Urusan pencurian minuman keras sudah selesai. Kotak-kotak berisi botol minuman premium kini telah kembali ke gudang klub Bu Renata, tersusun rapi di rak-rak kayu yang gelap dan lembab. Debu masih menempel di beberapa sudut kardus, jejak dari petualangan tak terduga pagi itu.Setelah itu, Bayu mengajak Adit makan siang di sebuah warung sederhana tak jauh dari cafe. Warung itu hanya berupa tenda terpal biru dengan beberapa meja plastik yang sudah menguning. Aroma bumbu pecel dan nasi hangat bercampur dengan asap rokok kretek menguar di udara. Di pojok warung, televisi tua menyala dengan suara yang sedikit bindeng, menayangkan sinetron siang yang tak ada yang memperhatikan.Mereka duduk di meja pojok, agak tersembunyi dari pandangan pengunjung lain. Bayu menyeruput es teh manisnya perlahan, matanya sesekali melirik ke arah jalan, seolah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Keheningan menggantung di antara mereka sampai akhirnya Bayu membuka suara."Kemarin, kamu juga berkelahi sep
Suara rintihan Joko menggema di gudang yang tertutup rapat. Setelah lima belas menit "percakapan intensif" dengan Bayu dan Adit, hidung Joko sudah bengkak dan bibirnya robek. Darah menetes dari lubang hidung dan sudut mulutnya, tapi matanya masih memancarkan kekerasan kepala."Terakhir kali gue tanya," kata Bayu sambil menggulung lengan kemejanya yang sudah kusut. "Lu jual minuman itu kemana?"Joko meludahkan darah. "Ke... ke Bang Sugeng. Di markas PPBI daerah Jembatan Merah."Adit mengernyitkan kening. PPBI—Persatuan Pemuda Bela Indonesia—salah satu ormas yang terkenal brutal di kota ini. Mereka sering terlibat dalam bisnis gelap dan pungutan liar."Kenapa lu harus jual ke mereka?" tanya Bayu sambil duduk di kursi plastik yang ia tarik, posisinya sejajar dengan Joko yang terduduk di lantai dengan tangan diikat ke belakang."Gue... gue kalah judi kemarin malam. Hutang 50 juta ke mereka. Kalau nggak bayar pagi ini, mereka ancam bunuh istri gue," Joko menjawab dengan suara parau.Adit m
Suara deru motor trail menggema di jalanan yang masih sepi pagi itu. Bayu dan Adit melaju dengan jarak sekitar sepuluh meter, Bayu di depan sebagai pemimpin. Club Royal terletak di kawasan bisnis kota, sebuah bangunan berlantai tiga dengan fasad hitam-merah yang mencolok. Di siang hari seperti ini, tempat yang biasanya gemerlap dengan lampu neon itu tampak seperti gedung kosong biasa.Mereka memarkir motor di samping gedung, di area khusus karyawan. Beberapa mobil pick-up dan motor sudah terparkir di sana; kendaraan para pekerja yang mengurus operasional siang hari klub."Ingat Dit, kita di sini bukan tamu," kata Bayu sambil melepas helmnya dan merapikan rambutnya. "Kita wakil Bu Renata. Jadi sikap harus tegas, tapi jangan over. Biarkan aku yang bicara dulu."Adit mengangguk sambil mengikuti langkah Bayu menuju pintu samping gedung. Ada tulisan "Staff Entrance" di atas pintu besi yang cat hijaunya sudah mengelupas.Bayu mengetuk pintu dengan pola tertentu; tiga ketukan cepat, jeda, du
Keesokan harinya, matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur ketika Bayu sudah memarkir motornya di halaman rumah Renata. Pria berusia 35 tahun itu memang terkenal disiplin dan selalu datang lebih awal dari jadwal. Ia berjalan santai menuju ruang depan, menyalakan AC, lalu duduk di sofa sambil mengeluarkan ponselnya.Pelayan rumah, Mbak Sari, segera menyajikan secangkir kopi hitam panas. Sudah menjadi rutinitas pagi yang tak pernah terlewat. Bayu menyesap kopinya perlahan sambil membuka aplikasi berita, sesekali mengecek pesan WhatsApp dari rekan-rekannya yang lain.Di lantai atas, Adit terbangun dengan mata bengkak dan kepala yang terasa berat. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus memutar ulang kejadian malam sebelumnya dengan Renata. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah wanita itu muncul; terkadang dengan tatapan sedih, terkadang dengan senyum lembut yang tak pernah ia lihat sebelumnya.Adit melirik jam di ponselnya. Pukul tujuh pagi. Ia mendengar suar
Keheningan menyelimuti kamar. Hanya terdengar suara AC yang berdengung pelan dan detak jantung mereka yang saling bersahutan. Tirai tipis bergoyang lembut, digerakkan angin dari sela jendela yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Cahaya lampu tidur membentuk semburat kekuningan di dinding, menciptakan nuansa nyamanRenata mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya menyentuh pipi Adit yang masih menutup mata. Sentuhan itu sangat ringan, seperti embusan udara. Ia menelusuri kontur wajah Adit dengan penuh kehati-hatian, seolah takut lelaki itu akan hilang jika disentuh terlalu keras.“Buka matamu, Dit,” bisiknya lembut, hampir seperti doa yang dihembuskan pada malam yang rapuh.Adit membuka mata, menatap langsung ke mata Renata yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya. Sorot mata itu tidak hanya memantulkan cahaya kamar, tapi juga kerapuhan; keputusasaan yang nyaris putus harapan, namun juga kerinduan yang begitu dalam, yang seolah tertahan bertahun-tahun dan baru kini menemukan ce
Adit menduga, Renata pasti meminta dipijit seperti biasanya. Namun rupanya tidak. Wanita itu membanting tubuhnya ke kasur yang empuk, lalu terlentang sambil menghela napas panjang. Matanya menatap langit-langit kamar sejenak, sebelum kemudian beralih kepada Adit yang masih berdiri tak jauh dari ranjang dengan postur tubuh kaku."Sini, nyantai dan mengobrol di sini!" ajak Renata sambil menepuk sisi kasur di sebelahnya.Adit berjalan pelan, langkahnya ragu-ragu. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih tegap dan waspada."Ya ampun, kamu kaku amat sih!" sindir Renata sambil terkekeh melihat postur Adit yang seperti tentara sedang berbaris. "Rileks dong, aku tidak akan menggigitmu.""Em..." Adit merasa canggung. Keringat mulai mengumpul di telapak tangannya."Rebahan sini. Dengerin aku cerita tentang masa laluku..." kata Renata dengan nada yang tiba-tiba berubah lembut, hampir seperti bisikan.Adit menghela napas dalam-dalam. Ia tak punya pilihan. Dengan gerakan yang masih kaku, ia berbar