Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus.
"Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."
Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.
Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.
Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cicilan utang pinjaman online yang dulu ia ambil demi membiayai pengobatan kakeknya. Sayangnya, meski sudah berusaha semaksimal mungkin, takdir berkata lain. Kakeknya tetap meninggal dunia, meninggalkan Adit dengan beban finansial yang cukup berat.
Hari itu, Adit tidak menerima klien lain. Entah kebetulan atau memang Pak Rudi yang mengaturnya, ia tidak terlalu peduli. Dengan uang yang baru ia dapat, rasanya ia tidak masalah meski hanya menangani satu pelanggan saja hari ini. Gaji pokoknya tetap ada, dan kini ada tambahan besar yang bisa meringankan bebannya.
Waktu terasa berlalu cepat. Jam kerja pun berakhir. Adit segera menuju ke rumahnya yang kecil dan sederhana itu. Begitu sampai, ia langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dengan air dingin yang sedikit mengusir rasa lelah. Setelah itu, ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki; kaus hitam polos dan celana jeans yang masih cukup layak.
Saat ia sedang merapikan rambutnya di depan cermin kecil di dinding, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Halo?" Adit mengangkatnya. Jantungnya sedikit deg-degan.
"Adit... kamu sudah siap?" Suara Ratna terdengar di seberang, lembut namun ada nada antusias.
Adit melirik jam dinding. Masih ada waktu, tapi sepertinya Ratna sudah tidak sabar. "Iya, Mbak Ratna. Sebentar lagi aku berangkat. Kita ketemu di mana?"
“Aku sudah di restoran, nih. Restoran Orchid di pusat kota. Aku tunggu kamu di sini, ya. Jangan lama-lama,” balas Ratna.
“Baik, Mbak. Aku segera ke sana,” jawab Adit. Ia semakin gugup saja. ‘Hanya makan malam. Bukan apa-apa...’ ucapnya dalam hati mencoba menenangkan diri.
Panggilan berakhir. Adit menarik napas panjang sebelum mengambil kunci motornya. Malam ini mungkin akan jadi malam yang menarik. Ia tidak tahu pasti apa yang Ratna inginkan darinya, tapi ia memutuskan untuk mengalir saja mengikuti arus.
Tanpa menunda lagi, ia pun bergegas keluar, menyalakan motor, melaju dengan kecepatan terbaik yang bisa ditempuh oleh motor tuanya itu menuju restoran tempat janji temu mereka.
Sesampainya di restoran Orchid, Adit segera melangkah masuk dan mencari sosok Ratna. Wanita itu sudah duduk di sebuah meja dekat jendela, mengenakan gaun elegan berwarna merah anggur. Rambutnya tertata rapi, dan ada senyum lembut di wajahnya saat melihat Adit datang.
"Akhirnya kamu datang," ujar Ratna saat Adit duduk di hadapannya. "Kamu terlihat lebih segar setelah mandi."
Adit tersenyum canggung. "Terima kasih, Mbak Ratna. Saya tidak ingin terlihat berantakan di tempat seperti ini. Mbak Ratna juga kelihatan beda,” balas Adit.
“Beda apanya?” tanya Ratna dengan eskpresi menggoda.
“E, lebih cantik... em, maaf Mbak...” kata Adit. Ia cukup salah tingkah di depan wanita yang lebih tua darinya itu. Masalahnya, Ratna sudah menikah. Ia pun kepikiran juga sebenarnya.
Ratna terkekeh kecil. "Santai saja, Adit. Anggap saja kita teman. Tidak usah terlalu formal. Oh ya, pesan saja apa pun yang kamu mau. Jangan sungkan."
Adit menatap menu di tangannya dengan sedikit bimbang. Restoran ini jelas bukan tempat makan murah yang biasa ia datangi. Semua harga di sini cukup mahal baginya. Namun, melihat tatapan Ratna yang meyakinkan, akhirnya ia memilih menu yang sekiranya tidak terlalu berlebihan.
Tak lama, pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka. Setelah makanan dipesan, mereka kembali mengobrol santai. Ratna banyak bertanya tentang kehidupan Adit, tentang bagaimana ia bisa menjadi terapis pijat, dan juga sedikit tentang masa lalunya. Adit menjawab secukupnya, meski ada beberapa hal yang ia simpan untuk dirinya sendiri.
"Jadi, kamu tinggal sendiri di rumah?" tanya Ratna sambil menyesap anggurnya.
"Iya, Mbak. Saya sudah lama hidup mandiri. Sejak kakek meninggal, saya harus mengurus semuanya sendiri,” jawab Adit.
Ratna mengangguk dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu anak yang mandiri. Itu bagus. Tidak banyak pria seusiamu yang bisa bertahan sendiri seperti itu!”
Adit hanya tersenyum tipis. "Saya tidak punya pilihan, Mbak. Kalau tidak bekerja, saya tidak bisa hidup,”
“Berapa sih usiamu? Sory, hanya penasaran...”
“Hampir 19 mbak. Ya lulus SMA terus kerja serabutan, lalu nemu lowongan di klinik itu. Nggak tahu kenapa aku dimasukkan ke terapis. Padahal lowongannya cuma OB...”
“Itu karena kamu punya penampilan menarik. Tubuhmu bagus. Rajin olah raga kah?”
“Ya lumayan sih. Dulu ikut pencak silat. Tapi karena itu aku jadi rutin berolah raga!”
“Wow! Bisa jadi pelindung dong! Hehehe!”
Obrolan mereka berlanjut hingga makanan datang. Mereka makan dalam suasana nyaman, diselingi percakapan ringan dan beberapa tawa kecil. Ratna tampak benar-benar menikmati kebersamaan ini, dan Adit, meski awalnya canggung, mulai merasa lebih santai.
Setelah makanan hampir habis, Ratna meletakkan garpunya dan menatap Adit dengan senyum penuh arti. "Adit, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu malam ini. Bagaimana kalau kita menginap di hotel?"
Adit terdiam sejenak. Tawaran itu jelas memiliki makna tersendiri. Ia bisa membaca isyarat dari cara Ratna menatapnya. Namun, ia juga tahu bahwa ini bukan sekadar ajakan biasa.
"Hotel?" Adit mengulang kata itu, mencoba memastikan maksudnya.
Ratna mengangguk. "Ya. Aku ingin bersantai lebih lama. Kamu tidak perlu khawatir soal biaya. Aku yang urus semuanya."
Adit menatap Ratna dalam diam. Malam ini benar-benar semakin membuat dia galau berat.
"Itu mereka, Bang Rudi! Nggak tahu dari mana. Datang-datang sudah langsung main minta jatah aja!" kata Adit, suaranya lugas dan tanpa basa-basi, masih dengan napas teratur. Di belakangnya, lampu-lampu kafe mulai menyala, menciptakan kontras antara cahaya gemerlap di dalam dan suasana tegang di luar.Rudi mengangguk, sorot matanya tajam. "Biar kami urus."Dengan langkah cepat, Rudi, Kobra, dan beberapa anak buah mereka bergegas mendekati gerombolan preman yang terkapar di aspal. Aroma karet terbakar dari gesekan sepatu dan bau darah samar-samar tercium di udara. Didik dan Seto masih berdiri kaku di tempat mereka, menatap kosong ke arah tubuh-tubuh yang tak berdaya. Adit menghampiri mereka, menepuk pundak Didik. "Sudah, biar mereka yang urus. Kalian bantu bersihkan sisa-sisa botol dan sampah di sini."Didik dan Seto mengangguk, gerakan mereka lambat seolah masih dalam keadaan syok. Tegar berdiri mematung di sisi parkiran, ekspresinya adalah campuran antara rasa takut dan penyesalan yang
Para preman itu menerjang Adit dengan ganasnya menggunakan segenap kemarahan atas sikap Adit yang tak mau tunduk. Dua puluh orang, berbadan kekar dan beringas, menghunuskan tinju, tendangan, bahkan beberapa di antaranya mengeluarkan pisau lipat dan juga potongan kayu yang mereka bawa dari tadi. Suasana mendadak dipenuhi suara gaduh, raungan, dan benturan sepatu di aspal.Adit tidak panik. Matanya bergerak cepat, memindai setiap pergerakan. Instingnya, yang terasah dari pengalamannya serta kekuatan gaib yang ia miliki mengambil alih kediriannya.Ketika tiga orang melancarkan pukulan bersamaan, Adit bergerak merunduk, menghindari tinju pertama yang mengarah ke kepalanya. Dalam gerakan lanjutan yang mulus, ia memutar tubuhnya, siku kirinya menghantam sisi rahang salah satu penyerang. Suara benturan tumpul terdengar merdu, dan orang itu langsung limbung, matanya berkedip bingung menatap ribuan kunang-kunang yang tiba-tiba muncul begitu saja.Tanpa jeda, Adit melancarkan tendangan rendah k
Siapa yang datang mencari Adit itu sebetulnya adalah sebuah bagian dari rencana Jarwo. Sejak awal, ia sudah menghubungi teman-temannya dari masa lalu. Jumlahnya dua puluhan orang lebih yang kini sudah berjejer di depan kafe, sebagian besar berbadan tegap, tato memenuhi lengan, dan sorot mata mengancam.Sebagian dari anak buah Adit, yang kenal dekat dengan Jarwo, tahu soal rencana busuk itu. Namun memang tidak semua setuju dengan hal itu, kecuali Tegar, yang terlihat menyeringai tipis di belakang Jarwo.Hanya saja, mereka yang mengetahui rencana Jarwo itu memilih diam saja. Mereka tahu, Jarwo yang menjadi kepala keamanan sebelum Adit, dulu pun adalah preman yang sudah punya reputasi sangar di jalanan, bahkan sudah pernah dipenjara sampai dua kali. Aura dan masa lalunya cukup untuk membungkam siapa pun yang ingin protes.Adit melihat orang-orang itu begitu ia sampai di depan. Gerombolan preman dengan pakaian serba hitam dan wajah sangar itu memenuhi area parkir kafe. Tanpa ragu, Adit la
Pukul dua lewat dan hampir setengah tiga sore, hawa sejuk dari pendingin ruangan masih menusuk kulit. Renata dan Adit sudah siap untuk berangkat setelah selesai mandi dan berpakaian.Celina masih terlelap pulas, napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, menunjukkan betapa lelap tidurnya. Dia tetap harus dibangunkan, meskipun tak perlu kembali ke tempat kerja."Bangun Cel, kami mau balik!" Renata mengguncang pelan bahu Celina, nada suaranya sedikit malas namun ada gurat geli."Eh... hoh... jam berapa ini?" Celina menggeliat, kelopak matanya berkedut sebelum terbuka perlahan. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya remang ruangan."Kamu tidur aja. Kami naik taksi!" Renata bersiap meraih tasnya."Aduh... masak naik taksi..." Celina mencoba bangkit, mengusap wajahnya yang masih terasa lengket dan lelah. Setiap otot di tubuhnya serasa ditarik ulur, lemas tak bertenaga. "Duh maaf ya... pegel banget kakiku. Lemes... kok bisa capek kayak gini ya... kamu nggak cap
Betapa cepat Celina sampai di puncak kebahagiaannya. Tentu hal itu bukan karena sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya itu saja, namun juga Adit yang sengaja kembali mengaktifkan tangan ajaibnya, di mana sentuhan di bagian tubuh manapun pada diri Celina akan membuatnya semakin menggila.Kurang dari lima menit ia bergerak di atas tubuh Adit, sungai kenikmatan itu mengalir deras. Energinya terkuras habis-habisan dan ia sudah tak sanggup lagi untuk bergerak."Gila... ini enak banget, Ren..." ucap Celina yang ambruk di tubuh Adit, belum melepaskan penyatuannya. Napasnya terengah-engah, suaranya tercekat karena desahan sisa gairah."Baru sebentar... aku bisa main lama loh sama Adit..." kata Renata, nada suaranya penuh percaya diri."Gantian kamu... aku butuh rebahan... nggak kuat... ouch..." tubuh Celina bergetar sedemikian rupa saat ia melepaskan diri dari Adit. Ia pun rebah begitu saja di samping Adit, memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tak memedulikan apapun lagi. Jej
Adit semakin bersemangat untuk menyenangkan kedua wanita itu. Kedua tangannya kini tak hanya mengusap dan memijat tipis-tipis di bagian punggung, namun juga sudah turun ke bawah, menelusup melewati celah celana dalam yang sudah basah itu.Celina dan Renata terus menjerit menyuarakan kebahagiaan yang dahsyat itu. Adit merasakan jari-jarinya terjepit kehangatan yang licin itu. Ombak kebahagiaan menerobos keluar, mengucur deras bersamaan dengan geliat tubuh kedua wanita itu yang tak terkendali seperti cacing yang ditetesi air jeruk.Mungkin sudah 10 menitan Adit melancarkan aksinya yang membuat Renata dan Celina menggila. Kini ia menyudahinya. Ia tak mau kedua wanita itu malah ketiduran dan dia tak mendapatkan apa-apa.Adit merebahkan tubuhnya di antara mereka berdua yang masih tengkurap dengan nafas memburu menikmati sisa kebahagiaan yang berangsur menipis itu, mengumpulkan tenaga yang baru saja terkuras.Celina lebih awal bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan wajah memerah dan dengan