"Zel, Kakakmu hamil."
"Hamil?"
"Iya, sama Yoga."
Nggak mungkin!
Aku mematung sejenak. Otakku mendadak tak berfungsi. Bukankah, Yoga memintaku pulang untuk lamaran kami? Lalu, sekarang?
Mungkinkan aku sedang bermimpi? Siapa pun tolong bangunkan aku!
"Mamah, bercanda, kan?" tanyaku getir. Tak ada yang bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini, aku masih berharap kalau aku tengah bermimpi.
Kemarin, Yoga masih meneleponku. Dia bilang mencintaiku, dia bilang ingin memiliki anak denganku.
"Mamah gak bercanda Sayang, maafin Mbak Resa, ya?" Suara Mamah terdengar menjauh seperti udara yang mulai berkurang.
Aku sesak.
"Kok, bisa, Mah? Kenapa? Zela kan hanya enam bulan penelitian, Mah! Kenapa?" rintihku.
Aku mengatupkan kelopak mata yang terasa perih. Menangis.
Mamah langsung memelukku, dia pun sama terlukanya, itu bisa kulihat dari matanya yang sudah sembab.
"Mereka sama-sama mabuk Zela, Mamah juga gak tahu kenapa mereka bisa berbuat demikian. Mamah, kecewa juga Zela!" erangan Mamah, mengoyakkan hatiku.
Benakku masih tak percaya ini terjadi, padahal sebulan lagi pernikahan Mbak Resa dan aku pun punya rencana dengan Yoga.
Bukankah ini gila?
Bagaimana bisa Yoga mengkhianatiku sedalam ini? Dia yang selama ini mendengar keluh kesahku, kadang kami pun berpelukan untuk mengusir kerinduan.
Bagaimana bisa dia menghamili Kakakku? Bagaimana bisa? Kurang apa, aku?
"Zela! Maafin Resa, ya? Alfa juga sudah Mamah kasih tahu, walau berat dia pun menerima musibah ini," ujar Mamah di sela tangisnya.
Aku tak menjawab. Pikiranku benar-benar blank. Sekali pun Mamah terus berbicara menguatkan, aku hanya bergeming kaku dengan air mata yang terus-terusan mengalir. Kubiarkan Mamah terisak di bahuku walau dadaku sudah sangat sesak, sampai kurasakan semua menggelap.
"Zeelaa!"
(***)
Tukar pasangan, mungkin itulah yang terjadi pada kami. Setelah, beribu kali dikuatkan akhirnya kami berakhir pada satu kondisi memuakkan.
Dua pernikahan, dua pasangan dan entah berapa hati yang terluka.
Begitulah akhirnya, hari ini setelah sebulan kepulanganku, akad dan resepsi dadakan pun terjadi sebelum perut Mbak Resa membuncit.
Atas saran para keluarga, kami bertukar pasangan, demi menyelamatkan harga diri karena undangan Mbak Resa dan Mas Alfa pun sudah disebar jadi tak ada pilihan selain aku harus menggantikan Mbak Resa, sementara Mbak Resa menggantikanku.
Hancur.
Bagiku, kursi pelaminan seakan menjadi kursi terburuk yang pernah ada setelah mantan kekasihku dan Mbak Resa melempar bom ke mukaku.
Meski kursi pelaminan kami berjarak, masih bisa kulihat Yoga tampak salah tingkah. Si bajingan itu beberapa kali mencuri pandang ke arahku, tanpa perduli Mbak Resa yang sejak tadi menundukkan kepala.
Aku tahu Kakakku itu merasa malu dan aku pun sudah muak mendengar alasannya. Karena semalam pun, Yoga masih berusaha menggagalkan pernikahan ini tapi aku dan Mas Alfa sepakat berkorban diri untuk mereka sekali pun kami-lah di sini yang paling tersakiti.
"Apa kamu baik-baik saja?" tegur Mas Alfa. Si lelaki pendiam itu akhirnya bersuara.
Sudah empat jam kami menjadi pajangan, tersenyum di balik luka yang menganga.
"Menurutmu, Mas? Apakah aku bisa baik-baik saja setelah semua ini?" sinisku pada lelaki berprofesi Dokter itu.
Aku tak mengerti jalan pikiran Mas Alfa, dia terlalu tenang bagi seorang lelaki yang tengah patah hati. Bahkan, pandangannya terlalu dingin saat melihat Mbak Resa meraung dan mengemis cintanya. Paling tidak itu yang aku lihat.
"Senyumlah! Paling tidak berpura-puralah, bahagia. Resepsi ini sebentar lagi," ujar Mas Alfa tanpa memandangku.
Aku mendengkus kesal. Ada amarah yang menyeruak dan rasanya jika bisa aku ingin mencabik kedua manusia yang kini kerjaannya hanya melihat kami dengan tatapan minta dikasihani.
Cuih! Aku benci mereka.
Kurasakan mataku mulai memanas lagi. Tatapanku pun kembali beralih ke arah tamu, tanpa perduli Mbak Resa dan Yoga yang terus melihat kami.
Dasar penyebar aib! Brengsek!
"Zela!" panggil Mas Alfa pelan. Mungkin dia tahu saat ini aku hampir saja menangis.
"Iya, Mas?" tanyaku hampa.
"Kamu mau pergi?"
Mas Alfa menatapku dengan mata teduhnya, baru kusadari betapa lelaki itu memiliki aura jantan yang bisa kuandalkan.
"Ke mana?"
Aku balas menatapnya.
"Ke mana saja. Di mana kamu bisa menangis sepuasnya."
"Lalu, resepsi ini?"
"Saya rasa ini tak masalah."
"Tapi, Mas, kalau Ibu nyari. Gimana?"
"Saya yang tanggung jawab. Karena ...."
Mas Alfa menarik napas panjang. "Saya imammu sekarang!" ujarnya lirih tapi cukup membenturkanku pada kenyataan.
Jika suamiku bukanlah Yoga, tapi Alfa.
Perih.
Mungkinkah aku bisa menerima Mas Alfa? Di saat hatiku masih pada Yoga. Lalu, apakah Mas Alfa bisa menerimaku sementara aku tahu dia mencintai Mbak Resa?
Agh, gila!
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia