"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do
Sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah, namun, nyatanya aku tidak setegar batu karang yang selalu diterjang sang ombak. Rapuh.“Sabar, Bu. ‘Kan belum tentu Bapak selingkuh. Lebih baik Ibu selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Jangan pake esmosi,” nasihat Linda sambil terus memangku Viera yang sudah tertidur.“Iya, Lin. Terima kasih atas nasihatnya.” Menghapus air mata dengan punggung tangan, tetap fokus mengemudi supaya tidak mencelakakan orang-orang yang ada di dalam mobil.“Maaf ya, Bu. Karena saya sudah berani menasihati.”“Saya malah senang jika ada orang yang memberi nasihat. Itu tandanya orang itu peduli sama saya!”“Kami semua itu peduli dan sayang sama Ibu. Ibu itu wanita baik, pengertian, bos paling ngertiin anak buahnya.”Aku mencoba mengulas senyum tipis kepadanya.“Sabar ya, Bu.”“Terima kasih. Tolong kamu jangan ceritakan masalah tadi sama orang lain ya, Lin. Biar se
Walaupun mata masih belum bisa terpejam, aku lekas ikut berbaring mencoba menjemput lelap serta mengarungi mimpi.“Oh, ternyata begini ya kelakuan kamu, Rivani! Suami sudah ngoprek nyuci piring, jemur baju, tapi kamu malah masih tidur. Coba kalu liat, sudah jam berapa sekarang!!” Aku berjengit kaget saat seseorang menarikku dari tempat tidur secara paksa sampai terjatuh.“Apa apaan ini?” Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.Mama menarikku ke halaman belakang, menunjukkan pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Erlangga sedang menjemur pakaian sambil menjaga anak-anak.“Liat! Suami kamu sudah kerepotan pagi-pagi seperti ini, kamu malah masih molor!” ketusnya lagi.Mas Erlangga menghampiri dan menatapku lalu bergantian menatap wajah ibunya. Benar-benar menyebalkan ini laki-laki. Dari dulu juga tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan istri, ta
Wajah datar laki-laki itu terus saja memindai wajahku. Dia adalah kakak tertuaku, laki-laki yang selalu berusaha melindungi dari siapa pun, bahkan dia juga orang yang paling menentang saat aku meminta izin menikah dengan Mas Erlangga.“Mas Erlang lagi sakit, Bang. Abang tumben datang ke toko?” Aku sengaja berbohong karena jika Bang Damian tahu yang sebenarnya terjadi, dia pasti akan sangat marah kepada suami. Bisa dipaksa pulang seperti dulu dan dilarang bertemu dengan Mas Erlangga jika ia sampai tahu kelakuan suami yang asli.“Kamu kurusan, Van. Apa kamu tidak bahagia?” Mata elang nan tajam itu tidak lepas dari wajahku.“Mungkin karena terlalu lelah, Bang. Kan aku punya bayi!”Bang Damian berjalan mendekat. Dia mengusap rambutku yang tergerai kemudian mendaratkan kecupan di puncak kepala.“Bang, aku bukan anak kecil lagi. Jangan cium aku di depan umum. Malu!” protesku.“Selamanya kamu akan tetap menjadi gadis kecil A
“Kamu ngapain vodeoin Daffo sama selingkuhannya, Dek? Jangan bilang kamu kirim video itu ke Ariesa ya?” tanya suami setengah berbisik. Mungkin dia tidak mau Bang Damian tahu, apalagi jika sampai aku mengatakan kalau Ariesa dan Mama memaksa dia untuk menikah lagi.“Emang iya, Mas. Kok kamu tau?” Menerbitkan senyuman, seolah apa yang aku lakukan ini tidak salah. “Aku Cuma pengen dia merasakan seperti apa rasanya dikhianati, supaya tidak terus menerus menyuruh kamu nikah lagi, Mas!”Mas Erlangga hanya menghela napas. Dia lalu menarik kursi dan duduk di dekat Bang Damian, memunggungi Daffo walaupun sesekali aku lihat ekor matanya melirik ke arah adik iparnya itu.Aku terus menatap wajah suami yang terlihat mulai memerah. Dan saat kuperhatikan, ternyata tangan laki-laki itu terkepal di atas paha, menyembunyikan amarah yang seperti mulai membuncah.Apa dia marah karena aku mengirimkan video tersebut kepada Ariesa?“Mas, kamu mau ke ma
Aku akhirnya mengajak suami pulang, ingin istirahat karena sudah seharian bekerja di toko, dan malam-malam malah harus ngelayap tidak jelas seperti ini.“Kenapa kita pulang? Baru jam sembilan, Sayang!” ucap Bang Damian dengan ekspresi kurang suka.“Aku capek, ngantuk. Lagian untuk apa kita jalan-jalan kalo ujung-ujungnya malah diem-dieman seperti ini?” protesku kesal.“Abang minta maaf!”“Ya sudah. Lebih baik kita pulang. Tau mau begini akhirnya lebih baik aku tidur saja tadi. Ayo, Mas!” Menggendong Viera, sementara Mas Erlangga menggendong Mikayla yang sudah terlihat ngantuk sedang tangan kanannya menggandeng Danisa.“Vani, Abang minta maaf kalau sudah menghancurkan mood kamu malam ini.” Laki-laki bertubuh atletis serta bertato ular naga di punggungnya itu mencekal lenganku.“Maaf, Bang. Tolong jangan paksa istri saya. Dia sudah kelelahan. Apa Abang tega kalau melihat dia pingsan nanti?” sambung suami sambil menatap
Mas Erlangga menatapaku dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Sebenarnya tidak tega mengatakan hal itu di depan suami, tapi kini emosiku sudah berada di level tertinggi dan kian sulit untuk dikendalikan.Antara lelah setelah seharian bekerja, pusing memikirkan kelakuan keluarga suami, ditambah perkataan Bang Damian di restoran tadi.Ah, rasanya otak ini mendidih dan kepala seperti sudah mau meledak saja.Sabar, Rivani, sabar..."Kenapa masih di sini, silakan pergi dari rumah ini sebelum saya panggil satpam komplek untuk mengusir kalian!" "Sombong sekali kamu, Rivani! Awas saja nanti. Tunggu pembalasan dari kami semua. Saya pastikan kamu akan hancur sehancur hancurnya!" ancam mama mertua dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. "Mas, kamu kenapa diam saja, sih. Cegah kek, atau kamu marahin istri kamu, Kek. Jangan cuma diem kaya patung begini!" sungut Ariesa sambil menarik kasar lengan suamiku. Dasar adik nggak ada akhlak."Untuk apa aku membela kalian. Memang nyatanya kalian sala
Mengusap tengkuk yang terasa berat, aku berjalan gontai menuju ruang tengah mencari Mas Erlangga. Rasanya perut ini seperti sedang diaduk-aduk dan rasa mual sudah melanda. Aku ingin meminta dia mengusapkan minyak kayu putih di badan, karena sepertinya aku masuk angin berat."Lagian jangan suka begadang, Dek. Kalau marah sama Mas ya marah saja. Omeli Mas sesuka hati kamu. Luapkan amarah kamu, jangan dipendam sampai-sampai kamu tidak bisa tidur dan harus begadang. Akhirnya masuk angin 'kan?" protes suami sembari mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh tubuhku."Mas!" Mendongak menatap wajah tampan Mas Erlangga ketika dia sedang memijat kepalaku."Ada apa, Dek?" "Aku minta maaf!""Memangnya kamu salah apa sama Mas, sampai kamu harus minta maaf seperti ini?""Atas perlakuan aku semalam, juga kata-kata aku yang begitu menyinggung perasaan kamu. Aku terlalu emosi.""Sudah lupakan saja. Kamu