~ PERMAINAN CANTIK ~
Arsya mendekati Leya yang baru saja duduk di ruang tamu dengan toples keripik di tangannya. "Ley, sepertinya kamu melupakan sesuatu," ucap Arsya membuat Leya mengernyitkan dahinya. "Mana oleh-oleh untukku? Aku kan sudah menitipkannya padamu," ucap Arsya mengingatkan seraya membentangkan telapak tangan kanannya di hadapan Leya. "Aku sibuk, jadi mana sempat berbelanja." Tepis Leya pada telapak tangan wanita berambut panjang itu. Arsya merengut. "Tak biasanya dia mengabaikan aku. Ada apa dengannya?" batin Arsya pun bertanya-tanya. Sebagai seorang sahabat yang begitu dekat sejak SMA, Leya selalu mengabulkan keinginan Arsya termasuk membelikan barang-barang yang wanita itu pinta. Walaupun sebenarnya Arsya bisa membelinya sendiri dari uang yang diberikan suaminya, tetapi menikmati uang Leya ada kepuasan tersendiri bagi Arsya. "Kamu sengaja tak membawakannya untukku kan? Padahal aku sudah menantikan tas itu," ucap Arsya merajuk. Leya memutar bola matanya muak, jika dulu dia akan membujuk sahabatnya itu setiap wanita itu menunjukkan tanda-tanda merajuk padanya. Namun kali ini berbeda, Leya bahkan ingin sekali membenamkan kepala Arsya ke kolam belakang rumahnya. "Minta saja sama suamimu! Jangan manja. Aku capek." Leya memandang Arsya sinis. "Kapan kamu pulang? Lihat jam sudah menunjukkan pukul berapa. Pulang gih, suami di rumah urusin!" lanjut Leya mengusir. Arsya tersentak kaget dengan perkataan Leya yang kasar. "Hari ini aku menginap di sini, ya. Boleh kan." "Ckkk, sebagai teman kamu tak ada pengertiannya ya. Aku baru pulang dan ingin menghabiskan waktu dengan suamiku, akan tidak nyaman jika ada orang lain di sini." Lagi-lagi Arsya tersentak kaget. Dia menggigit bibir bawahnya memaksa untuk tersenyum. Sementara amarah di hatinya berkobar. "Baiklah, selamat malam dan selamat bersenang-senang," pamit Arsya seraya berlalu. Leya kembali tersenyum sinis menatap kepergian wanita itu. "Rasanya aku ingin menampar dan memakimu saat ini juga. Tapi itu tindakan bodoh, kali ini aku akan membuatmu jatuh sejatuhnya hingga kau tak lagi bisa menegakkan kepalamu dengan penuh kesombongan," gumam Leya penuh dendam. Tatapan mata Leya beralih ke arah tangga yang melingkar menuju lantai atas pada sosok laki-laki yang kini tengah duduk santai di balkon kamar. Menggerutu seorang diri karena keinginannya tak terpenuhi. ~ ~ ~ "Ngapain kamu ngajak aku ke sini, Sayang?" tanya Abram heran dengan sikap istrinya yang tak biasa. Pagi-pagi sekali Leya mengajak Abram pergi ke perkebunan teh yang jaraknya hanya tiga jam perjalanan, bertiga sama supir dengan alasan Leya ingin santai bersama suaminya. Sementara Bi Imah dan Pak Nanang dia suruh membantu Asna di rumahnya. Leya berniat memasang Cctv di setiap sudut rumahnya untuk mendapatkan bukti. Dia tidak percaya siapa pun setelah kejadian perselingkuhan pada malam itu. "Aku ingin liburan denganmu, Mas. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk jadi tak punya waktu untuk berdua. Makanya aku ingin banget resign akhir tahun ini." "Masalah resign sudah kita bicarakan semalam, aku malas membahasnya lagi," tandas Abram menghentikan perbincangan mereka tentang niat Leya untuk berhenti bekerja. Lelaki itu terlihat selalu menentang, menghadirkan senyum kecut di bibir Leya. Sesampainya di tempat tujuan, mereka berdua singgah ke sebuah cafe yang ada di dekat perkebunan teh itu. Cafe kekinian yang disuguhi view gunung menjulang tinggi serta kabut putih yang memberi kesan estetik. Leya tak melepaskan kesempatan, dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil selfi berdua dengan Abram sebanyak mungkin. Leya tersenyum puas melihat beberapa gambar yang menujukkan hubungan mereka yang begitu romantis. "Makan dulu, jangan hanya main ponsel saja. Kamu belum makan dari tadi dan sayang juga makanan itu dingin karena dianggurin," tegur Abram pada istrinya. "Nanti, Mas. Lihat Mas, foto ini bagus deh. Bagaimana kalau foto ini kamu jadikan profil di semua sosial media kamu ya!" Leya menunjukkan sebuah foto dirinya yang tersenyum manis berhadapan dengan suaminya. Seakan mereka tengah mengobrol santai. "Apa harus?" tanya Abram terlihat enggan. Leya memasang wajah kecewa dengan sikap suaminya yang akan menolak permintaannya itu. "Kenapa Mas? Kamu malu menujukkan pada semua orang kalau aku ini istrimu?" "Bukan, bukan begitu. Hanya saja apa gak terlihat lebay Sayang," ucap Abram cepat. Dia tampak gelagapan menepis tuduhan istrinya. "Lebay? Memasang poto profil dengan wajah istri sendiri kamu bilang lebay Mas?" Leya memicingkan matanya memandang suaminya. Seperti pisau tajam yang hendak menguliti tubuh lekaki itu perlahan. "Kalau kamu pajang foto istri orang baru lebay, apalagi sampai selingkuh dengannya." Degh! Abram sedikit tersentak kaget. Namun dirinua begitu pintar untuk menutupinya agar Leya tak mengetahuinya. "Aku pernah dengar dari temanku lo Mas. Katanya jika suami tak mau memajang foto istrinya sebagai foto profil sosial medianya, itu harus diwaspadai takutnya dia sedang menjaga perasaan wanita lain. Emang kamu juga begitu, Mas?" tukas Leya yang semakin membuat Abram tersentak kaget. "Kamu ngomong apa sih, Sayang. Itu hanya mitos dan gak ada yang begituan dalam pikiranku. Bagiku kamu itu wanita yang paling cantik dan aku beruntung memiliki kamu," jawab Abram penuh rayuan. Leya tersenyum senang walau dalam hati dirinya ingin sekali muntah setelah mengetahui fakta yang ada. Dulu mungkin Leya akan tersenyum malu dengan pipi yang memerah. Tapi kini alih-alih tersenyum malu, Leya justru tersenyum mual membodohi diri sendiri. "Gak usah gombal kalau nyatanya omong kosong!" balas Leya menepis ucapan Abram. Abram menghela napas pendek. Tangannya meraih ponsel Leya, mengirimkan gambar yang Leya tunjukkan ke nomornya sendiri di applikasi whatsap. Kemudian beralih pada ponselnya dan langsung melakukan yang diinginkan istrinya untuk menghentikan perdebatan. "Nah lihat! Sekarang aku sudah lakuin apa yang kamu mau, sekarang kamu puas?" Leya tersenyum penuh kemenangan melihat gambar mereka berdua sudah terpampang di semua sosial media suaminya dengan caption "wanita syurgaku" yang cukup membuat hatinya berbunga-bunga walau hanya sesaat. "Terima kasih Sayang. I love you." "I love you to honey, apa pun itu asalkan kamu senang," rayu Abram kembali. Leya meraih cangkir kopinya, menyerap aroma cafein itu dengan santai. "Aku yakin di suatu tempat ada yang tengah merasakan kebakaran. Pasti hatinya panas menggelegak, jiwanya meradang dengan gemuruh yang perlahan tapi pasti kian membakar hatinya. Dan tenang saja, semua ini baru permulaan." Leya kembali menatap suaminya, tapi tatapan wanita itu kian dalam dan dingin.Pukul setengah lima sore Leya sudah sampai rumah dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Setelah bercerita pada Cindy hatinya yang terasa sesak sedikit berkurang. Otaknya yang terasa penuh kini bisa berpikir jernih untuk menghadapi masalah-masalah yang sudah mengantri untuk diselesaikan. Setelah membersihkan diri, Leya berjalan-jalan di taman depan rumah untuk mengusir kebosanan menghabiskan waktu senja. Aroma putik bunga mangga yang baru saja mekar dari kebun tetangga tertiup angin masuk ke dalam indra penciumannya. Terasa begitu menyegarkan. Leya melangkahkan kakinya menuju bangku di bawah pohon jambu air. Rasanya sudah lama dirinya tak bersantai-santai seperti ini. Silvia pulang dengan wajah kesal. Dia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun. "Ada apa dengannya?" gumam Leya penasaran.Sejak awal mereka bertemu, Leya sudah menaruh perasaan tak suka terhadap Silvia. Hati kecilnya seakan menolak untuk lebih dekat dengannya ketimbang dengan pelayan lain yang ada
Silvia datang menemui Nirwan di ruangannya. Tatapan mata lelaki itu begitu tajam menusuk, tetapi Silvia tak gentar sebelum apa yang dia inginkan tercapai. "Anda harus bertanggung jawab atas diri saya, Tuan," ucap Silvia sebagai pembuka perbincangan mereka. Nirwan tersenyum mengejek mendengar ucapan wanita di hadapannya itu. Kata bertanggung jawab seperti sebuah jebakan untuk menjerat mangsa agar tak dapat kabur melepaskan diri. "Berapa yang kamu inginkan?"Nirwan langsung to the point tanpa berbasa-basi. Dia langsung mengeluarkan cek dari dalam laci meja kerjanya kemudian mencoret nominal angka di atasnya. "Apa segini cukup. Aku bisa memberi tambahan lagi berapa pun nominal yang kamu inginkan agar kamu simpan cerita malam itu sampai mati!"Wanita bertubuh kecil mungil itu tersenyum sinis menatap selembar cek yang Nirwan lemparkan padanya. Hati kecilnya terluka atas penghinaan yang dia terima. untuk apa menerima cek uang yang tak seberapa jika dia bisa memiliki tambang emasnya lang
Lelaki berkulit sawo matang itu semakin marah dan melampiaskannya dengan menci-um kasar istrinya."Eummmph, Nirwan!" Leya meronta-ronta dengan memukul dada bidang suaminya. Piyama handuk yang dia kenakan entah sejak kapan talinya terlepas hingga tersingkap bersamaan dengan pakaian lelaki itu yang telah tanggal dari tubuh atletisnya.Dada sintal itu menyembul malu-malu mau. Tangan Nirwan mulai menjelajah pada paha yang putih mulus pun terekspos. Ciu-mannya pun ikut berubah menjadi naf-su yang menggebu. Leya yang merasa dilecehkan menggigit bibir Nirwan, sehingga tautan mereka pun terlepas. Leya sebenarnya tak masalah jika Nirwan meminta haknya sebagai suami dan hal itu juga sering mereka lakukan selama menikah. Walau hanya sebatas memenuhi kebutuhan rohani saja tanpa adanya ikatan perasaan seperti cinta. Tetapi dengan cara baik-baik dan bukan pemaksaan seperti saat ini."Kamu—," Nirwan tak melanjutkan ucapannya. Dia mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat ulah Leya.Nirwan pun
Leya langsung bertolak ke rumah mertuanya. Di depan pintu dia langsung mendapati sang suami yang duduk di kursi teras seolah tengah menunggunya. "Kenapa terlambat?" Suara Nirwan terdengar begitu dingin, berbeda jauh dari beberapa jam yang lalu saat menelponnya. "Mampir ke toko dulu, beli ini." Leya menunjukkan sebuah plastik putih besar dari brand toko roti langganannya. Leya memang menyempatkan diri untuk membeli beberapa buah roti serta cake untuk buah tangan dan tak menyangka akan menjadi alasan yang bisa dia berikan pada suaminya. "Oh." Nirwan berdiri kemudian berjalan melewati dirinya begitu saja. Dia tak mengerti apa yang menjadi kesalahannya hingga suaminya kini bersikap dingin padanya. Dalam kebingungannya, dia tetap mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang. Liliana telah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hijau di tangannya. "Selamat malam, Ma," sapa Leya ramah. Tangannya menyodorkan bingkisan yang dibawa dengan canggung. Seperti seorang wanita y
Silvia menahan sakit hati mendengarkan bentakan Liliana padanya sore ini. Semua itu disebabkan hanya karena Silvia lamban memasak makanan yang Liliana pinta dan rasanya juga tidak enak.Liliana bahkan sampai melepeh kembali makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Rasa asin yang terlalu menyengat berlomba dengan rasa getir dari bumbu yang tidak tanak saat menumis. "Sebenarnya apa saja kerjamu. Beres rumah tidak pernah rapi, masak pun juga tidak bisa." Liliana terus saja mengomel tanpa henti seakan tengah meluapkan kekesalan hati yang telah lama tersimpan. Darmi dan beberapa pelayan lainnya menyaksikan dari sudut ruangan sembari mengerjakan pekerjaan mereka. "Memang gak ada guna dia di sini. Kerjaannya cuma ngawasi seakan dirinya yang nyonya rumah," bisik seorang pelayan yang tengah memotong wortel pada temannya. "Makanya kalau ada Tuan muda dandannya menor banget," balas sebelahnya tak kalah berbisik. "Apa iya?" tanya satunya lagi yang tak pernah memperhatikan hal-hal aneh sel
Burung berkicau merdu di balik jendela mengusik ketenangan sepasang suami-istri yang baru saja terlelap saat subuh menjelang. Leya mengerjabkan matanya perlahan saat cahaya matahari merambat ke retina. Lagi-lagi Leya terbangun dengan yang terasa kram akibat aktifitas mereka semalam. Namun yang berbeda kali ini adalah Leya yang menyodorkan dirinya secara suka rela. Bukan karena cinta melainkan pasrah pada kewajiban semata. Leya tersentak kaget mendengar jam weker di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi. Tak ingin bunyi nyaring itu membangunkan makhluk kekar yang tengah terlelap di sampingnya, Leya bergegas mematikan. Baru saja Leya hendak beranjak dari ranjang, tangan kekar Nirwan membelit pinggangnya manja. "Mau kemana?""Kerja," jawab Leya singkat. Tangannya berusaha mendorong lengan suaminya agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi bukannya terlepas, rangkulan tangan itu semakin erat. Nirwan membenamkan wajah ke balik punggung mulus istrinya. Menghirup aroma tubuh pendamping hidupny
Saat bias matahari baru saja muncul memudarkan warna gelap di langit. Nirwan terbangun karena terganggu oleh tangisan seseorang di sebelahnya. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya, seraya bangkit dengan kepala yang masih terasa pusing. "Berisik!" sentaknya kasar membuat suara tangis itu terdiam sesaat. Nirwan membuka matanya, betapa terkejutnya dia mendapati wanita yang tengah menangis di sampingnya tak mengenakan busana dan hanya ditutupi selimut tebal."Silvia? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Nirwan syok. Dan lebih syok lagi dia melihat dirinya dalam keadaan yang sama dengan Silvia, tanpa pakaian yang menutupi tubuh mereka. "Apa Tuan lupa? Kalau semalam ... kalau semalam Tuan sudah merampas kehormatan saya, hik hik hik," terang Silvia seraya kembali menangis. Tangisannya terdengar pilu membuat Nirwan semakin pusing. Nirwan memijit pelipisnya kuat, kepalanya terasa berat. Dia berusaha menarik kembali memori yang tersimpan di otaknya tentang kejadian semalam. Ingatannya hanya
Nirwan meminum langsung cairan putih dari dalam botol. Wajah dan matanya telah memerah seperti kepiting rebus yang tersapu angin malam. Nirwan bersandar pada dinding balkon ruang kerjanya, matanya menatap lurus langit yang begitu terang membentuk gugus bintang Lyra.Dalam mitologi Yunani, adalah sebuah harpa emas yang dimiliki oleh Orpheus, seorang musisi legendaris. Orpheus memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang buas dan membuat orang menangis dengan musiknya.Orpheus sangat mencintai istrinya, Eurydice dan ketika Eurydice meninggal, Orpheus turun ke dunia bawah untuk membawanya kembali. Namun Orpheus melanggar syarat dewa dan harus kembali ke dunia atas tanpa Eurydice.Lyra sering dikaitkan dengan musik, keindahan, dan kesedihan. Kisah Orpheus dan Eurydice menjadi simbol cinta yang abadi dan kehilangan yang menyakitkan. Nirwan terkekeh getir, dia merasa hidupnya sama seperti Orpheus. Sama-sama menyedihkan tanpa orang yang disayang.Sayang? Apakah dia menyayangi istrinya atau
Sepulang dari kantor, Leya tidak membawa mobilnya pulang ke rumah. Dirinya lebih memilih ke suatu tempat untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Leya benar-benar merasa sepi seorang diri. Dia duduk termenung di sebuah taman memandangi dedaunan yang tengah bergoyang. Sebagai seorang anak yatim-piatu kehilangan Asna membuatnya hilang tumpuan bersandar dan kini hidupnya dihadapkan oleh problematik baru di tempat kerja. Berkali-kali Leya menghapus air matanya, malang terasa di badan. Di dalam hati dia terus bertanya-tanya pada Tuhan apa kesalahannya sehingga cobaan terus datang bertubi-tubi tanpa henti dalam hidupnya. Seperti estafet yang membuatnya lelah. Leya selalu bermimpi menikah sekali seumur hidup dan membangun keluarga harmonis, namun nyatanya pengkhianatan justru menjadi luka yang amat dalam di hatinya. Langit seakan mengerti perasaannya, rintik-rintik hujan pun mulai turun dan dalam sekejap menjadi lebat. Membubarkan sekelompok orang yang asik bermain menjadi koca