Sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai di kamar. Adit terbangun dengan kepala masih berdenyut dari kelelahan malam sebelumnya. Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Tubuhnya masih terasa kaku di kasur yang terasa nyaman itu. Tak semewah kamarnya di rumah Pak Darmawan, namun jauh lebih bagus daripada kamarnya di rumahnya sendiri.Getaran ponsel di meja nakas membuatnya terpaksa membuka mata sepenuhnya. Layar menampilkan nama "Renata" dengan foto wajah cantik yang sudah terlalu familiar. Seketika kantuk lenyap dari matanya. Ada campuran perasaan antara senang dan cemas setiap kali melihat nama itu muncul."Iya kak..." suaranya masih serak."Kamu dijadiin kepala keamanan ya sama suamiku?" Nada suara Renata terdengar santai, tapi Adit menangkap ada sesuatu di baliknya."Iya kak. Pak Darmawan beli tempat hiburan baru. Kok kak Ren tahu?" Adit duduk di tepi kasur, mengusap wajahnya."Tadi pagi aku bertemu dengannya. Dia yang cerita. Kamu berarti sibuk di malam hari kan?"Ada je
Jam dua malam. Lampu neon di papan nama café mulai redup, hanya menyisakan sinar kuning pucat yang menerangi jalan sepi di depannya. Suara mesin espresso yang menderu sepanjang hari kini terdiam, digantikan oleh desiran angin malam yang menyelinap masuk setiap kali pintu terbuka. Satu per satu, karyawan yang sudah habis jam kerjanya bergegas keluar, jaket tebal melingkari bahu mereka, napas mengembun di udara dingin.Namun tidak semua pulang. Di lantai bawah, beberapa karyawan shift malam masih bergerak seperti bayangan; menyapu lantai marmer yang licin karena tumpahan kopi dan wine, membersihkan gelas-gelas yang masih berbau alkohol, menata ulang kursi-kursi yang berserakan. Mereka bekerja dalam diam, hanya sesekali terbatuk atau berdehem pelan. Tempat itu harus sempurna saat matahari terbit nanti.Adit berjalan perlahan mengelilingi setiap sudut tempat kerjanya itu. Sepatu ketsnya berderit pelan di lantai. Langkahnya berhati-hati namun terlatih, mata cokelatnya menyapu setiap detail
Ketika masalah itu selesai, Adit kembali ke ruang CCTV dengan langkah tenang, seolah-olah insiden barusan hanyalah urusan sepele meski sebenarnya tidak juga sebab itu adalah hal baru yang ia alami di tempat itu.Napasnya masih teratur, tidak ada tetes keringat yang membasahi dahinya. Iwan dan Rendi, yang tadi menyaksikan seluruh kejadian melalui layar monitor dengan mata terbelalak, kini memandang Adit dengan rasa hormat yang bercampur takjub.Bayangan mereka tentang kepala keamanan muda ini telah berubah total; dari yang awalnya meragukan kemampuannya karena usia, kini mereka menyadari bahwa di balik tubuh yang tidak terlalu besar itu tersimpan kekuatan dan keterampilan bertarung yang luar biasa."Gila, dia ngelumpuhin tiga orang kayak main-main aja," bisik Iwan kepada Rendi sambil menggeleng-gelengkan kepala."Gerakannya kayak udah latihan bertahun-tahun. Udah pro…" balas Rendi dengan nada kagum.Sementara itu, di sudut gelap parkiran, Tegar menggenggam ponselnya dengan jari-jari ya
Langkah kaki Adit bergema di koridor yang redup, setiap detak jantungnya berdegup semakin kencang seiring dengan kekhawatiran yang mencengkeram dadanya. Apa yang ia saksikan di CCTV masih terngiang di kepalanya. Tangannya yang terkepal erat menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan lagi. Sambil berjalan cepat menuju ke ruangan itu, dengan HTnya, ia memanggil anak buahnya.Sampai di depan pintu ruang privat bernomor 7, Adit langsung meraih gagang pintu tanpa ragu dan mendorongnya. Namun pintu itu hanya sedikit terbuka, lalu seseorang mendorong dari dalam agar pintu itu kembali tertututup. Adit mendorong paksa dan pintu itu terbuka."Eh, kamu siapa? Ngapain masuk ke sini!” bentak lelaki itu sambil memasang badan, menghalangi jalan Adit dengan tubuhnya yang memenuhi bingkai pintu.Memang benar, pintu ruang-ruang karaoke di tempat hiburan malam itu sengaja tidak diberi kunci dari dalam. Kebijakan manajemen yang dimaksudkan untuk antisipasi keadaan darurat, agar petugas keamanan b
Para mucikari telah datang. Adit awalnya mengira jika mereka itu adalah wanita-wanita tua yang kusam dan berpenampilan biasa. Namun ia salah besar sebab ternyata mereka masih muda, seusia Renata, mungkin di kisaran 35 hingga 40 tahunan. Lebih mengejutkan lagi, mereka bukan hanya muda, tapi juga cantik, dengan riasan yang menonjolkan fitur wajah, dan berbalut pakaian yang ketat, menonjolkan setiap lekuk tubuh seksi mereka.Sebuah pertanyaan nakal muncul di benak Adit, sebuah rasa penasaran yang menggelitik: apakah mucikari-mucikari itu juga menjual tubuhnya? Namun, pertanyaan itu segera ditepisnya. Ia tak mungkin akan menanyakan hal sefrontal itu ketika ia diperkenalkan oleh Pak Budi, manajernya.Tapi ternyata, setelah perkenalan singkat itu, Pak Budi malah yang memulai cerita saat mereka berdua sama-sama pergi ke ruangan monitoring. Selain Adit, Pak Budi sebagai manajer memang lebih sering menghabiskan waktu di sana. Ia memantau semua sudut, mengawasi setiap gerak-gerik melalui bebera
Jam 5 sore, semua karyawan sudah datang, kecuali para mucikari dan anak buahnya. Pak Budi mempertemukan Adit sebagai orang baru, sebagai wakilnya pak Darmawan, yang akan menjabat sebagai kepala keamanan.Pak Jarwo tidak berangkat kerja. Dia sudah tahu bahwa dia tak lagi menjadi kepala keamanan. Siang tadi, Pak Budi menelefonnya, dan menjelaskan alasannya.Ketidakhadirannya membuat semua orang berpikir; pasti Pak Jarwo marah besar dengan pergantian statusnya yang tiba-tiba itu, tanpa masalah apapun. Dan dia tidak masuk karena dia marah.Situasi menjadi tidak menyenangkan. Adit bisa merasakan ketidak-senangan banyak orang karena kehadirannya, meski sebenarnya dia tidak bisa dipersalahkan juga sebab dia sendiri hanya menjalankan perintah pemilik baru tempat itu.Ada empat supervisor. Dua bertugas di lantai 4; tempat karaoke. Tugas mereka adalah mengatur para karyawan untuk melayani tamu, mengatur anak buah mucikari harus menemani siapa, dan juga garda depan yang mengurus permintaan tamu.