Share

Bab 3 Kesempatan Emas

“Nabila, kamu mau pergi ke mana?”

Pagi-pagi sekali Shanaz yang ada di dalam tubuh Nabila sudah bersiap-siap hendak pergi. Ia ingin pergi ke perusahaan Fernando hari ini, bagaimanapun caranya dia akan ke sana.

Shanaz bergeming, dia yang belum terbiasa dipanggil Nabila oleh orang lain tubuhnya tidak menanggapinya.

“Bila?” Tangan ibunya menepuk bahu Shanaz.

“Oh—ya? Kenapa Bu?”

“Kamu mau ke mana, ini masih pagi. Kamu dari kemarin selalu keluar, ibu khawatir kamu sakit lagi, Bil.”

Nabila tersenyum, dia mengatakan pada ibunya jika dia akan mencari pekerjaan dari sekarang. Alasannya tentu saja bukan karena dia ingin mendapatkan uang, melainkan ingin masuk ke dalam keluarga besar Fernando.

“Kerja? Kamu yakin?”

Nabila mengangguk. “Ibu tenang saja, Nabila akan baik-baik saja. Kalau sakit nanti langsung ke rumah sakit.”

Karena tak bisa menahan anaknya, akhirnya ibu Nabila membiarkan anaknya pergi.

Namun—ada beberapa hal yang membuat ibunya berpikir aneh pada anaknya. Mengapa Nabila bersikap sangat sopan padanya? Nabila memang sopan pada ibunya, tapi dia selalu bersikap pada ibunya dengan akrab. Tidak menjaga jarak seperti sekarang.

Bahkan hal aneh terjadi, ketika Nabila tidak mengenal temannya Reni yang beberapa hari datang ke rumahnya.

“Nabila tidak mungkin—menderita Alzheimer kan?” gumam ibunya cemas.

**

Shanaz turun dari mobil taksi yang membawanya menuju ke rumah sederhana di sebuah perumahan menengah ke bawah.

Ia cukup lama berdiri di sana seolah sedang menunggu seseorang.

Hingga akhirnya tubuhnya terkesiap saat melihat ibu kandungnya keluar dari rumah dengan mata yang sembab. Ibunya masuk ke dalam mobil bersama dengan ayahnya. Entah pergi ke mana, yang pasti ia melihat ada rona kesedihan dalam wajah kedua orangtuanya.

Mungkin mereka berpikir jika Shanaz, anak mereka meninggal karena sampai sekarang tubuhnya belum dapat ditemukan.

“Maafkan Shanaz ibu,” ucap Shanaz dengan sedih. Ia memandangi mobil itu sampai menghilang di persimpangan.

**

Sejak kepergian Shanaz, Lita selalu bertingkah menjadi nyonya di rumah Fernando. Padahal tubuh Shanaz belum ditemukan, dan belum jelas juga Fernando bercerai dengan Shanaz. Tapi Lita bersikap jika dia adalah nyonya utama di dalam rumah itu.

“Ini kenapa kamarnya berantakan? Bukankah kalian digaji untuk membersihkan rumah ini?” Lita protes ketika kamar yang dulunya ditempati Shanaz dan Fernando belum dibersihkan.

“Aku mau tidur di sini malam ini, jadi bersihkan.”

“Tapi nyonya—nyonya Shanaz kan—”

Mata Lita melirik ke arah kepala pelayan yang memprotesnya.

“Kamu sudah bosan bekerja di sini? Umurmu sudah tidak muda, jadi tidak akan mudah menemukan pekerjaan lagi. Jadi turuti saja apa mauku!”

“Ba—baik,” sahut kepala pelayan itu.

Lita kemudian keluar, dia melihat meja makan sudah penuh dengan makanan. Namun karena dia sedang hamil, perasaan mual dan ingin muntah selalu melandanya setiap pagi.

Dan hal itu memberikan kesempatan padanya untuk marah-marah lagi pada pelayan.

“Makanan apa ini!” Lita. menyapu piring-piring yang ada di atas meja makan dengan tangannya. Dia tidak suka dengan menu makanan itu.

“Maaf, tapi ini yang Anda inginkan tadi malam, kan?”

Lita memelotot pada pelayan yang langsung menundukkan pandangannya.

“Jadi ini salahku, maksudmu?” tanya Lita pelan, tapi nadanya mengintimidasi pelayan.

Bagi pelayan pelayan yang bekerja di sana. Sejak kepergian Shanaz, rumah yang tadinya bagai istana itu sudah seperti neraka bagi mereka. Segala kesalahan selalu dicari agar Lita dapat melampiaskan amarahnya.

“Ada apa ini?” Sebuah suara membuat pelayan semakin menundukkan kepalanya.

Lita menoleh, mendapati ibu Fernando sudah berdiri di samping meja.

“Ibu—jadi—aku selalu mual. Tapi—pelayan pelayan ini memberikanku makanan berbau amis. Aku jadi ingin muntah. Bahkan sampai ke dalam kamar pun tercium,” jelas Lita yang tentu saja itu hanya dibuat-buat olehnya.

“Benarkah itu?” tanya ibu Fernando pada pelayan pelayan yang ada di sana.

Mereka diam, menyangkal pun tak akan berguna bagi mereka semua.

Ibu Fernando menghela napasnya.

“Apa kalian tidak tahu kalau cucuku itu sangat berharga! Kalau kalian membuat Lita marah, maka itu sama saja membuatku marah. Dia sedang mengandung cucu dari penerus Wiratmadja! Cucu lelakiku akan lahir dari rahim wanita yang tidak kalian hormati!”

Tunggu dulu—mata Lita bergetar. Dia seketika tuli dan tidak dapat mendengar apa yang diucapkan oleh ibu Fernando.

Cucu laki-laki katanya? Tapi bagaimana kalau anak yang akan dilahirkan Lita adalah perempuan? Apakah itu artinya dia tidak akan diakui di sana?

“Maafkan kami Nyonya.” Pelayan pelayan yang tidak bersalah itu berkata serempak dengan kepala tertunduk. Sementara Lita masih bergeming di atas lantai dengan wajah yang memucat.

“Wajah kamu pucat, sebaiknya kita ke dokter sekarang. Ibu takut ada masalah dengan kehamilanmu. Ibu juga ingin tahu jenis kelamin cucuku, meski aku sudah yakin jika dia adalah lelaki,” kekehnya dengan ringan.

Lita ikut terkekeh—hambar.

“Tidak apa-apa, Bu. Lita—Lita baik-baik saja.”

“Kamu yakin? Kalau tidak, ibu akan panggilkan dokter keluarga ini ke rumah.”

“Tidak!” sahut Lita setengah berteriak. Dia sendiri terkejut mengapa berteriak pada ibu Fernando. “Maafkan Lita, sepertinya aku sedang lelah,” gumam Lita.

“Baiklah kalau begitu. Kamu istirahat saja di kamar.”

Lita pun akhirnya melarikan diri dari topik berbahaya dari ibu Fernando. Ia pikir semuanya akan berjalan lancar. Namun dia takut—takut jika anaknya nanti bukanlah lelaki, melainkan perempuan.

“Bagaimana ini?” Usai mengunci pintu kamarnya, Lita menatap gamang jendela kamarnya. “Sepertinya aku harus melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anakku.

“Tapi bagaimana kalau dia perempuan?”

Belum-belum, Lita dihantui ketakutannya sendiri.

**

Perempuan, anak yang dikandung oleh Lita adalah perempuan. Dokter dengan jelas mengatakan jika anak yang dikandungnya saat ini adalah perempuan.

Lita meringis dengan getir, memandangi foto yang ada di dalam tangannya.

“Tapi ini bisa saja salah kan, dok?” tanya Lita penuh harap.

Dokter menelengkan kepalanya. Kemudian menunjukkan rekaman USG-nya tadi.

“Bisa saja terjadi kesalahan, Bu. Karena biasanya dalam USG terlihat seperti anak perempuan tapi ternyata laki-laki,” jelas dokter itu.

Lita menghela napasnya dengan lega.

“Ya, pasti. Pasti anakku adalah anak laki-laki.”

“Kalau pun perempuan, bayi ini akan menjadi anak yang sehat.”

Aku tidak butuh bayi perempuan. Aku membutuhkan bayi laki-laki. Lita mengatakannya dalam hati. Ia kemudian pamit dan segera menelepon Fernando.

“Bagaimana hasil USG-nya?” tanya Fernando di ujung telepon.

“Laki-laki, anak kita laki-laki.” Lita menjawab dengan riang meski dalam hatinya ia ragu mengatakannya.

“Bagus kalau begitu.”

“Jika anak kita—perempuan—bagaimana?” tanya Lita takut-takut.

“Apa maksudmu? Aku membawamu ke rumah karena kamu dulu pernah mengatakan kalau kamu akan melahirkan anak laki-laki,” jawabnya dengan tertawa ringan. Seolah tidak tahu jika Lita tengah dilanda ketakutan.

“Benarkah? Aku pernah bilang begitu ya?” gumam Lita tak ingat jika pernah mengatakan hal itu pada Fernando.

“Oh ya, kepala pelayan mengatakan jika akan mengundurkan diri. Besok aku akan membuat pengumuman lowongan pekerjaan yang baru. Dia juga akan aku tugaskan untuk mengatur rumah dan pelayan yang lain.”

“Baguslah, aku tidak suka dengan kepala pelayan yang lama. Gantilah yang muda, dan enerjik.”

“Baiklah, aku akan sampaikan pada sekretarisku.”

**

Shanaz hampir saja terjatuh dari ranjangnya ketika malam itu melihat lowongan pekerjaan di dalam rumah Fernando.

Lowongan itu bukan sebagai pelayan, melainkan sebagai kepala pelayan yang merangkap mengurus rumah tersebut. Dan, semua standar dimiliki oleh Nabila semua.

Shanaz tersenyum lebar meski tadi siang tidak berhasil lolos masuk ke dalam perusahaan Fernando.

“Aku akan ke sana besok, harus.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status