Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus.
"Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."
Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.
Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.
Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cicilan utang pinjaman online yang dulu ia ambil demi membiayai pengobatan kakeknya. Sayangnya, meski sudah berusaha semaksimal mungkin, takdir berkata lain. Kakeknya tetap meninggal dunia, meninggalkan Adit dengan beban finansial yang cukup berat.
Hari itu, Adit tidak menerima klien lain. Entah kebetulan atau memang Pak Rudi yang mengaturnya, ia tidak terlalu peduli. Dengan uang yang baru ia dapat, rasanya ia tidak masalah meski hanya menangani satu pelanggan saja hari ini. Gaji pokoknya tetap ada, dan kini ada tambahan besar yang bisa meringankan bebannya.
Waktu terasa berlalu cepat. Jam kerja pun berakhir. Adit segera menuju ke rumahnya yang kecil dan sederhana itu. Begitu sampai, ia langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dengan air dingin yang sedikit mengusir rasa lelah. Setelah itu, ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki; kaus hitam polos dan celana jeans yang masih cukup layak.
Saat ia sedang merapikan rambutnya di depan cermin kecil di dinding, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Halo?" Adit mengangkatnya. Jantungnya sedikit deg-degan.
"Adit... kamu sudah siap?" Suara Ratna terdengar di seberang, lembut namun ada nada antusias.
Adit melirik jam dinding. Masih ada waktu, tapi sepertinya Ratna sudah tidak sabar. "Iya, Mbak Ratna. Sebentar lagi aku berangkat. Kita ketemu di mana?"
“Aku sudah di restoran, nih. Restoran Orchid di pusat kota. Aku tunggu kamu di sini, ya. Jangan lama-lama,” balas Ratna.
“Baik, Mbak. Aku segera ke sana,” jawab Adit. Ia semakin gugup saja. ‘Hanya makan malam. Bukan apa-apa...’ ucapnya dalam hati mencoba menenangkan diri.
Panggilan berakhir. Adit menarik napas panjang sebelum mengambil kunci motornya. Malam ini mungkin akan jadi malam yang menarik. Ia tidak tahu pasti apa yang Ratna inginkan darinya, tapi ia memutuskan untuk mengalir saja mengikuti arus.
Tanpa menunda lagi, ia pun bergegas keluar, menyalakan motor, melaju dengan kecepatan terbaik yang bisa ditempuh oleh motor tuanya itu menuju restoran tempat janji temu mereka.
Sesampainya di restoran Orchid, Adit segera melangkah masuk dan mencari sosok Ratna. Wanita itu sudah duduk di sebuah meja dekat jendela, mengenakan gaun elegan berwarna merah anggur. Rambutnya tertata rapi, dan ada senyum lembut di wajahnya saat melihat Adit datang.
"Akhirnya kamu datang," ujar Ratna saat Adit duduk di hadapannya. "Kamu terlihat lebih segar setelah mandi."
Adit tersenyum canggung. "Terima kasih, Mbak Ratna. Saya tidak ingin terlihat berantakan di tempat seperti ini. Mbak Ratna juga kelihatan beda,” balas Adit.
“Beda apanya?” tanya Ratna dengan eskpresi menggoda.
“E, lebih cantik... em, maaf Mbak...” kata Adit. Ia cukup salah tingkah di depan wanita yang lebih tua darinya itu. Masalahnya, Ratna sudah menikah. Ia pun kepikiran juga sebenarnya.
Ratna terkekeh kecil. "Santai saja, Adit. Anggap saja kita teman. Tidak usah terlalu formal. Oh ya, pesan saja apa pun yang kamu mau. Jangan sungkan."
Adit menatap menu di tangannya dengan sedikit bimbang. Restoran ini jelas bukan tempat makan murah yang biasa ia datangi. Semua harga di sini cukup mahal baginya. Namun, melihat tatapan Ratna yang meyakinkan, akhirnya ia memilih menu yang sekiranya tidak terlalu berlebihan.
Tak lama, pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka. Setelah makanan dipesan, mereka kembali mengobrol santai. Ratna banyak bertanya tentang kehidupan Adit, tentang bagaimana ia bisa menjadi terapis pijat, dan juga sedikit tentang masa lalunya. Adit menjawab secukupnya, meski ada beberapa hal yang ia simpan untuk dirinya sendiri.
"Jadi, kamu tinggal sendiri di rumah?" tanya Ratna sambil menyesap anggurnya.
"Iya, Mbak. Saya sudah lama hidup mandiri. Sejak kakek meninggal, saya harus mengurus semuanya sendiri,” jawab Adit.
Ratna mengangguk dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu anak yang mandiri. Itu bagus. Tidak banyak pria seusiamu yang bisa bertahan sendiri seperti itu!”
Adit hanya tersenyum tipis. "Saya tidak punya pilihan, Mbak. Kalau tidak bekerja, saya tidak bisa hidup,”
“Berapa sih usiamu? Sory, hanya penasaran...”
“Hampir 19 mbak. Ya lulus SMA terus kerja serabutan, lalu nemu lowongan di klinik itu. Nggak tahu kenapa aku dimasukkan ke terapis. Padahal lowongannya cuma OB...”
“Itu karena kamu punya penampilan menarik. Tubuhmu bagus. Rajin olah raga kah?”
“Ya lumayan sih. Dulu ikut pencak silat. Tapi karena itu aku jadi rutin berolah raga!”
“Wow! Bisa jadi pelindung dong! Hehehe!”
Obrolan mereka berlanjut hingga makanan datang. Mereka makan dalam suasana nyaman, diselingi percakapan ringan dan beberapa tawa kecil. Ratna tampak benar-benar menikmati kebersamaan ini, dan Adit, meski awalnya canggung, mulai merasa lebih santai.
Setelah makanan hampir habis, Ratna meletakkan garpunya dan menatap Adit dengan senyum penuh arti. "Adit, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu malam ini. Bagaimana kalau kita menginap di hotel?"
Adit terdiam sejenak. Tawaran itu jelas memiliki makna tersendiri. Ia bisa membaca isyarat dari cara Ratna menatapnya. Namun, ia juga tahu bahwa ini bukan sekadar ajakan biasa.
"Hotel?" Adit mengulang kata itu, mencoba memastikan maksudnya.
Ratna mengangguk. "Ya. Aku ingin bersantai lebih lama. Kamu tidak perlu khawatir soal biaya. Aku yang urus semuanya."
Adit menatap Ratna dalam diam. Malam ini benar-benar semakin membuat dia galau berat.
Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi
Udara malam terasa dingin saat Adit mengendarai motornya meninggalkan hotel. Tubuhnya masih terasa ringan akibat pengaruh wine, dan pikirannya melayang ke kejadian tadi. Ratna, godaan-godaan yang nyaris menggoyahkannya, dan kejadian aneh yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, tetapi ia belum bisa memahami kenapa hal itu bisa terjadi.‘Apa iya ini gara-gara minuman? Ituku tak bisa berdiri. Padahal... aku pun tergoda...’ ucap Adit dalam hati.Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah setelah gerimis sore tadi. Adit berusaha menjaga keseimbangan, tapi matanya terasa berat. Sesekali, ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk dan efek alkohol yang masih menguasainya. Kadang motornya sedikit oleng.Tiba-tiba, suara raungan knalpot pecah di udara. Sekelompok motor melaju kencang dari belakang, menyalip kendaraan-kendaraan lain dengan ugal-ugalan. Adit refleks menoleh ke kaca spion. Sebuah geng motor dengan jaket kulit hitam dan logo tengkora
Adit menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan tangannya. Sejak insiden-insiden sebelumnya, ia tak ingin sembarangan menyentuh orang. Karena itu, ke mana pun ia pergi, kini ia selalu mengenakan sarung tangan. Ia hanya akan melepasnya untuk keperluan tertentu, terutama saat memijat kliennya.Hari itu, di tempat kerja, suasana terasa lengang baginya. Seperti sebelumnya, Pak Rudi sengaja tak mengoperkan klien untuknya. Waktu terasa berjalan lambat, dan Adit hanya bisa duduk menunggu tanpa kepastian.Ketika jam makan siang tiba, Adit bangkit dari kursinya, bermaksud mencari makan di luar. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Tia, yang bekerja sebagai penerima tamu di bagian depan, menemui dan tersenyum ke arahnya."Adit, kamu mau makan siang bareng nggak? Aku juga lagi mau keluar cari makan," kata Tia sambil menepuk ringan lengan Adit.Adit menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kita makan di mana?""Ada warung enak di dekat sini. Nggak jauh kok, jalan kaki juga bisa,
Setelah insiden di warung makan, suasana di antara Adit dan Tia menjadi sedikit canggung. Tia tampak gelisah, beberapa kali melirik ke belakang, seolah takut Dewa masih mengikutinya. Adit, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya membuka suara."Tia, kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil tetap fokus mengendarai motornya.Tia terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Dit. Rasanya aku capek banget." Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara deru kendaraan yang melintas.Mereka terus melaju di jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan menerangi trotoar yang kosong. Beberapa menit kemudian, Adit membelokkan motornya ke arah kos-kosan Tia. Ia memarkir kendaraan di depan pagar, lalu menoleh ke arah gadis itu yang masih duduk diam di boncengan."Mau ngobrol sebentar?" tawar Adit.Tia menatapnya, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Di depan aja, ya. Aku nggak mau teman-teman kos lihat aku kayak gini."Mereka pun duduk di bangku k
Adit baru saja menyelesaikan pijatannya untuk Mira, dan ia bisa melihat betapa puasnya wanita itu. Mira berbaring beberapa saat, menikmati efek pijatan yang masih terasa di tubuhnya.Setelah sesi pijat selesai, Mira duduk di tepi ranjang dengan wajah masih sedikit memerah. Tubuhnya terasa ringan, nyaris seperti melayang. Ia merapikan rambutnya sambil tersenyum puas, lalu menatap Adit dengan sorot mata yang sulit dijelaskan."Adit, kamu benar-benar luar biasa. Aku belum pernah merasakan pijatan seperti ini sebelumnya," katanya, suara lembutnya mengandung kekaguman yang tulus. "Kamu harus jadi terapis pribadi buatku. Ya nggak Cel, ia menoleh ke arah lain.Adit ikut menoleh, ke belakang dan sedikit terkejut, “Eh, sejak Kapan Ibu ada di sana?”“Belum lama!” balas Celina sambil tersenyum. “Kamu sih, fokus banget sampai nggak sadar aku masuk ruangan ini dan duduk di sini!”"Gila, Dit... tanganku sampai kesemutan saking rileksnya," kata Mira sambil tertawa kecil. Ia perlahan bangkit dan dudu
Lewat tengah hari, Adit sudah agak pesimis akan mendapatkan klien lagi. Ruang istirahat terapis itu sepi. Hanya dia seorang yang ada di sana. Yang lain sudah mendapatkan klien.‘Ya sudah, nikmati saja waktu luang ini!’ adit tidur-tiduran di kursi.Sementara itu, di depan, ada satu klien baru yang menarik perhatian sejak awal kedatangannya. Seorang wanita bertubuh besar dengan pakaian mewah masuk ke lobi dengan langkah penuh percaya diri."Saya mau pijat," katanya tegas kepada resepsionis. "Dan saya hanya mau dipijat oleh Adit."Resepsionis, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tersenyum sopan. "Maaf, Bu. Apa Ibu sudah pernah ke sini sebelumnya?"Wanita itu mengibaskan tangan dengan tidak sabar. "Belum, tapi teman saya, Nesya, bilang kalau pijatan anak itu luar biasa. Jadi saya harus mencobanya!"Celina, yang kebetulan berada di dekat meja resepsionis, mendengar percakapan itu. Ia segera menghampiri."Selamat datang, Bu... Desi, ya? Saya Celina, manajer di sini. Tad
Sore itu, selepas kerja, Adit dan Tia berjalan berdampingan menuju sebuah pusat perbelanjaan. Tujuan mereka sederhana: membeli ponsel baru untuk Adit. Pria itu tidak pernah memiliki ponsel bagus sebelumnya, dan kini, dengan uang tips yang ia kumpulkan, ia akhirnya bisa membeli satu yang layak."Jadi, kamu udah ada bayangan mau beli yang mana?" tanya Tia sambil melirik ke arah Adit yang tampak sedikit canggung.Adit menggaruk kepalanya. "Nggak terlalu ngerti, sih. Yang penting bisa buat WhatsApp, Instagram, dan kameranya lumayan. Tapi harganya nggak lebih dari dua juta."Tia tersenyum. "Oke, kalau gitu kita cari yang speknya bagus buat harga segitu. Ada kok, tenang aja."Mereka masuk ke sebuah toko ponsel yang cukup ramai. Rak-rak kaca di dalamnya dipenuhi berbagai model ponsel dari yang murah sampai yang mahal. Seorang penjaga toko segera menyambut mereka dengan ramah."Selamat datang, Kak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga toko itu.Tia langsung mengambil alih percakapan. "Mas
Setelah selesai makan, Tia mengajak Adit mampir ke sebuah minimarket yang tak jauh dari warung kaki lima tempat mereka makan. "Aku mau beli beberapa barang sebentar, kamu ikut ke dalam atau tunggu di luar aja?" kata Tia sambil tersenyum."Oke, santai aja. Aku tunggu di sini," jawab Adit, menyandarkan tubuhnya ke motor dan mengeluarkan ponsel barunya, mengutak-atik fitur yang masih asing baginya. Semua itu terlalu membingungkan. Nanti ia ingin minta tolong Tia untuk mengajarinya. Tadi dia masih gengsi saat hendak bertanya di penjual HP.Saat Adit tengah sibuk dengan ponselnya, seorang pria tua berpakaian lusuh mendekatinya. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh keriput, dan sorot matanya tampak tajam meski tubuhnya terlihat renta."Anak muda," panggil pria tua itu dengan suara serak.Adit mendongak, sedikit terkejut. Ia berpikir pria itu mungkin hanya seorang pengemis yang ingin meminta uang. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, pria tua itu melanjutkan, "Kau memiliki sesuatu ya
Matahari mulai tenggelam ketika Adit menghentikan mobil Laras di depan rumahnya. Sedari tadi, ponsel Adit sering berbunyi. Namun ia tak mengangkatnya; dan ia tahu, yang menelefon adalah Renata.Larasati pun juga mengetahui jika ponsel Adit berbunyi. Saat Laras bertanya, Adit menjelaskan; bahwa ia sudah ditunggu bosnya."Maaf ya Laras… aku buru-buru harus kembali…”Larasati mengangguk meski ia tak ikhlas harus berpisah lagi dengan Adit, "Kapan kita bisa bertemu lagi?""Mungkin akhir pekan nanti? Lima atau enam hari lagi?" jawab Adit ragu.Larasati tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan kekecewaan. "Baiklah. Jaga dirimu, ya. Dan ingat apa yang diajarkan Mbah Joyo.""Tentu," Adit mengangguk. "Kamu juga. Tetap berlatih, dan... berhati-hatilah."Mereka berdiri canggung selama beberapa detik. Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan; tentang kekuatan baru mereka, tentang bahaya yang mengintai, tentang perubahan besar dalam hidup mereka. Tapi waktu tidak berpihak pada mereka saat ini.
Setelah pertarungan itu, Mbah Joyo membimbing mereka kembali ke dalam pondoknya. Tubuh Adit masih gemetar akibat penggunaan kekuatan yang besar, sementara Larasati nampak cemas melihat kondisi sahabatnya barunya itu.Mbah Joyo mengambil beberapa daun kering dan rempah-rempah dari toples yang tersimpan di rak dapurnya, lalu menyeduhnya dengan air panas."Minumlah," kata Mbah Joyo, menyodorkan secangkir ramuan herbal kepada Adit. "Ini akan memulihkan tubuhmu."Adit menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Rasa pahit yang diikuti kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan sensasi tenang yang aneh."Terima kasih," ucap Adit, merasakan kekuatannya berangsur pulih. "Sebenarnya itu tadi... apa yang saya lakukan? Saya merasa kadang tidak berpikir saat melawan dua orang itu. Seolah, tubuh ini bergerak sendiri…"Mbah Joyo duduk bersila di hadapan mereka, wajahnya yang berkeriput menyiratkan keseriusan. "Kau baru saja menunjukkan potensi kekuatan yang kau miliki. Tapi menggunakanny
Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me
Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras
Di rumahnya yang megah, Larasati berbaring di ranjang king size-nya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rumah besar ini terasa lebih sunyi dan dingin setelah menghabiskan waktu di rumah kecil Adit yang hangat.Ia menutup mata, mencoba merasakan sisa-sisa energi Adit yang masih terasa di tubuhnya. Seperti bekas sentuhan yang tidak bisa dihapus, energi itu masih berdenyut lembut di bawah kulitnya, mengingatkannya pada sensasi luar biasa yang ia rasakan di bawah sentuhan pria itu."Kenapa kamu tidak menahanku, Adit?" bisiknya pada keheningan kamar.Ponselnya berbunyi sekali lagi. Ia membaca pesan dari Adit dan tersenyum. Ada banyak yang tidak terucap di antara mereka, banyak perasaan yang tertahan. Tapi mungkin ini memang belum waktunya. Mereka baru saja memulai perjalanan untuk memahami kekuatan mereka, untuk memahami ikatan aneh yang menghubungkan mereka.Laras bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Langit malam bertabur bintang, bulan se
Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,
Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat
Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany
Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi