LOGIN~ MANUSIA TEBAL MUKA ~
Leya menghubungi Abram dan mengabari kedatangannya setelah dua hari menenangkan dirinya di hotel. Dia pulang ke rumah setelah berjuang memantapkan hati untuk bisa bersikap seakan tak terjadi apa-apa "Surprise!!" Baru saja Leya membuka pintu, dia sudah disambut dengan dua sosok manusia yang ingin dia singkirkan dari muka bumi ini. Wajah keduanya tampak begitu ceria. Bram memegang buket bunga Lily putih sementara Arsya memegang sebuah cake yang bertuliskan anniversary pernikahan ke 2 tahun. "Selamat Anniversary pernikahan kita Sayang. Aku harap pernikahan kita langgeng hingga maut memisahkan," ucap Bram memanjatkan harapan. Leya memandang Arsya sekilas kemudian beralih memandang hampa cake berwarna pink dengan gambar sepasang pengantin yang berdiri tegak sembari menari. "Selamat ya, Say. Aku berharap semua doa terbaik untukmu." Arsya menyodorkan kue yang di pegang pada Abram dan berniat untuk merangkul tubuh Leya. Rasa kecewa membuat Leya reflek menolak dengan mundur satu langkah. Senyum terpaksa Leya hadiahkan. "Ada apa?" tanya Arsya bingung. Tak seperti biasanya Leya menolak rangkulan tangannya. "Aku baru pulang dan bau keringat. Sebaiknya aku mandi dulu," dalih Leya cepat untuk menghilangkan kecurigaan. Jangankan bersentuhan tubuh secara langsung dengan Arsya, melihat wajah wanita itu saja sudah membuat dada Leya meradang. Ingatannya kembali pada malam itu saat wanita yang menyebut dirinya sebagai seorang sahabat itu begitu menikmati pergumulan panas dengan suaminya. "Ya sudah, kamu mandi dulu Sayang. Kita kumpul makan malam bersama. Hari ini Arsya menyempatkan diri memasak untuk kita." "Baiklah, aku ke atas dulu," pamit Leya setelah memberi respon biasa pada apa yang diucapkan suaminya. "Kenapa dengannya, Mas? Tak seperti biasanya istrimu itu terlihat dingin seperti itu?" tanya Arsya yang menaruh curiga. "Mungkin benar dia sedang kecapean. Biarkan saja dulu! Sekarang ayo kita ke meja makan." Abram mengajak Arsya untuk duduk di meja makan sembari menunggu kedatangan Leya. Sesampainya di kamar kepala Leya serasa berputar dengan rasa mual yang mendera. Adegan demi adegan menjijikkan malam itu kembali berputar memberikan rasa sesak di dada. Pembantu rumah tangga yang datang membawa koper Leya pun tersentak panik melihat majikannya yang kini terhuyung dan bersandar pada dinding sebagai tumpuan. "Anda tidak apa-apa, Nyonya?" "Tidak apa-apa, Bik. Aku hanya lelah." "Kalau begitu Nyonya istirahat dulu dan biar Bibik yang kasih tahu Tuan kalau nyonya tak bisa ke bawah," ucap Bi Imah perhatian. Baru saja pelayan wanita yang sudah berumur kepala empat itu hendak beranjak, Leya sudah lebih dulu menahan lengannya. "Aku audah bilang aku tidak apa-apa, Bik. Tak perlu memanggil siapa pun. Oh ya, Bik. Selama beberapa hari aku pergi apa ada kurir yang mengantarkan paket ke sini?" Leya sengaja membuat pertanyaan bohong untuk mencari tahu apa saja yang terjadi di rumahnya selama dia tak ada. "Saya tidak tahu Nyonya. Kan selama nyonya pergi keluar kota, saya kan pulang kampung juga." "Coba tanyakan sama satpam atau tukang kebun?" cecar Leya. "Saya yakin mereka juga tak tahu Nyonya karena mereka juga libur seperti saya." Aku tersentak kaget. "Semuanya libur? Kenapa?" "Perintah Tuan seperti itu nyonya, karena katanya selama nyonya tak ada, semua karyawan harus libur," jawab Bi Imah. Senyum tipis terbit di bibir Leya. Dia mengancungi jempol keberanian Abram mengkhianatinya. Bahkan hingga di atas peraduan mereka. "Panggil Mang Nanang dan yang lainnya, Bi! Suruh keluarkan ranjang ini!" "Loh kenapa, Nya? Ranjangnya kan masih bagus dan enak dipakai?" "Aku mau ganti suasana baru. Cepat panggilkan, Bik! Terserah kasur itu mau di bawa ke mana. Bakar sekalipun juga gak masalah," ucap Leya tak perduli. Leya menghubungi seseorang di ponselnya. Dia memesan sebuah ranjang baru sebagai pengganti ranjangnya yang masih bagus itu. Semua itu dia lakukan karena dia jijik harus tidur di atas rajang yang sudah dipakai pasangan pez1n4 itu. Bi Imah tetap menjalankan perintahnya walau dengan perasaan bingung atas sikap majikannya yang sedikit aneh menurutnya. Abram dan Arsya kaget melihat ranjang keluar dari kamar atas. Mata Abram pun melebar melihat kamar mereka kini tampak kosong dan lapang. "Kenapa dengan kasurnya?" tanya Abram menghampiri istrinya yang ada di kamar tamu tak jauh dari kamar utama milik mereka. "Aku ganti dengan yang baru. Aku pengen suasana baru, Mas. Dan untuk sementara sampai kasur baru datang, kita akan tidur di kamar ini," jelas Leya yang baru saja habis mandi. Dia pun duduk di pinggir ranjang dengan handuk kecil mengeringkan rambutnya yang basah. Senyum simpul terukur di bibirnya melihat kebingungan di wajah suaminya itu. "Oh, ya Mas. Aku tadi mendapat kabar dari kantor, sepertinya lusa aku akan pergi ke luar kota lagi. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu tak apa-apa kan?" Abram tersentak kaget. "Kamu pergi lagi, Sayang? Kamu kan baru saja pulang dan lusa akan pergi lagi?" "Mau bagaimana lagi, Mas. Kan kamu tahu sendiri posisi aku di perusahaan sekarang mengharuskan aku menghendle semuanya. Aku sebenarnya capek seperti ini. Apa aku resign saja dari pekerjaan ya, Mas. Kan ada kamu yang gantiin aku untuk membiayai hidup kita. Aku ingin di rumah saja sambil ngurus anak kuta nanti," ucap Leya yang lagi-lagi membuat Abram tersentak. Lelaki berambut ikal itu duduk di samping istrinya. "Jangan resign dulu, Sayang. Kamu tahu kan usaha aku belum berkembang. Mana bisa untuk membiayai hidup kita nanti dan kebetulan sekarang aku mau pinjam uang dua ratus juta sama kamu untuk pengembangan usaha," ucap Abram yang kini membuat Leya tersentak. Abram memiliki usaha konveksi yang mulai dia rintis saat mereka baru saja menikah dan semua modal usaha dia dapatkan dari Leya. Usahanya cukup besar dan maju setahun belakangan ini, tetapi tak pernah sekalipun Leya mencicipi uang dari hasil usahanya itu. "Modal lagi? Memangnya kemana uang dari hasil usahamu selama ini?" Leya menatap wajah Abram, lelaki itu tampak mengelak dan mengedarkan pandangan ke sembarang arah. Tak berani menatap mata istrinya membuat Leya yakin jika suaminya tengah berniat menipunya lagi. "Oh, itu ... semua keuntungan konveksi Mas gunakan untuk ikut investasi bisnis baru. Dan memang Mas belum sempat bilang sama kamu, tapi kamu jangan khawatir sayang, kalau bisnis Mas yang satu ini juga berhasil, kamu bisa langsung berhenti dari perusahaan itu. Di rumah saja mengurus anak-anak kita nanti, tapi sebelum itu pinjamkan Mas modal terlebih dahulu," rayu Abram. Leya hapal di luar kepala dan paling ujung-ujungnya uang yang dia berikan akan lenyap begitu saja bagai angin yang mengurai. "Maaf Mas, tapi untuk saat ini aku tak punya dana lebih untuk pengembangan usahamu itu." "Aku tak sudi memberikan sepeserpun uangku padamu lagi dan kamu tunggu saja, Mas. Hidupmu dan gundikmu itu akan aku buat menderita!" lanjut Leya di dalam hatinya.“Katakan dengan jelas siapa kamu?” tanya Nadira tegas. Mata cokelatnya menatap lurus pada wanita di hapannya. Mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan, di mana aroma kopi panggang menebar hangat di udara. Suasana kafe ramai, tapi bagi Nadira, dunia seperti menyempit hanya pada satu titik: sosok perempuan bernama Arsya. Kepalanya masih berdenyut sejak pagi, tapi wangi kopi membantu sedikit menenangkan pikirannya. Ia tak tahu mengapa dirinya mau menuruti ajakan wanita itu untuk bertemu — mungkin karena rasa penasaran atau mungkin karena bisikan samar dari masa lalu yang belum sempat ia pahami. “Kau benar-benar tak ingat diriku?” tanya Arsya perlahan. Suaranya serak tapi lembut, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kesedihan pura-pura. Nadira menghela napas. “Aku tak ingat karena kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya,” ucapnya tenang. “Dan aku t
Mobil hitam itu berhenti beberapa meter dari gerbang rumah Nadira. Mesin dimatikan dan kaca pintu di turunkan sepertiga. Wajah Nirwan tampak tegang. Kedua tangannya menggenggam erat setir, matanya tak lepas dari halaman rumah di seberang sana. Tak ada yang terlihat selain balkon dari lantai dua dan juga gerbang yang sedikit terbuka.Pintu gerbang yang terbuka sedikit kini perlahan terbuka seluruhnya oleh seorang satpam. Di susul munculnya mobil hitam dengan jenis dan seri yang berbeda dari miliknya. Alis Nirwan berkerut tajam. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang kini perlahan keluar dari halaman rumah Nadira. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, memberi kesempatan bagi satpam untuk menutup pintu pagar kembali. Kaca yang terbuka lebar membuat Nirwan bisa melihat dengan jelas sosok lelaki di balik kemudi itu."Siapa pria itu?"Dari jarak itu, Nirwan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum. Senyum tenang yang entah kenapa membuat darahnya berdesir cepat
“Van.” Suara Nadira nyaris berbisik. “Ini … apa?” Mereka berdua seperti tengah memainkan drama romantis yang selalu muncul dalam sebuah sinetron romansa. Di mana sang wanita pura-pura terkejut dengan hadiah kejutan dari sang pria. Lalu bertanya seakan tak tahu benda apa yang tengah di pegang seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Devan tersenyum tipis, tapi matanya jelas menampakkan gugup yang tak biasa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol laju jantung yang berdetak begitu kencang. Ia menghela napas pelan sebelum berkata. “Aku tadinya mau ngasih ini malam nanti, tapi rasanya ... gak ada waktu yang benar-benar tepat selain sekarang.” Devan mengambil cincin itu perlahan, memegangnya di antara ujung jari, siap memasangkan benda bulat kecil itu ke dalam jari manis wanita yang telah lama ia ingin miliki. “Nadira, aku tahu mungkin saat ini bukan momen paling tenang buatmu. Tapi aku juga tahu ... aku gak mau menunda-nunda lagi
Pagi itu udara terasa dingin, meski sinar matahari sudah mulai menembus tirai jendela ruang makan. Nadira duduk diam di kursinya, menatap piring-piring penuh hidangan yang kini terasa hambar di depan mata. Nasi hangat, telur dadar, sup ayam, perkedel kentang dan sambal—semuanya tersaji sempurna, tapi tak ada rasa lapar yang tersisa. Kepalanya masih penuh dengan bayangan semalam. Percakapan setengah jadi, emosi yang tertahan dan tanda tanya yang terus mengusik hatinya. Ia berharap setelah kembali ke rumah, semua misteri itu akan terjawab tuntas. Namun kenyataan malah berbalik. Sartika, ibunya, justru tak ada di rumah. “Bu Sartika mendadak berangkat ke Singapura, Nona,” kata pelayan malam itu. “Katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.” Nadira hanya bisa mengangguk kala itu, meski hatinya menolak percaya. Urusan apa yang begitu mendesak sampai ibunya pergi tanpa sepatah kata? Dan kini, pagi yang seharusnya tenan
Silvia memeluk lututnya di sudut sofa. Tubuhnya bergetar dan jantungan terasa melompat setiap kali ketukan keras di pintu itu terdengar. Jessy kembali datang ke rumahnya, sepertinya wanita itu tak berhenti mencari suaminya. Langkah-langkah Jessy di teras terdengar jelas, berat dan penuh tekad. Silvia menahan napas, berharap suara itu menjauh. Tapi tidak—ketukan itu kembali, lebih keras, lebih mendesak. Matanya mengintip dari satu jendela ke jendela yang lain, mencari celah diantara tirai itu agar bisa menembus ruangan gelap tersebut. Tak ada sedikit pun pencahayaan, semuanya gelap seperti langit yang mulai menghitam. “Silvia, aku tahu kau di dalam!” suara Jessy menembus dinding, tajam dan penuh luka. “Aku yakin suamiku terakhir bersamamu. Aku tak akan pergi sampai kau buka pintu! Atau aku laporkan saja dirimu ke polisi." Tubuh Silvia tambah bergetar hebat, bulir-bulir keringat semakin deras mengucur setelah mendengar kata "polisi" yang bergema
Nadira menatap layar ponsel sebentar. Nama yang muncul membuat alisnya sedikit terangkat kemudian mengulas senyuman tipis. Aura wajahnya bersinar terang seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Matanya kembali menatap Nirwan. Raut wajah lelaki itu justru berubah terbalik seratus delapan puluh derajat darinya. Datar dan susah untuk ditebak."Boleh saya permisi untuk mengangkat telpon ini sebentar?" pamit Nadira pelan sebelum ia beranjak menyingkir keluar cafe. Sebuah ruangan panjang yang ada di samping, memiliki sebuah kolam ikan kecil dengan pancuran air di atasnya. Di sanalah Nadira kini berada, mengangkat panggilan seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan melihat namanya saja. "Halo, Van. Ada apa?" sapanya hangat. Tangan Nadira perlahan menyentuh sekuntum bunga mawar merah dalam vas yang dirangkai dengan bunga lili putih dan baby bright. Tak hanya terlihat indah tetapi juga menyegarkan mata. Nirwan yang duduk di se







