Share

Melawan Syarlina

“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.

“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.

Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.

“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”

“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”

Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.

Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang belum bisa apa-apa.

Makanya aku itu ingin mengontrol kehamilan bukannya tidak mau dikasih amanah dengan mudah sama Allah, hanya saja takut kurang memperhatikan dan tidak bisa membuka waktu seperti ini.

Sari membantu menggendong Mikayla dan Danisa masuk ke dalam kamar, merebahkan malaikat-malaikat kecilku di atas ranjang lalu dia pamit keluar.

“Terima kasih ya Sar, atas bantuannya.”

“Sama-sama, Bu. Saya istirahat dulu, Bu.”

Aku mengangguk pelan dan segera menutup pintu, mematikan lampu lalu segera menyusul anak-anakku mengarungi samudera mimpi.

Menggerakkan tangan ke sebelah kiri, membuka mata karena tidak mendapati suami di tempat tidurnya. Mungkin dia pulang ke rumah Mama dan mengadu. Biarlah. Nanti paling juga ujung-ujungnya mama datang ke sini melabrak dan marah-marah seperti biasa.

Tuhan! Kenapa rumah tangga yang aku jalani bersama suami terasa begitu rumit? Apa karena pernikahan kami dulu tidak mendapatkan restu dari kedua belah pihak?

Bolehkah aku menyerah dan mundur, ya Rabb?

Mengambil gawai yang terletak tidak jauh dari tempatku tidur, melihat jam dan ternyata sudah pukul satu dini hari. Aku membuka aplikasi berwarna hijau, mengecek siapa tahu ada pesan masuk dan ternyata tidak ada pemberitahuan sama sekali. Kosong.

Aku hanya melihat story Mas Erlangga yang di-posting beberapa menit yang lalu, dengan caption orang menangis. Lebay. Padahal pasti lagi seneng-seneng bisa jauh dari istri.

Jarum pendek jam menunjuk ke angka enam pagi. Di halaman rumah terdengar suara deru mesin kendaraan roda dua masuk, sepertinya Mas Erlangga sudah pulang.

Aku tetap diam dengan posisiku menyusui Viera, menunggu dia menghampiri dan menciumku seperti biasa tapi, sepertinya amarah laki-laki itu masih belum sirna dari hatinya.

Biarlah. Aku pengen liat sejauh mana dia bisa mendiamkan aku. Paling-paling kalau hasratnya muncul juga seperti biasanya langsung peluk-peluk dan minta maaf sendiri. Sudah biasa didiamkan juga diabaikan seperti ini, apalagi jika sudah menyangkut keluarganya yang benalu itu.

Ketiga putriku sudah rapi didandani secantik mungkin dengan gaun yang sama. Lekas diri ini mengambil tas, memasukkan beberapa stel baju membawanya masuk ke dalam mobil dan menyuruh Sari ikut ke toko membantu mengurus anak-anak di sana. Mulai hari ini aku harus belajar mandiri. Menjadi ayah sekaligus ibu, antisipasi jika tiba-tiba rumah tangga yang sudah empat tahun lebih kubina dengan suami kandas di tengah jalan.

Baru saja melajukan kendaraan roda empat milikku beberapa ratus meter, ponsel dalam tasku terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari Mas Erlangga, akan tetapi aku abaikan karena saat ini sedang tidak ingin berbicara dengannya. Paling kalau diladeni ujung-ujungnya akan timbul masalah yang baru. Aku semakin merasa lelah menghadapi mereka semua.

Syarlina sudah menunggu di depan toko saat aku memarkirkan mobil di halaman, membuat mood-ku bertambah hancur dan amarah bertambah membuncah.

“Mana Mas Erlang? Kenapa dia tidak menghubungi aku juga? Terus, kapan dia mau transfer uang buat bayar hutang?” Baru juga turun dari kendaraan, dia sudah memberondong beberapa pertanyaan yang malas aku jawab.

“Masalah hutang Ariesa bukan urusan saya, Mbak. Kalau kamu mau menagih hutang, silakan datangi rumah orang yang bersangkutan. Jangan datang ke toko, karena saya tidak mau membayar hutang adik iparku walaupun hanya seperak.”

“Kamu mau lari dari tanggung jawab?”

“Saya tidak pernah merasa berurusan dengan kamu, Mbak. Silakan kamu datangi rumah Ariesa dan ambil saja sekalian mobilnya. Gampang, ‘kan? Kenapa harus mengejar-ngejar orang yang tidak punya urusan dengan kamu? Saya bisa menuntut kamu dengan pasal pemerasan lho!”

“Kamu mengancam saya?”

“Tidak. Cuma mengingatkan!”

Syarlina masuk ke dalam toko dan langsung mengobrak-abrik barang yang dipajang, sampai-sampai ada dua unit televisi pecah karenanya. Aku hanya diam tidak mau melarang dan menghubungi polisi lalu menyuruh Sari naik ke lantai dua membawa anak-anak.

“Ada apa ini?” Aku menoleh menatap wajah suami yang baru saja turun dari sepeda motor.

“Heh, kamu? Bayar utang kamu atau saya akan obrak-abrik semuanya!” teriak Syarlina seraya berjalan menghampiri suami.

“Linda, hitung semua barang yang rusak. Buat nota dan serahkan ke saya nanti. Kamu tidak usah bereskan barang-barang yang berantakan. Tunggu polisi datang biar tau apa yang sudah dibuat oleh perempuan s*nt*ng itu!” perintahku pada salah satu karyawati yang sudah terlihat ketakutan.

Linda segera mengerjakan semua perintahku, sementara aku lihat Mas Erlangga sedang berdebat dengan wanita sombong itu.

Tidak lama kemudian dua orang petugas datang, memeriksa keadaan lalu menginterogasi kami semua.

“Silakan liat saja rekaman CCTV toko, Pak. Supaya Bapak bisa melihat sendiri apa yang dilakukan perempuan itu. Dan jangan lupa, suruh perempuan itu membayar semua kerugian yang saya tanggung. Ini totalnya dan itu barang-barang yang dia rusak masih tergeletak,” ucapku santai sambil menyodorkan nota berisi tagihan yang harus dibayar oleh Syarlina.

“Kamu mau memeras saya?” Syarlina yang sudah duduk kembali beranjak dan muntap.

“Saya tidak pernah memeras siapa-siapa. Kamu yang sudah berusaha memeras saya dengan menagih dan menyuruh saya membayar hutang yang tidak pernah saya lakukan,” ucapku santai, tidak mau terlihat kampungan dan arogan di depan polisi. Supaya petugas tahu, siapa yang bar-bar di sini.

“Saya tidak mau bayar!”

“Oke! Kalau begitu siap-siap rekaman video kamu saat mengamuk di toko viral ya, Sayang. Saya pengen tau seperti apa reaksi suami kamu yang seorang anggota dewan itu. Dan yang paling penting, jika istri sah suami kamu tau kalau kamu udah ‘ngelonin’ suami orang ampe perutnya gede begitu. Bisa bayangin nggak, seperti apa reaksinya?”

Wajah perempuan itu pucat seketika dan dia tidak lagi berani mendebat. Untung saja kemarin sempat stalking semua akun media sosial milik Syarlina, mencari tahu siapa dia dan ternyata dia hanya seorang simpanan laki-laki beristri. Itu bisa dijadikan alat untuk membungkam dia dan menghentikan ulahnya meminta uang kepada suami.

“Kamu licik, Mbak! Bre*gs*k!” umpatnya kesal.

“Bayar, atau saya hubungi perempuan itu sekarang juga. Kamu bisa bayangin ‘kan, betapa susahnya hidup kamu nanti kalau nggak ada yang ngasih kamu uang? Lagian total kerugian saya Cuma tiga belas juta, nggak banyak. Sekalian kamu kembalikan juga uang yang sudah suami saya transfer, karena yang punya urusan dengan kamu itu adik ipar saya. Bukan suami saya!” tegasku tanpa takut sama sekali. Perempuan sombong seperti dia itu harus dihadapi dengan elegan dan santai. Jangan diajak adu otot, apalagi kalau sudah tau kelemahannya.

“Nggak bisa! Duit yang sudah masuk itu untuk membayar utangnya Ariesa!” Dia masih saja belum mau mengalah.

“Oke, saya hubungi Bu Askana sekarang, biar kamu kena damprat dia dan nggak dapet lagi kucuran dana dari suami simpanan kamu!”

Syarlina mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya, membuka mobile banking lalu mentransfer sejumlah uang yang aku minta ke nomor Mas Erlangga.

“Saya tidak akan melepaskan kamu, B*en*sek! Saya akan membuat perhitungan sama kamu karena sudah memeras dan mempermalukan saya!” ancam wanita itu seraya berlalu dari hadapan kami.

Aku mengulas senyum santai. Paling juga gertak sambal. Dia berani macam-macam, maka tidak akan segan-segan kulaporkan perbuatannya kepada istri sah suaminya.

“Ini, Pak. Buat ngopi.” Menyodorkan amplop cokelat berisi lima lembar uang ratusan ribu kepada polisi, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu.

“Terima kasih, Bu Vani. Kami permisi dulu!” Mereka kemudian lekas beranjak dari toko dan aku kembali melanjutkan aktivitas membantu para karyawan membereskan kekacauan yang dibuat oleh perempuan kurang waras tadi.

“Dek!” Mas Erlangga menghampiri dan ikut memunguti serpihan elektronik yang bertebaran di lantai. Aku menoleh sekilas tapi tidak menyahut. Masih kesal dan belum mau diajak komunikasi. “Mas minta maaf. Mas tau apa yang Mas lakukan selama ini salah. Tolong jangan marah lagi sama Mas.”

Hening. Aku tetap diam tidak menggubris.

“Anak-anak kenapa kamu bawa, Dek. Kita ‘kan sedang tukar posisi. Apa kamu mau mengakhiri permainan ini?” Dia mengulas senyum tipis.

“Ya. Aku ingin mengakhiri permainan ini juga pernikahan kita, Mas. Makanya aku harus terbiasa membawa anak-anak ke toko. Aku juga harus terbiasa tanpa kamu!” jawabku Lugas, membuat jakun suami naik turun dan wajahnya berubah pias.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status