di daun pisang dekat pintu kos. Juned menekan “pesan ojek” di aplikasinya, jari-jarinya gemetar seperti baru memegang kabel listrik yang terkelupas. “Bang, tujuan sudah sesuai yang tertera di aplikasi,” ucapnya pada pengendara ojek yang helmnya dipenuhi stiker band metal. Si pengendara mengangguk, sambil matanya menyapu tubuh Juned yang masih kusut—baju tak rapi, bau campuran keringat dan lavender. “Habis begadang, Bang?” tanyanya sambil menyodorkan helm, suaranya serak seperti gergaji tua. Juned mengabaikan pertanyaan itu, tubuhnya meringkuk di jok motor yang masih terasa dingin.Kota mulai bangun: tukang bubur dorong gerobaknya, ibu-ibu dengan tas belanja menyerbu pasar pagi, sekelompok anak SMA tertawa di halte.“Apa abang mengantuk?” teriak pengendara sambil menyerobot lampu merah, “kalau mengantuk pegangan yang kencang.” Angin pagi menerpa wajah Juned, membawa aroma khas yang menyegarkan.
Juned menutup mata, tapi jemarinya terpaku pada kulit Dinda yang hangat, bergerak pelan seperti pena yang menari di atas perkamen. Setiap lekuk tubuhnya adalah kaligrafi: bahu yang keras namun lembut di ujung sentuhan, pinggul yang bergelombang laksana bukit pasir di tengah gurun sunyi. “Kau tahu cara menyembuhkan,” desis Dinda, melengkungkan punggung saat jemari Juned menyentuh bekas luka di pinggangnya, “tapi malam ini, aku akan memberimu kesembuhan dengan hiburan.” Bibir mereka hampir bertaut—napas saling menjajaki, menggantung di ruang sempit antara keinginan dan penyesalan. Dinda merekah seperti bunga teratai di tengah rawa gelap, tangannya meraih leher Juned dan menariknya ke dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Rasakan bagaimana ciuman seorang penghibur sepertiku,” geramnya di sela ciuman pertama yang menggigit, pahit dan manis seperti kopi tanpa gula. Pakaian yang tersisa luruh bagai dedaunan musim gugur, menyingkapkan dua tubuh yang tak lagi mengenal kata “milik”.
Bayangan Tania, tiba-tiba terlintas di pikiran Juned—wanita yang selalu terlihat tegas dengan seragam polisi dan rambut pendek sebahu. Tapi di sini, dalam gelap dan desau nafas Dinda yang pendek, ingatan itu terasa seperti asap.“Dulu, waktu kamu pijat Tante Yuni yang punya kos itu,” Dinda tiba-tiba bercerita, jarinya tak sengaja menyentuh leher Juned saat meraih botol minyak, “Aku liat kalian saat berada di dalam kamar Mbak Yuni. Bergairah banget. Aku mikir… pasti enak jadi klienmu.” Juned menelan ludah. “Dinda…” “Aku pernah bayangin,” sambung Dinda, suaranya parau, “Kalau suatu hari, kamu yang pijat aku. Bukan pijat biasa. Yang… pelan. Detail. Kayak kamu selalu lakuin ke klien cewek cantik.” Juned menghela napas. “Kita nggak boleh—” “Kenapa?” Dinda memotong. Tangannya sekarang berada di atas paha Juned, hangat dan tegas. “Karena kamu punya pacar? Atau karena takut ketahuan tetangga?” Di luar, tiba-tiba petir menggelegar. Juned menutup mata, berusaha mengingat wajah Tani
“Pastinya, tidak.” Juned menoleh ke arah Dinda sejenak.Dinda tersenyum melihat Juned yang salah tingkah. Dia mendahului Juned, berjalan di depannya.“Aku jamin kamu pasti kerasan dengan kamar kosku yang baru.”Dinda dan Juned menyusuri jalan perumahan yang tak jauh dari warung bakso tempat mereka makan.Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di sebuah bangunan tingkat tiga. Pintu pagar warna hitam menjulang tinggi di hadapan mereka.Dinda membuka gembok pagar yang menggantung di sisi dalam, senyum tipis mengembang. “Selamat datang di istanaku,” bisiknya, menggeser pagar begitu mudah karena memang bangunan baru. Baru saja masuk terlihat sebuah basemen yang digunakan sebagai parkiran motor dan mobil, dua vespa matic warna pastel terparkir rapi. “Modelnya seperti hotel saja.” Celetuk Juned yang baru tahu ada kost yang fasilitasnya hampir mirip seperti hotel.Juned mengikuti Dinda melewati koridor berpendingin udara, aroma lavender dan desinfektan menggantikan bau pengap yang