Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Mengintip Manager Cantik

Share

Tukang Pijat Tampan
Tukang Pijat Tampan
Author: Black Jack

Mengintip Manager Cantik

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2025-03-03 15:17:35

“Heh! Apa yang kamu lakukan di sini?! Kamu mengintipku, hah?!”

Adit, yang tengah mengepel lantai ruang ganti pelanggan, nyaris menjatuhkan pelnya saat mendengar suara bentakan itu.

Di hadapannya, seorang wanita cantik dengan tubuh menggoda dan hanya mengenakan pakaian dalam berenda, berdiri dengan napas memburu.

Itu Bu Celina, manajer tempatnya bekerja!

Tangan wanita itu menutupi dadanya yang montok, tapi pahanya yang mulus justru terabaikan.

Glek.

Adit menelan ludah. Otaknya berteriak untuk tidak melihat, tapi matanya berkhianat.

Takut? Jelas. Adit hanya trainee rendahan. Terpergok dalam situasi seperti ini bisa membuatnya dipecat seketika.

Namun, senang?

Bagaimana tidak? Bu Celina adalah fantasi hidup para terapis pria di panti pijat ini!

Dengan tubuh berlekuk sempurna, kulit sehalus sutra, dan tatapan tajam menggoda, siapa yang tidak pernah membayangkan wanita itu dalam pelukan mereka?

Dan sekarang… tubuh yang biasanya hanya ada dalam bayangan, terpampang jelas di depannya!

Tapi… ada yang aneh.

Kenapa Bu Celina masih di sini? Bukankah semua orang sudah pulang?

Dan yang lebih aneh lagi… kenapa tangannya basah?

“Apa yang kamu lihat, dasar mesum! Mau saya pecat?!”

Deg!

Adit buru-buru menggeleng. “A—ampun, Bu Celina! Saya enggak tahu kalau Ibu masih di sini…”

Sebagai trainee, posisi Adit di panti pijat ini sangat lemah. Dia adalah sasaran empuk senior-senior yang haus kuasa. Tidak heran sebelum dirinya, banyak trainee yang tidak bertahan lama, entah karena mundur atau dikeluarkan dengan alasan sepele.

Itulah alasannya malam ini dia bisa ada di sini. Karena salah satu seniornya melemparkan tanggung jawab kepadanya.

Namun, siapa yang menyangka hal tersebut membawanya ke situasi seperti ini…

Adit melihat Celina takut-takut. Ekspresi manajernya itu dingin, tapi tatapannya panik. Ditambah wajah cantiknya yang memerah, Adit merasa Bu Celina seperti takut ada rahasia besar yang terbongkar.

“Sudah! Aku enggak mau tahu. Pergi dari sini atau…”

Bu Celina mengomel selagi buru-buru mengenakan celananya.

Namun, karena terlalu panik, kakinya tersangkut di celana dan tubuhnya terhuyung ke depan!

Bruk!

Refleks, Adit segera menangkap tengkuk Bu Celina sebelum kepala wanita itu terbentur lantai.

Deg!

Dan saat itu juga, sesuatu terjadi.

Wajah Bu Celina merah padam hingga ke telinga. Napasnya memburu, matanya bergetar, dan…

"Ah…"

Desahan lirih itu lolos begitu saja.

Adit membeku.

Apa-apaan ini?!

Sadar dengan suara yang baru saja keluar dari mulutnya, Bu Celina langsung bangkit dengan wajah panik!

“Kau, kau apakan aku barusan!?”

Adit ikut berdiri, wajahnya bingung. "Sa-saya nggak ngapa-ngapain, Bu! Saya cuma menangkap Ibu biar nggak jatuh—"

“Tapi---”

Celina ingin mengatakan sesuatu.

Ada sensasi aneh yang menyelinap ke dalam tubuhnya.

Hangat.

Menyusup ke saraf-sarafnya.

Tiba-tiba area yang disentuh Adit tadi terasa lebih peka. Seakan… terbakar dari dalam.

Namun, dia menggeleng cepat, menepis perasaan aneh itu.

Mana mungkin dia mengaku sentuhan tangan Adit di lehernya … membuat sesuatu dalam tubuhnya berdenyut?!

“Ah, sudah! Lupakan saja!”

Bu Celina bergegas mengenakan pakaiannya, lalu sebelum keluar ruangan, dia menoleh tajam.

"Ingat ya, urusan kita belum selesai!"

Adit hanya bisa menatap kepergiannya sambil menelan ludah.

Habis sudah…

Sudah menyinggung bosnya, Adit pasti akan kehilangan pekerjaannya ini dalam waktu dekat.

“Haaah … ya sudahlah, itu urusan nanti …” pikirnya sebelum memutuskan membereskan alat-alat bersihnya dan keluar dari ruangan.

Tanpa dia sadari…

Cincin yang melingkar di jarinya berpendar…

Lalu menghilang…

Dan membentuk lingkaran hitam di jarinya.

**

Keesokan paginya.

“Anak baru nggak berguna! Baru berapa hari jadi trainee sudah berani datang terlambat?!"

Makian itu terlontar dari mulut Rudi, senior Adit yang paling berengsek. Pria yang sama dengan yang melemparkan pekerjaan bersih-bersih kepadanya tadi malam.

"Maaf, Pak Rudi! Saya tidak bermaksud untuk datang terlambat…"

Tadi pagi, Adit sebenarnya ingin berangkat kerja seperti biasa. Namun, di tengah Bersiap-siap, Adit menyadari bahwa cincin peninggalan kakeknya tiba-tiba hilang.

Sebagai satu-satunya kenangan yang Adit punya terhadap sang kakek yang baru meninggal beberapa waktu lalu, benda itu sangat berharga.

Dia pun mencarinya dengan panik, sampai akhirnya lupa waktu dan berakhir datang terlambat ke kantor.

Alhasil, di sinilah dia sekarang, menerima ocehan dan menjadi bahan pelampiasan kemarahan seniornya.

BUK!

Satu pukulan dengan gulungan kertas koran diterima di kepala oleh Adit.

“Nggak bermaksud terlambat? Kamu kira aku peduli kamu bermaksud atau nggak?! Di sini ada aturan, dan kamu sudah melanggarnya!”

BUK!

Pukulan kedua.

“Baru trainee aja udah belagu.”

BUK!

Pukulan ketiga.

“Kalau kamu merasa udah jago, kamu sebaiknya---”

BRAK!

Pintu pegawai terbuka keras!

“RUDI!”

Bu Celina muncul dengan wajah marah, membuat Rudi menoleh kaget. “B-Bu Celina?”

Adit langsung mengangkat kepala. Saat melihat sosok Celina, dia langsung menunduk lagi, jantungnya berdegup kencang.

Dia pikir… Bu Celina akan memecatnya.

Namun, yang terjadi selanjutnya sangat di luar dugaan.

“Kenapa pelanggan ruang 25 belum ada yang melayani?!”

Rudi membeku, panik. "A-anu, Bu… saya—"

Mata Bu Celina menatap ke arah Adit.

Dan saat mereka saling bertatapan…

Celina langsung mengenalinya.

"Kamu…"

Adit menahan napas, takut kejadian tadi malam akan diungkit.

Tapi Celina membuang wajah, berdeham, lalu berkata dengan suara tegas.

“Kamu! Siapa nama kamu!” tanya Celina.

“A—Adit bu…”

“Adit! Sekarang kamu pergi ke ruang 25. Pijat pelanggan yang ada di sana itu!”

Wajah Rudi seketika mengeras, “Ta—tapi Bu… Adit kan masih Trainee, seharusnya saya yang—"

"Kalau mau pelanggan, seharusnya kamu peka sejak tadi! Bukan sibuk menindas bawahan!" Kemudian, Celina menatap Adit. “Selain itu, mulai saat ini dia jadi pegawai tetap! Cepat ke sana!”

“Ba—baik bu!”

Adit yang melihat ini sebagai kesempatannya, segera saja berlari ke ruangan itu, diikuti tatapan kesal dari Rudi yang merasa dipermalukan.

Namun, berbeda dengan Bu Celina. Ia melihatnya dengan tatapan berbeda…

‘Adit … ya?’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukang Pijat Tampan   Pertarungan Kedua Di Malam Itu

    Suasana masih riuh. Beberapa pertarungan telah terjadi dan kini Adit pun sedang menonton sebuah pertarungan yang seru. Sesekali Adit menatap Seina. Dan beberapa kali pula tatapan mereka bertemu sekian detik saja.Seina sungguh penasaran dengan Adit. Dua kali ia telah melihat Adit menang melawan lawan yang berat. Kemenangannya seolah kebetulan. Namun ia berpikir, hal itu bukanlah sebuah kebetulan.Pertarungan sedang Adit lihat akhirnya selesai juga. Lawan yang kalah tampak berdarah-darah. Penonton yang menang taruhan bersorak senang, tak peduli dengan cidera parah yang dialami oleh petarung yang kalah itu.Sejujurnya Adit merasa miris. Tapi ia paham, para petarung yang berlaga di arena itu memang sudah siap mati; siap menanggung segala resikonya. Ia pun demikian. Ia tahu, pertarungan seperti itu kadang kala tidaklah sederhana.Di pertarungan yang ia saksikan, setidaknya ada dua petarung, yang ia rasa, tak sepenuhnya mengandalkan kekuatan fisik. Dukun sakti jelas pula berperan dalam tar

  • Tukang Pijat Tampan   Lawan Besar

    Kesepakatan telah terjadi. Lawan Adit adalah seorang bule, bertubuh tinggi besar, ototnya kekar, wajahnya sangar dan buas. Dia naik ke atas panggung terlebih dahulu. Bos petarung itu tersenyum senang, merasa telah berhasil memancing Darmawan untuk bertaruh besar dan sedari tadi dia memang menyembunyikan petarungnya itu, lalu yang terlihat bersamanya adalah petarung lain yang tubuhnya tak sesangar itu.Pak Darmawan tersenyum kecut melihat lawan Adit. Joko pun berkeringat dingin membayangkan bosnya pasti kalah 30 milyar malam ini."Pak, saya saja kah yang menggantikan Adit?" tanya Joko. Sedari awal ia memang tak yakin Adit bisa bertarung dengan baik.Darmawan melirik Adit, "kamu bisa mengalahkan dia?""Bisa, Pak. Jangan khawatir. Masih lebih sulit lawan cewek waktu itu!" kata Adit."Hah? Serius?" kata Darmawan mengerutkan keningnya."Mari kita lihat saja. Saya tidak akan turun panggung sebelum pingsan atau mati!" kata Adit sangat yakin. Darmawan terkesan dengan keberanian pemuda itu. Na

  • Tukang Pijat Tampan   Bertemu Lagi Dengan Seina Melinda

    Jam empat sore, mobil Pak Darmawan datang. Kali ini dia bersama sopir dan pengawal yang lain. Wajahnya sangar, tinggi dan gagah. Aku belum pernah melihat dia di rumahnya.Pak Darmawan tersenyum saat berjalan ke teras, ia memanggil lelaki itu dan memperkenalkannya kepadaku. “Joko! Salam kenal!” ucapnya. Jabat tangannya pun juga terasa mantap.“Adit, bang…” balasku sopan.“Hehehe. Joko dulu pengawalku yang menemaniku kemana pun aku pergi. Dia sudah lama absen karena dipenjara. Pagi tadi dia dia bebas dan langsung tugas lagi!” kata Pak Darmawan. Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung.“Kamu sudah siap untuk nanti?”“Sudah siap, Pak!” jawab Adit.“Bagus. Mau ganti baju dulu lalu berangkat?”“Siap pak!” jawab Adit. Ia segera bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah mempersilakan Pak Darmawan masuk. Adit ke kamarnya, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian ia pun ke ruang depan.“Kamu suka motornya?”“E, suka Pak. Terimakasih banyak…” kata Adit.“Jika mau minta apa, bilang saja!” kata P

  • Tukang Pijat Tampan   Akan Bertarung Lagi

    Adit kembali ke dapur setelah berpakaian lengkap, berniat untuk pamit pulang. Namun Dea menghentikannya. Ia sudah memesan sarapan melalui aplikasi, dan sebentar lagi akan datang. Adit tidak bisa menolak. Ia pun duduk di meja makan dapur apartemen itu.Perasaan canggung, khawatir, dan juga gugup bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Dea, yang kini juga sudah berpakaian lengkap. Ia terlihat cantik dan anggun, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam. Adit merasa hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap."Kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dea, memecah keheningan."Kopi saja, Kak," jawab Adit, suaranya pelan.Dea mengangguk, lalu membuat dua cangkir kopi. Ia meletakkan satu di depan Adit, lalu duduk di hadapannya. "Kamu kelihatan tegang, Dit. Santai saja.""Eh, iya kak…” Adit merasa salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kak Dea tidak lekas ke kantor?”Dea tersenyum. "Sudah kubilang, perusahaan itu milikku. Aku bisa datang k

  • Tukang Pijat Tampan   Terlambat Bangun

    Adit dan Dea terlelap dengan sangat lelap di atas kasur queen size yang seprai putihnya kini sedikit kusut dan berantakan. Tidak ada alarm yang menyala, tidak ada gangguan dari dunia luar.AC kamar berdengung pelan dengan suhu 22 derajat, menciptakan udara sejuk yang membuat tidur mereka semakin nyenyak. Mereka tidur pulas, tubuh saling bersinggungan dengan alami, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua dalam kepompong keintiman yang hangat.Pukul 9 pagi, sinar matahari yang sudah mulai terik berhasil menyusup melalui celah-celah gorden berwarna krem, menciptakan garis-garis cahaya emas yang menari-nari di lantai kamar. Adit terbangun lebih dulu, kelopak matanya berkedip perlahan melawan silau, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya. Ia menyadari kehangatan yang melingkupinya; bukan hanya dari selimut tipis yang menutupi sebagian tubuh mereka, tetapi juga dari tubuh Dea yang masih tidur dengan damai.Dea masih memeluknya erat, lengan kiri

  • Tukang Pijat Tampan   Tawaran Yanh Sulit Ditolak

    Dea merasa gugup. Di sampingnya, Adit berbaring telentang, kaku dan diam. Ia tidak mengantuk sama sekali. Pikiran dan hatinya terus bergejolak. Ia menginginkan sesuatu, dan ia tahu, Adit adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya. Tapi, sepertinya Adit memang bukan lelaki nakal. Terbukti, setelah lima belas menit berlalu, pemuda itu hanya anteng di tempatnya. Jika ia tidak memulai, maka tidak akan terjadi apa-apa.Dea tahu, Adit pasti belum tidur. Atau belum benar-benar tertidur. Dan ia sadar, jika bukan sekarang, mungkin ia tak akan punya kesempatan sempurna seperti ini.Maka, Dea mulai menggeser tubuhnya merapat ke Adit. Gerakan pelan itu membuat kain selimut bergeser. Adit pun merasakan pergerakan itu. Jantungnya berdetak kencang dan ia hanya membeku berbaring rapi seperti lipatan baju di dalam lemari. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Kulit mereka bersentuhan. Kehangatan yang menjalar dari tubuh Adit membuat Dea merasa nyaman. Namun ada sensasi l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status