Beranda / Urban / Tukang Pijat Tampan / Pembuktian Adit

Share

Pembuktian Adit

Penulis: Black Jack
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-03 15:19:27

Segera saja Adit menuju ke lokernya. Kunci masih tergantung di sana dan dia segera mengambil seragam kerja, lalu ke ruang ganti untuk mengenakan bajunya.

Buru-buru ia memasukkan baju dan bawaannya yang lain, memasukkannya ke loker, menguncinya dan mulai bergegas menuju ke ruang 25.

Satu kamar itu ada satu ranjang untuk klien. Semua peralatan yang dibutuhkan ada di sana.

Adit mengetuk pintu dan kemudian masuk. Dilihatnya seorang wanita berusia 40 tahunan. Dia masih sedang menelefon entah siapa. Jadi Adit hanya berdiri menunggu saja di dekat pintu. Ia pun masih merasa berdebar.

Wanita itu terlihat kaya dengan outfit yang melekat di tubuhnya yang biasa saja itu. Adit memperhatikan wajah wanita itu; biasa saja. Tapi terlihat mahal karena perawatan. Kulitnya putih mulus tanpa jerawat. Make-upnya tampak natural kecuali bibirnya yang terlihat merah oleh gincu. Rambutnya juga terlihat mahal yang tak mungkin pula disentuh oleh salon biasa.

Wanita itu menutup telefon, lalu menoleh ke arah Adit, melihatnya dari atas sampai bawah. “Kok lama? Kok kamu yang ke sini?”

“Maaf Nona, tadi seharusnya melayani Nona ternyata masih sedang melayani klien lain. Jadi, saya diminta untuk menggantikannya. Mohon maaf sebelumnya...” kata Adit.

Klien yang datang bisa pesan lebih dahulu; pesan ruangan, pesan jenis pelayanan, dan juga pesan siapa yang akan melayaninya.

“Ya sudah deh kalau gitu, kamu aja nggak apa-apa...” kata wanita itu.

“Baik, Nona. Em, boleh saya tahu, Nona ingin pelayanan apa ini?” tanya Adit.

Lagi-lagi, wanita itu menghela nafas panjang. Adit merasa semakin tidak enak hati. Seharusnya ia tadi tanya-tanya dulu di bagian penerima tamu, apa yang diminta oleh klien di kamar 25 itu.

“Pijit biasa saja! Pakai minyak zaitun. Sangsi aku kalau kamu bisa melayani kayak biasanya!”

“Eh, baik, Nona. Manager kami mungkin akan memberikan diskon untuk hal ini, karena kami lalai. Mohon maaf. Semoga Nona berkenan nanti dengan pijitan saya...” kata Adit.

“Aku ganti baju dulu! Mana handuknya?” kata wanita itu.

“Mohon ditunggu sebentar...”

Adit segera membuka lemari, lalu menyediakan handuk untuk wanita itu. Ia langsung paham jika nanti wanita itu hanya akan mengenakan pakaian dalam, dan membungkus tubuhnya dengan handuk.

Kadang ada klien yang hanya mau memakai baju utuh. Itu pilihan mereka. Adit tak tahu bagaimana persisnya, sebab itu pertama kali ia bertemu klien sungguhan. Apa yang ia tahu hanya dari trainernya.

Tapi memang benar, wanita itu masuk ke dalam kamar mandi kecil yang tersedia di ruangan itu, lalu kembali lagi dengan tubuh sudah terlilit handuk yang tak sepenuhnya berhasil menutupi tubuhnya.

Adit menelan ludah melihat kulit yang sangat mulus itu. Tapi ia tak berani lama-lama menatap wanita tersebut dalam situasi seperti itu. Takutnya dia salah paham. Adit hanya sedang ingin mendapatkan kesan baik dan sopan.

Tanpa disuruh, wanita itu menyamankan diri dengan tengkurap di ranjang. Sesaat Adit tertegun memandang wanita itu. Ia pun segera mengenyahkan pikiran kotornya dan segera menyiapkan minyak.

“Saya mulai, Nona...”

“Ya...”

Lalu Adit menuangkan minyak di kedua tangannya, menggosoknya, lalu ia mulai menyentuh telapak kaki wanita itu; memulainya dari sana.

Adit merasa jari manis tangan kanannya sejenak terasa panas kembali, persis seperti kejadian memalukan saat memergoki bu Celina.

Adit tak tahu, ada sesuatu yang sedang bekerja pada dirinya; sesuatu yang berasal dari cincin kakeknya, yang sebetulnya tidak hilang, melainkan telah menyatu dengan tubuhnya, berganti menjadi sebuah tanda garis melingkar berwarna hitam di jari tangannya itu.

Sentuhan tangannya itu menciptakan sensasi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata dan sedang dirasakan oleh perempuan itu.

Adit sunguh tak tahu soal itu. Yang ada di pikirannya hanyalah memijit dengan benar dan senyaman mungkin. Ia tak mau melakukan kesalahan setelah apa yang terjadi di hari-hari sebelumnya. Telapak kaki kanan dan kiri sudah cukup lama ia pijit. Kini ia pindah ke betis, memijit dengan normal.

Tapi di titik itu, Adit mulai melihat tanda-tanda aneh. Ia melihat kliennya itu mulai bergerak sedemikian rupa; ototnya tegang dan dia seperti gelisah.

“Nona baik-baik saja kah?”

“E—lanjutkan...” ucap wanita itu.

“Apakah pijitannya kurang nyaman? Mohon disampaikan agar saya bisa melayani dengan benar...”

“Nyaman. Teruskan saja, jangan berhenti...”

“Baik, nona...”

Maka Adit terus memijit dan mencoba untuk tak memedulikan hal-hal aneh yang ia lihat ketika wanita itu bereaksi dengan tangannya.

Dari bagian betis, seharusnya Adit memijit paha. Tapi ia merasa sungkan. Jadinya, dia mulai memijit pundak wanita itu dan setengah punggungnya di bagian atas.

Adit terus memijit. Ia pun agak gugup sebenarnya; merasa seba salah, sebab ia melihat wanita itu sampai mencengkeram bantalnya dan terlihat sangat tegang.

‘Ada apa dengannya? Kenapa dia menggeliat seperti ini? Apakah ada yang salah?’ ucap Adit dalam hati. Ia merasa ragu dan cemas.

“Eghhh...”

Adit mendengar suara yang ambigu. Keringat dingin pun mulai bermunculan di dahinya. Ia benar-benar khawatir melakukan kesalahan, namun di saat yang sama ia juga bingung sebab wanita itu tidak protes apa-apa.

Dan Adit berhenti memijit karena tiba-tiba wanita itu menggigil sedemikian rupa, menggeliat dan sedikit tersentak-sentak sambil menyerukan suara-suara rintihan merdu dari mulutnya.

‘Astaga, dia kenapa? Mati aku kali ini. Aku benar-benar bisa dipecat...’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh takut dan cemas.

Adit hanya bisa mematung melihat wanita itu. Namun untuknya, klien yang ia pijit itu akhirnya mulai kembali normal dan yang tersisa adalah nafasnya yang masih terengah-engah.

“N-nona... maaf jika... s-saya... tidak benar memberikan pijitan. A-apakah ada yang sakit?” tanya Adit.

Wanita itu mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Adit. Tatapan matanya sungguh sayu dan membuat Adit bertambah gugup.

“Nyaman kok... lanjutkan saja. Tapi aku mau punggung yang bawah juga dipijit dengan minyak. Paha dan lain-lain... handuk ini dilepas saja...” ucapnya dengan suara sedikit serak. Ia melepaskan handuknya dan kembali tengkurap, menunggu Adit mulai lagi memijit tubuhnya.

“K-kamu orang baru di sini?” wanita itu mengajak ngobrol.

“Benar, Belum lama saya kerja di sini. Jadi pengalaman masih kurang. Dan, Emm, sejujurnya, saya sungguh khawatir jika pelayanan saya kurang memuaskan. Mohon saya ditegur saja jika ada yang kurang pas dan tidak membuat Nona merasa puas” jawab Adit formal.

“Aku puas kok. Dan aku kira kamu hanya pura-pura terapis pemula, soalnya kamu kaku dan formal sekali. Tidak seperti seniormu yang santai. Pijitanmu nyaman banget. Lebih berani lagi nggak apa-apa...” balas wanita itu.

‘Lebih berani? Apa maksudnya?’ ucap Adit dalam hati. Ia bingung, tapi tidak enak juga jika bertanya. Jadi ia putuskan untuk mengoleskan lagi minyak ke tangannya dan mulai memijit lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Tampan   Ujian Pertama Di Hari Pertama Kerja

    Para mucikari telah datang. Adit awalnya mengira jika mereka itu adalah wanita-wanita tua yang kusam dan berpenampilan biasa. Namun ia salah besar sebab ternyata mereka masih muda, seusia Renata, mungkin di kisaran 35 hingga 40 tahunan. Lebih mengejutkan lagi, mereka bukan hanya muda, tapi juga cantik, dengan riasan yang menonjolkan fitur wajah, dan berbalut pakaian yang ketat, menonjolkan setiap lekuk tubuh seksi mereka.Sebuah pertanyaan nakal muncul di benak Adit, sebuah rasa penasaran yang menggelitik: apakah mucikari-mucikari itu juga menjual tubuhnya? Namun, pertanyaan itu segera ditepisnya. Ia tak mungkin akan menanyakan hal sefrontal itu ketika ia diperkenalkan oleh Pak Budi, manajernya.Tapi ternyata, setelah perkenalan singkat itu, Pak Budi malah yang memulai cerita saat mereka berdua sama-sama pergi ke ruangan monitoring. Selain Adit, Pak Budi sebagai manajer memang lebih sering menghabiskan waktu di sana. Ia memantau semua sudut, mengawasi setiap gerak-gerik melalui bebera

  • Tukang Pijat Tampan   Dianggap Bocah

    Jam 5 sore, semua karyawan sudah datang, kecuali para mucikari dan anak buahnya. Pak Budi mempertemukan Adit sebagai orang baru, sebagai wakilnya pak Darmawan, yang akan menjabat sebagai kepala keamanan.Pak Jarwo tidak berangkat kerja. Dia sudah tahu bahwa dia tak lagi menjadi kepala keamanan. Siang tadi, Pak Budi menelefonnya, dan menjelaskan alasannya.Ketidakhadirannya membuat semua orang berpikir; pasti Pak Jarwo marah besar dengan pergantian statusnya yang tiba-tiba itu, tanpa masalah apapun. Dan dia tidak masuk karena dia marah.Situasi menjadi tidak menyenangkan. Adit bisa merasakan ketidak-senangan banyak orang karena kehadirannya, meski sebenarnya dia tidak bisa dipersalahkan juga sebab dia sendiri hanya menjalankan perintah pemilik baru tempat itu.Ada empat supervisor. Dua bertugas di lantai 4; tempat karaoke. Tugas mereka adalah mengatur para karyawan untuk melayani tamu, mengatur anak buah mucikari harus menemani siapa, dan juga garda depan yang mengurus permintaan tamu.

  • Tukang Pijat Tampan   Pekerjaan Baru

    Setelah sarapan pagi yang sederhana di rumah mewahnya, Pak Darmawan mengajak Adit untuk berkunjung ke investasi terbarunya; sebuah café yang baru saja dibelinya. Café Night Paradise, begitu namanya tertera di papan neon yang masih mati di siang hari. Meskipun menyandang nama café, tempat itu sesungguhnya adalah kompleks hiburan malam yang menawarkan lebih dari sekadar kopi dan makanan ringan. Di balik fasad café yang elegan, tersembunyi dunia dugem yang gelap dan ruang-ruang karaoke yang menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas yang tidak sehat.Rudi, seperti biasa, duduk di balik kemudi mobil mewah majikannya; sebuah Mercedes hitam yang selalu terawat dengan sempurna. Hanya mereka bertiga yang menuju ke tempat itu.Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit melewati jalanan kota yang mulai dipenuhi kendaraan bermotor. Kemacetan pagi hari Jakarta selalu menjadi rutinitas yang tak bisa dihindari. Pak Darmawan menggunakan waktu perjalanan itu untuk menjelaskan visi dan misinya te

  • Tukang Pijat Tampan   Candu Yang Sulit Lepas

    Lagi-lagi mereka terjebak dalam hubungan terlarang penuh dosa. Seperti malam-malam sebelumnya, hasrat yang telah lama mereka pendam kembali meledak dalam kesunyian kamar loteng yang gelap. Dinda sepenuhnya memimpin penyatuan itu dari awal sampai akhir, tangannya yang lembut namun tegas menuntun setiap gerakan dengan kepercayaan diri yang mengejutkan Adit.Ia pun konsisten menutup mulutnya, menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha sebisa mungkin tak menimbulkan suara meski tubuhnya bergejolak dengan gerakan rumit manakala ia sangat sering merasakan ledakan-ledakan kebahagiaan itu. Setiap kali tubuhnya hampir berteriak, Dinda segera menekan wajahnya ke dada bidang Adit, meredam desahan yang ingin keluar dengan aroma maskulin yang sudah sangat dikenalnya.Adit sendiri hampir tidak bisa menahan diri. Melihat wajah Dinda yang memerah, mata yang berkaca-kaca namun penuh gairah, dan cara ia bergerak dengan begitu penuh nafsu membuatnya hampir kehilangan kendali. Namun ia juga sadar bet

  • Tukang Pijat Tampan   Ketika Semua Sudah Terlelap

    Tubuh Adit menegang, setiap ototnya terasa ditarik ulur oleh gelombang sensasi yang sulit dijabarkan, namun perasaan seperti itu sangat mudah dipahami oleh para lelaki. Sesekali, getaran halus menjalarinya, terutama di momen Dinda dengan sengaja tidak membiarkannya mencapai puncak kebahagiaan yang begitu kental. Nafas Adit tersengal, seperti baru saja berlari maraton, saat ia menatap Dinda yang kini tersenyum usil, berdiri anggun di hadapannya.“Kita teruskan nanti ya,” bisik Dinda, suaranya mengandung nada menggoda yang memabukkan. “Tunggu yang lain tidur semua dulu… dah sana kalau mau balik ke kamar!” Dengan gerakan lembut namun tegas, Dinda membukakan pintu kamarnya.Demi apa pun, Adit merasa jengkel, sebuah rasa frustrasi yang manis dan hanya bisa ia simpan rapat-rapat dalam hati. Ini bukan kesal yang sesungguhnya; lebih kepada kejengkelan karena Dinda baru saja mengerjainya, membuatnya melayang-layang di awang-awang tanpa sempat menuntaskan penerbangan.Namun, di balik kejengkela

  • Tukang Pijat Tampan   Di Kamar Dinda

    Malam itu, udara terasa segar setelah hujan ringan yang sempat turun sore tadi. Adit mengikuti langkah Pak Darmawan yang masih terlihat bersemangat tinggi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sepatu kulit bosnya itu berbunyi ritmis di atas lantai marmer yang masih agak basah. Aroma kemenangan masih melekat di tubuh pria tua itu; campuran parfum mahal dan keringat dari ketegangan pertarungan tadi.Sementara itu, Rudi memilih berkumpul bersama rekan kerja lainnya di teras anak rumah di samping rumah utama setelah memarkirkan mobil sedan hitam bosnya ke garasi.Rumah bergaya ningrat itu tampak tenang dari luar, dengan lampu-lampu taman yang menerangi jalan setapak menuju pintu utama. Ketika Adit melangkah masuk mengikuti Pak Darmawan, ia bisa merasakan debaran jantungnya mulai tidak teratur. Bukan karena kelelahan dari pertarungan tadi, tapi karena antisipasi akan bertemu dengan seseorang yang telah menghantui pikirannya selama ia mulai berada di rumah itu.Ruang ten

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status