“Nabila, kamu mau pergi ke mana?”
Pagi-pagi sekali Shanaz yang ada di dalam tubuh Nabila sudah bersiap-siap hendak pergi. Ia ingin pergi ke perusahaan Fernando hari ini, bagaimanapun caranya dia akan ke sana.Shanaz bergeming, dia yang belum terbiasa dipanggil Nabila oleh orang lain tubuhnya tidak menanggapinya.“Bila?” Tangan ibunya menepuk bahu Shanaz.“Oh—ya? Kenapa Bu?”“Kamu mau ke mana, ini masih pagi. Kamu dari kemarin selalu keluar, ibu khawatir kamu sakit lagi, Bil.”Nabila tersenyum, dia mengatakan pada ibunya jika dia akan mencari pekerjaan dari sekarang. Alasannya tentu saja bukan karena dia ingin mendapatkan uang, melainkan ingin masuk ke dalam keluarga besar Fernando.“Kerja? Kamu yakin?”Nabila mengangguk. “Ibu tenang saja, Nabila akan baik-baik saja. Kalau sakit nanti langsung ke rumah sakit.”Karena tak bisa menahan anaknya, akhirnya ibu Nabila membiarkan anaknya pergi.Namun—ada beberapa hal yang membuat ibunya berpikir aneh pada anaknya. Mengapa Nabila bersikap sangat sopan padanya? Nabila memang sopan pada ibunya, tapi dia selalu bersikap pada ibunya dengan akrab. Tidak menjaga jarak seperti sekarang.Bahkan hal aneh terjadi, ketika Nabila tidak mengenal temannya Reni yang beberapa hari datang ke rumahnya.“Nabila tidak mungkin—menderita Alzheimer kan?” gumam ibunya cemas.**Shanaz turun dari mobil taksi yang membawanya menuju ke rumah sederhana di sebuah perumahan menengah ke bawah.Ia cukup lama berdiri di sana seolah sedang menunggu seseorang.Hingga akhirnya tubuhnya terkesiap saat melihat ibu kandungnya keluar dari rumah dengan mata yang sembab. Ibunya masuk ke dalam mobil bersama dengan ayahnya. Entah pergi ke mana, yang pasti ia melihat ada rona kesedihan dalam wajah kedua orangtuanya.Mungkin mereka berpikir jika Shanaz, anak mereka meninggal karena sampai sekarang tubuhnya belum dapat ditemukan.“Maafkan Shanaz ibu,” ucap Shanaz dengan sedih. Ia memandangi mobil itu sampai menghilang di persimpangan.**Sejak kepergian Shanaz, Lita selalu bertingkah menjadi nyonya di rumah Fernando. Padahal tubuh Shanaz belum ditemukan, dan belum jelas juga Fernando bercerai dengan Shanaz. Tapi Lita bersikap jika dia adalah nyonya utama di dalam rumah itu.“Ini kenapa kamarnya berantakan? Bukankah kalian digaji untuk membersihkan rumah ini?” Lita protes ketika kamar yang dulunya ditempati Shanaz dan Fernando belum dibersihkan.“Aku mau tidur di sini malam ini, jadi bersihkan.”“Tapi nyonya—nyonya Shanaz kan—”Mata Lita melirik ke arah kepala pelayan yang memprotesnya.“Kamu sudah bosan bekerja di sini? Umurmu sudah tidak muda, jadi tidak akan mudah menemukan pekerjaan lagi. Jadi turuti saja apa mauku!”“Ba—baik,” sahut kepala pelayan itu.Lita kemudian keluar, dia melihat meja makan sudah penuh dengan makanan. Namun karena dia sedang hamil, perasaan mual dan ingin muntah selalu melandanya setiap pagi.Dan hal itu memberikan kesempatan padanya untuk marah-marah lagi pada pelayan.“Makanan apa ini!” Lita. menyapu piring-piring yang ada di atas meja makan dengan tangannya. Dia tidak suka dengan menu makanan itu.“Maaf, tapi ini yang Anda inginkan tadi malam, kan?”Lita memelotot pada pelayan yang langsung menundukkan pandangannya.“Jadi ini salahku, maksudmu?” tanya Lita pelan, tapi nadanya mengintimidasi pelayan.Bagi pelayan pelayan yang bekerja di sana. Sejak kepergian Shanaz, rumah yang tadinya bagai istana itu sudah seperti neraka bagi mereka. Segala kesalahan selalu dicari agar Lita dapat melampiaskan amarahnya.“Ada apa ini?” Sebuah suara membuat pelayan semakin menundukkan kepalanya.Lita menoleh, mendapati ibu Fernando sudah berdiri di samping meja.“Ibu—jadi—aku selalu mual. Tapi—pelayan pelayan ini memberikanku makanan berbau amis. Aku jadi ingin muntah. Bahkan sampai ke dalam kamar pun tercium,” jelas Lita yang tentu saja itu hanya dibuat-buat olehnya.“Benarkah itu?” tanya ibu Fernando pada pelayan pelayan yang ada di sana.Mereka diam, menyangkal pun tak akan berguna bagi mereka semua.Ibu Fernando menghela napasnya.“Apa kalian tidak tahu kalau cucuku itu sangat berharga! Kalau kalian membuat Lita marah, maka itu sama saja membuatku marah. Dia sedang mengandung cucu dari penerus Wiratmadja! Cucu lelakiku akan lahir dari rahim wanita yang tidak kalian hormati!”Tunggu dulu—mata Lita bergetar. Dia seketika tuli dan tidak dapat mendengar apa yang diucapkan oleh ibu Fernando.Cucu laki-laki katanya? Tapi bagaimana kalau anak yang akan dilahirkan Lita adalah perempuan? Apakah itu artinya dia tidak akan diakui di sana?“Maafkan kami Nyonya.” Pelayan pelayan yang tidak bersalah itu berkata serempak dengan kepala tertunduk. Sementara Lita masih bergeming di atas lantai dengan wajah yang memucat.“Wajah kamu pucat, sebaiknya kita ke dokter sekarang. Ibu takut ada masalah dengan kehamilanmu. Ibu juga ingin tahu jenis kelamin cucuku, meski aku sudah yakin jika dia adalah lelaki,” kekehnya dengan ringan.Lita ikut terkekeh—hambar.“Tidak apa-apa, Bu. Lita—Lita baik-baik saja.”“Kamu yakin? Kalau tidak, ibu akan panggilkan dokter keluarga ini ke rumah.”“Tidak!” sahut Lita setengah berteriak. Dia sendiri terkejut mengapa berteriak pada ibu Fernando. “Maafkan Lita, sepertinya aku sedang lelah,” gumam Lita.“Baiklah kalau begitu. Kamu istirahat saja di kamar.”Lita pun akhirnya melarikan diri dari topik berbahaya dari ibu Fernando. Ia pikir semuanya akan berjalan lancar. Namun dia takut—takut jika anaknya nanti bukanlah lelaki, melainkan perempuan.“Bagaimana ini?” Usai mengunci pintu kamarnya, Lita menatap gamang jendela kamarnya. “Sepertinya aku harus melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anakku.“Tapi bagaimana kalau dia perempuan?”Belum-belum, Lita dihantui ketakutannya sendiri.**Perempuan, anak yang dikandung oleh Lita adalah perempuan. Dokter dengan jelas mengatakan jika anak yang dikandungnya saat ini adalah perempuan.Lita meringis dengan getir, memandangi foto yang ada di dalam tangannya.“Tapi ini bisa saja salah kan, dok?” tanya Lita penuh harap.Dokter menelengkan kepalanya. Kemudian menunjukkan rekaman USG-nya tadi.“Bisa saja terjadi kesalahan, Bu. Karena biasanya dalam USG terlihat seperti anak perempuan tapi ternyata laki-laki,” jelas dokter itu.Lita menghela napasnya dengan lega.“Ya, pasti. Pasti anakku adalah anak laki-laki.”“Kalau pun perempuan, bayi ini akan menjadi anak yang sehat.”Aku tidak butuh bayi perempuan. Aku membutuhkan bayi laki-laki. Lita mengatakannya dalam hati. Ia kemudian pamit dan segera menelepon Fernando.“Bagaimana hasil USG-nya?” tanya Fernando di ujung telepon.“Laki-laki, anak kita laki-laki.” Lita menjawab dengan riang meski dalam hatinya ia ragu mengatakannya.“Bagus kalau begitu.”“Jika anak kita—perempuan—bagaimana?” tanya Lita takut-takut.“Apa maksudmu? Aku membawamu ke rumah karena kamu dulu pernah mengatakan kalau kamu akan melahirkan anak laki-laki,” jawabnya dengan tertawa ringan. Seolah tidak tahu jika Lita tengah dilanda ketakutan.“Benarkah? Aku pernah bilang begitu ya?” gumam Lita tak ingat jika pernah mengatakan hal itu pada Fernando.“Oh ya, kepala pelayan mengatakan jika akan mengundurkan diri. Besok aku akan membuat pengumuman lowongan pekerjaan yang baru. Dia juga akan aku tugaskan untuk mengatur rumah dan pelayan yang lain.”“Baguslah, aku tidak suka dengan kepala pelayan yang lama. Gantilah yang muda, dan enerjik.”“Baiklah, aku akan sampaikan pada sekretarisku.”**Shanaz hampir saja terjatuh dari ranjangnya ketika malam itu melihat lowongan pekerjaan di dalam rumah Fernando.Lowongan itu bukan sebagai pelayan, melainkan sebagai kepala pelayan yang merangkap mengurus rumah tersebut. Dan, semua standar dimiliki oleh Nabila semua.Shanaz tersenyum lebar meski tadi siang tidak berhasil lolos masuk ke dalam perusahaan Fernando.“Aku akan ke sana besok, harus.”
Nabila sudah berdandan rapi pagi itu. Usai berpamitan pada ibunya akhirnya dia pergi ke rumah suaminya untuk melamar pekerjaan yang kemarin ia lihat.Tekadnya sudah bulat untuk membalas semua perbuatan Fernando dan Lita padanya bagaimanapun caranya.Sesampainya di rumah Fernando, di sana hanya ada beberapa pelamar yang sedang menunggu di ruang tamu.Shanaz yang ada di dalam tubuh Nabila saat ini tahu jika mereka saat ini sedang diwawancarai oleh mertuanya di ruang kerja Fernando.Keputusan biasanya diserahkan pada Shanaz dan Fernando, barulah itu pada mertuanya. Namun kali ini dia tidak tahu apakah Lita akan ikut andil atau tidak.Ada seorang wanita yang baru saja keluar dengan wajah yang murung. Sepertinya dia ditolak, Nabila membatin.Wanita itu terlihat sangat gemuk, mungkin mertuanya tak mau memiliki kepala pelayan yang tidak gesit dan banyak makan.Lalu wanita kedua juga ditolak karena mungkin terlalu kurus, mungkin dipikirkan mereka wanita itu akan mudah jatuh sakit jika bekerja
Hanya satu orang yang tidak menyukai keberadaan Lita di rumah itu. Dia adalah Lorenzo. Dia bahkan mengutuk perbuatan adiknya yang telah menduakan Shanaz selama ini.Lita yang tahu jika Lorenzo susah didekati pun berusaha keras agar kakak iparnya itu mau menerima kehadirannya. Namun sayangnya sepertinya usahanya tidak membuahkan hasil.“Kakak ipar sudah pulang?” Lita menyapa Lorenzo ketika melihat lelaki itu masuk ke rumah.Lorenzo hanya melihat Lita sekilas kemudian berjalan melewatinya.Lita yang mendapatkan balasan sikap Lorenzo yang dingin hanya mencebikkan bibirnya dan menatap punggung kakak iparnya dengan kesal.“Padahal aku sudah menyapanya,” kata Lita sambil merengut.“Ada apa?” tanya Fernando yang sudah ada di sebelah Lita. Dia mengusap bahu Lita dan membawanya ke kamarnya.“Kakakmu kenapa dia seperti tidak menerimaku di sini?”“Oh, dia.” Fernando menatap Lorenzo yang menghilang ke dalam kamarnya. “Biarkan saja dia, dia memang seperti itu.”“Apa dia seperti itu juga pada Mira?
Satu-satunya kemiripan antara Shanaz dan jasad yang ada di depan Lorenzo hanyalah rambut berwarna coklat lurus dengan panjang sebahu. Hati kecil Lorenzo menyangkalnya."Tidak, dia bukan Shanaz." Lorenzo mengatakan dengan tegas."Lalu bagaimana, Pak. Apakah kita harus melanjutkan pencarian terhadap, Bu Shanaz?" tanya pesuruh Lorenzo.Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Fernando yang sedari tadi sengaja mendengarkan pembicaraan antara kakaknya, pesuruhnya dan dokter forensik nekat menerobos masuk. Lelaki yang masih sah menjadi suami Shanaz itu membuntuti langkah Lorenzo atas desakan istri barunya. Lita menduga Lorenzo sudah berhasil menemukan keberadaan Shanaz. Lita dan Fernando berharap Shanaz ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia. "Untuk apa melanjutkan pencarian, kalau yang ada di depan kita sudah jelas-jelas jasad Shanaz," ucap Fernando dengan sorot mata yang penuh keyakinan.Sebelum datang ke rumah sakit, di perjalanan Fernando juga telah menyusun siasat busuknya. Ia men
Tami masih merasa heran, karena sebelumnya Nabila tak pernah berbohong masalah apapun kepadanya, bahkan untuk kenyataan sepahit apapun. Namun kini kenapa Nabila berbohong? Dua kali sudah ibunya Nabila mengalami kekecewaan untuk hari ini."Halo, Tante. Apa Tante masih ada di sana?" pertanyaan dari Risa di ujung telepon berhasil membuyarkan lamunan Tami."Iya, iya. Tante masih di sini kok," jawab Tami. Nanti akan Tante sampaikan pada Nabila kalau sudah selesai mandi ya," pungkas Tami mengakhiri sambungan teleponnya."Iya Tante."Setelah itu Tami kembali menaruh ponsel anaknya di atas nakas, setelah itu beranjak meninggalkan kamar Nabila menuju ke ruang makan. Menunggu anaknya untuk sarapan bersama. Sampai 10 menit kemudian Nabila keluar dari kamar sudah lengkap dengan riasan wajah yang tipis dan natural, serta pakaian yang rapi.Shanaz duduk sambil melihat makanan yang tersaji di atas meja. Di sana terdapat nasi goreng dengan lauk telur mata sapi. "Hanya itu yang ibu sediakan, karena ibu
Dengan perasaan cemas dan bercampur gelisah, Shanaz berlari untuk masuk ke dalam rumah. "Bukan aku kan yang meninggal kan?" Pertanyaan itu terus berkelebat di kepala Shanaz. Ia juga khawatir dengan nasib Nabila nantinya jika benar dirinya yang sebenarnya dinyatakan meninggal.Sampai pada akhirnya Shanaz bertemu dengan kepala pelayanan yang lama, karena dia akan tetap di rumah itu sampai Nabila bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. "Si–siapa yang meninggal Bu?" Shanaz menunjuk ke arah jenazah. Suaranya bergetar karena tak dapat menutupi kegugupannya."Nyonya Shanaz yang meninggal, dia adalah istri tuan Fernando yang kemarin kecelakaan," jawab kepala pelayan yang lama. Nyonya Shanaz orang yang sangat baik sekali, tidak seharusnya dia pergi secepat ini." Air mata tanpa sadar mulai membasahi pipi kepala pelayan yang lama.Setelah berita pernikahan suaminya, ini kali keduanya Shanaz merasa bumi yang dipijaknya seakan runtuh. Bukan, bukan. Ini lebih mirip tsunami yang langsung menghant
Sontak Shanaz bangkit dari tempat tidur Tami. Ia dan Tami keluar untuk melihat siapa yang berteriak tadi. Air mata mengambang basah di pelupuk mata, kemudian menganak sungai hingga membasahi pipi, ketika melihat ibu kandungnya menangis di depan jenazah yang diklaim adalah dirinya."Jangan menangis ibu. Aku di sini. Itu bukan aku," batin Shanaz. Ingin sekali ia berlari dan memeluk wanita yang sangat dicintainya. Memeluknya dan memberitahu bahwa itu bukan dirinya. Tetapi bukankah tidak akan ada seseorang yang mempercayainya nanti?Ayah Shanaz berusaha menenangkan ibunya Shanaz, meskipun hatinya sendiri juga sangat hancur. Putri yang sangat dicintainya telah pergi meninggalkan mereka selama-lamanya.Sejenak ibunya Shanaz menghentikan tangisannya, demi mencari keberadaan menantunya. "Di mana Fernando?" tanya ibunya Shanaz.Tak ada yang mengetahui di mana keberadaan Fernando, sampai ibu mertua Shanaz keluar. Ibunya Shanaz buru-buru menghampiri dan bertanya kepada besannya tersebut. "Di ma
"Diam atau aku akan memecat kalian semua!" Lita mengancam dengan wajah berapi-api, seakan ingin menelan para pelayan itu hidup-hidup. Saat ini Lita merasa dialah pengusaha di di rumah itu, ratu di sebuah kerajaan. Dan itu karena dia adalah wanita pertama yang akan melahirkan pewaris perusahaan keluarga Fernando.Tami membalikkan badan dan menaruh hati telunjuknya di depan bibir, sebagai kode agar para bawahannya itu diam. Menyadari karir mereka terancam, mereka membungkam mulut masing-masing dengan kompak.Karena terlanjur tidak suka dengan Tami, Lita menuduh Tami yang menyuruh mereka menyertainya. "Ini pasti karena ulahmu kan!"Tami menatap khawatir ke arah Shanaz, ia tak tahu bagaimana harus menghadapi wanita menyebalkan itu. Shanaz memberi isyarat dengan mengedipkan matanya, seolah memberikan keyakinan bahwa semua akan kembali normal. "Sudah pergi dari hadapan Nyonya Lita, dia sedang hamil suasana hatinya harus selalu bagus," ucap Shanaz, yang terlihat serius. Tetapi Tami tahu sem
Fernando dan Lita saling memandang sambil mengangkat satu alis yang terangkat. "Suara siapa itu?" tanya Lita?" Fernando mengangkat kedua pundaknya. "Entahlah. Kita lihat." Fernando secepat kilat berlari keluar dari kamar bersama dengan Lita untuk mengeceknya. Lita yang tak sadar sedang hamil akhirnya mengalami kram perut. Ia meringis kesakitan lalu berjongkok di lantai sambil memegangi perutnya."Aarrggghhh! Sakit." Wajah wanita itu berubah menjadi merah karena menahan sakit yang teramat sangat.Fernando yang mendengar suara pekikan istrinya langsung menoleh, kemudian langsung menghampiri Lita. "Apa yang terjadi?" "Perutku sakit," keluh Lita.Fernando tak tinggal diam. Ia segera menelepon supir pribadinya untuk menyiapkan mobil ke rumah sakit. "Cepat siapkan mobil sekarang. Kita harus segera sampai di rumah sakit," perintah Fernando."Baik, Tuan." Kemudian sambungan telepon mereka terputus. Fernando membopong Lita sampai di halaman depan rumah.Shanaz memanfaatkan kesempatan ini unt