LOGIN~ KEBERANIAN BERMAIN API ~
"Sialan! Brengsek! Katanya tidak cinta tapi kenapa memasang foto profil istrinya itu di seluruh sosial media miliknya. Maksudnya apa? Mau mempermainkan aku?" gerutu Arsya di depan meja hiasnya. Kedua tanganny terkepal di atas meja. Dia baru saja berselancar di sosial media dan melihat postingan Leya dan juga Abram yang lewat di beranda sosial medianya. Dadanya bergemuruh melihat Abram mengganti foto profilnya dengan foto istri sahnya yang tengah duduk serta tertawa mesra bersama. Tak lupa terdapat caption manis yang Abram sematkan semakin membakar hatinya. "Sepertinya kamu menikmati waktu liburan bersama istrimu itu, Mas. Kalimat manis laki-laki tak ada yang dapat di percaya." Brak! Prang! Arsya mendorong semua peralatan kosmetik yang ada di atas meja riasnya itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Di merasa iri dengan kemesraan orang lain yang baru saja dia lihat. Arsya dan Leya adalah teman baik jaman smp dulu. Leya yang berasal dari keluarga berada termasuk gadis yang baik, dia kerap membagi apa pun yang dia miliki pada Arsya yang berasal dari keluarga pas-pasan. Arsya juga kerap meminjam pakaian Leya ataupun tas dan sepatu agar dinilai mampu oleh teman-temannya. Orang tuanya hanyalah pegawai golongan rendah di mana gaji yang dimiliki selalu habis setiap akhir bulan untuk makan. Berkat pakaian dan perlengkapan yang sering dia pinjam dari Leya menjadikan dirinya terlihat modis dan cantik hingga mampu memikat Nirwan—suaminya saat ini yang merupakan seorang pengusaha tambang batu bara. Kehidupan Arsya berubah drastis. Dia bisa memiliki apa pun yang dia mau tanpa harus susah-susah bekerja seperti sahabatnya itu. Namun kebahagiaan itu hanya sementara. Karena sifat Nirwan yang terlalu fokus pada pekerjaannya dan tak memiliki waktu untuk dirinya. Tangannya dengan cepat membuka layar ponsel. Menekan panggilan pada sebuah nomor. Hatinya kembali geram saat panggilan telpon itu tak kunjung tersambung. Setelah panggilan ke tiga barulah panggilannya terangkat. "Kemana saja kamu, Mas? Kenapa telponku baru diangkat?" tanya Arsya dengan suara manja yang menjadi ciri khasnya. "Kerja, memangnya ada apa? Tumben?" sahut suara bass dari dalam ponsel. Suara itu terdengar acuh. "Mas, aku ingin liburan berdua. Selama menikah kamu jarang ngajak aku liburan, besok kita liburan ke luar kota ya!" pintanya langsung tanpa berbasa-basi. "Kamu bisa pergi dengan teman-temanmu. Aku akan mentransfer uang yang kamu butuhkan." Arsya berdecak kesal. Dia memiliki semuanya tetapi entah kenapa itu tak cukup untuk mengisi kekosongan hatinya. "Aku gak butuh uang, aku mau pergi bersama kamu. Apaa gak bisa meluangkan waktu untukku sehari saja?" rengek Arsya semakin menjadi. Dia tak terima penolakan yang suaminya itu berikan. "Mana bisa! Aku masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Pergi sama teman-temanmu saja. Oh ya sayang aku harus pergi meeting sekarang juga. Bay bay!" Sambungan telpon terputus seketika tanpa menunggu satu patah atau dua kalimat balasan darinya. "Lagi-lagi alasan kerja. Kerja! Kerja! Dan kerja! Apa dia tak sadar jika aku juga butuh perhatian dan kehadirannya di sisiku saat ini!" sungut Leya begitu kesal. Lelaki tinggi hitam manis itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hanya memanjakan Arsya dengan uangnya saja, membuat Arsya akhirnya tergoda dengan Bram yang begitu baik serta pengertian menurutnya. Arsha kembali menatap ponselnya. Tangannya dengan cepat mengetik sesuatu yang langsung dia kirimkan pada seseorang yang entah ada di mana. "Aku tak mau tahu, kamu harus datang ke sini, Mas! Enak saja kamu liburan dengannya di sana sedangkan aku di rumah seorang diri!" ~ ~ ~ Leya menatap curiga pada suaminya yang tampak fokus memainkan ponsel yang ada di tangannya itu. Wajah suaminya tampak pucat dan juga gelisah. "Ada apa, Mas? Kamu sakit?" tanya Leya berbasa-basi. Dia bahkan bisa menebak siapa gerangan yang tengah berbalas pesan dengan suaminya saat ini. Sontak Abram memijik pelipisnya dengan pelan. Seakan Tuhan sedang merestuinya hari ini. Dia yang bingung mencari-cari alasan justru alasan itu sendiri yang datang padanya. "Iya, Sayang. Tiba-tiba kepalaku pusing. Sebaiknya kita pulang sekarang saja ya. Jalan-jaalannya kita sambung besok saja, kan masih banyak waktu untuk kita jalan-jalan berdua." "Tapi kita baru saja sampai dan duduk di kafe ini. Masih ada tempat yang mau aku kunjungi," protes Leya mencoba untuk egois. Toh dia yakin suaminya itu tak benar-benar sedang sakit. "Tolonglah! Apa kamu tega melihat Mas menahan sakit sedangkan kamu bersenang-senang sendiri!" balas Abram penekanan dan menggiring makna jika Leya egois. Leya pun akhirnya mengalah. Mereka berdua pulang cepat di luar dari rencana. Sesampainya di rumah, dengan wajah asam Leya memasuki kamar mereka berdua. Baru setengah jam mereka berdua di rumah. Ponsel di saku celana Abram berbunyi tepat saat Leya keluar dari kamar mandi. "Apa! Kok bisa kalian selalai itu? Kalau sudah begini, siapa yang mau bertanggung jawab!" hardik Abram penuh emosi. Leya yang tersentak kaget, dia memicingkan matanya menatap ke arah sang suami yang tengah duduk pada sofa sudut kamar. "Ada apa, Mas?" tanya Leya langsung setelah suaminya selesai menelpon tentunya. Dia yang sudah mengenakan pakaian lengkap menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. "Mas harus ke ruko sekarang, Sayang. Ada masalah dengan bahan yang dipesan." "Tapi bukannya kamu lagi sakit, Mas?" "Kalau Mas gak pergi akan semakin sakit lagi, Dek. Kerugian yang akan Mas dapatkan sangat besar. Jadi Mas pergi dulu, ya! Kamu gak usah menunggu Mas pulang!" Abram bergegas mengambil kunci mobil miliknya di atas nakas. Hati Leya berdetak tak karuan. Leya pun juga bergegas meraih kunci mobil miliknya dan melempar handuk kecil yang menutupi kepalanya itu sembarang arah. Dia membuntuti mobil suaminya dari belakang. Mengatur jarak aman agar tak mudah ketahuan. "Ini bukan jalan menuju ruko. Mau kemana dia?" gumam Leya yang heran dengan rute yang dituju Abram. Mobil itu kini berjalan menuju pinggiran kota, melewati pinggiran pantai yang membentang panjang. Sepanjang jalan sudah beberapa banyak hotel dan wisma yang Leya temui semakin membuat hatinya yakin jika suaminya tengah membohonginya saat ini. Akhirnya mobil Abram memasuki sebuah penginapan. Leya masih terus mengikuti diam-diam hingga dia melihat Abram memasuki sebuah kamar yang setiap kamarnya dibuat dengan konsep homestay, rumah panggung dari kayu yang berjarak cukup jauh dari satu kamar ke kamar yang lain. "Oh jadi di sini kamu mengurus pekerjaanmu, Mas. Dasar pembohong!" ucap Leya geram dengan kedua tangan mengepal.“Katakan dengan jelas siapa kamu?” tanya Nadira tegas. Mata cokelatnya menatap lurus pada wanita di hapannya. Mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan, di mana aroma kopi panggang menebar hangat di udara. Suasana kafe ramai, tapi bagi Nadira, dunia seperti menyempit hanya pada satu titik: sosok perempuan bernama Arsya. Kepalanya masih berdenyut sejak pagi, tapi wangi kopi membantu sedikit menenangkan pikirannya. Ia tak tahu mengapa dirinya mau menuruti ajakan wanita itu untuk bertemu — mungkin karena rasa penasaran atau mungkin karena bisikan samar dari masa lalu yang belum sempat ia pahami. “Kau benar-benar tak ingat diriku?” tanya Arsya perlahan. Suaranya serak tapi lembut, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kesedihan pura-pura. Nadira menghela napas. “Aku tak ingat karena kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya,” ucapnya tenang. “Dan aku t
Mobil hitam itu berhenti beberapa meter dari gerbang rumah Nadira. Mesin dimatikan dan kaca pintu di turunkan sepertiga. Wajah Nirwan tampak tegang. Kedua tangannya menggenggam erat setir, matanya tak lepas dari halaman rumah di seberang sana. Tak ada yang terlihat selain balkon dari lantai dua dan juga gerbang yang sedikit terbuka.Pintu gerbang yang terbuka sedikit kini perlahan terbuka seluruhnya oleh seorang satpam. Di susul munculnya mobil hitam dengan jenis dan seri yang berbeda dari miliknya. Alis Nirwan berkerut tajam. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang kini perlahan keluar dari halaman rumah Nadira. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, memberi kesempatan bagi satpam untuk menutup pintu pagar kembali. Kaca yang terbuka lebar membuat Nirwan bisa melihat dengan jelas sosok lelaki di balik kemudi itu."Siapa pria itu?"Dari jarak itu, Nirwan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum. Senyum tenang yang entah kenapa membuat darahnya berdesir cepat
“Van.” Suara Nadira nyaris berbisik. “Ini … apa?” Mereka berdua seperti tengah memainkan drama romantis yang selalu muncul dalam sebuah sinetron romansa. Di mana sang wanita pura-pura terkejut dengan hadiah kejutan dari sang pria. Lalu bertanya seakan tak tahu benda apa yang tengah di pegang seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Devan tersenyum tipis, tapi matanya jelas menampakkan gugup yang tak biasa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol laju jantung yang berdetak begitu kencang. Ia menghela napas pelan sebelum berkata. “Aku tadinya mau ngasih ini malam nanti, tapi rasanya ... gak ada waktu yang benar-benar tepat selain sekarang.” Devan mengambil cincin itu perlahan, memegangnya di antara ujung jari, siap memasangkan benda bulat kecil itu ke dalam jari manis wanita yang telah lama ia ingin miliki. “Nadira, aku tahu mungkin saat ini bukan momen paling tenang buatmu. Tapi aku juga tahu ... aku gak mau menunda-nunda lagi
Pagi itu udara terasa dingin, meski sinar matahari sudah mulai menembus tirai jendela ruang makan. Nadira duduk diam di kursinya, menatap piring-piring penuh hidangan yang kini terasa hambar di depan mata. Nasi hangat, telur dadar, sup ayam, perkedel kentang dan sambal—semuanya tersaji sempurna, tapi tak ada rasa lapar yang tersisa. Kepalanya masih penuh dengan bayangan semalam. Percakapan setengah jadi, emosi yang tertahan dan tanda tanya yang terus mengusik hatinya. Ia berharap setelah kembali ke rumah, semua misteri itu akan terjawab tuntas. Namun kenyataan malah berbalik. Sartika, ibunya, justru tak ada di rumah. “Bu Sartika mendadak berangkat ke Singapura, Nona,” kata pelayan malam itu. “Katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.” Nadira hanya bisa mengangguk kala itu, meski hatinya menolak percaya. Urusan apa yang begitu mendesak sampai ibunya pergi tanpa sepatah kata? Dan kini, pagi yang seharusnya tenan
Silvia memeluk lututnya di sudut sofa. Tubuhnya bergetar dan jantungan terasa melompat setiap kali ketukan keras di pintu itu terdengar. Jessy kembali datang ke rumahnya, sepertinya wanita itu tak berhenti mencari suaminya. Langkah-langkah Jessy di teras terdengar jelas, berat dan penuh tekad. Silvia menahan napas, berharap suara itu menjauh. Tapi tidak—ketukan itu kembali, lebih keras, lebih mendesak. Matanya mengintip dari satu jendela ke jendela yang lain, mencari celah diantara tirai itu agar bisa menembus ruangan gelap tersebut. Tak ada sedikit pun pencahayaan, semuanya gelap seperti langit yang mulai menghitam. “Silvia, aku tahu kau di dalam!” suara Jessy menembus dinding, tajam dan penuh luka. “Aku yakin suamiku terakhir bersamamu. Aku tak akan pergi sampai kau buka pintu! Atau aku laporkan saja dirimu ke polisi." Tubuh Silvia tambah bergetar hebat, bulir-bulir keringat semakin deras mengucur setelah mendengar kata "polisi" yang bergema
Nadira menatap layar ponsel sebentar. Nama yang muncul membuat alisnya sedikit terangkat kemudian mengulas senyuman tipis. Aura wajahnya bersinar terang seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Matanya kembali menatap Nirwan. Raut wajah lelaki itu justru berubah terbalik seratus delapan puluh derajat darinya. Datar dan susah untuk ditebak."Boleh saya permisi untuk mengangkat telpon ini sebentar?" pamit Nadira pelan sebelum ia beranjak menyingkir keluar cafe. Sebuah ruangan panjang yang ada di samping, memiliki sebuah kolam ikan kecil dengan pancuran air di atasnya. Di sanalah Nadira kini berada, mengangkat panggilan seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan melihat namanya saja. "Halo, Van. Ada apa?" sapanya hangat. Tangan Nadira perlahan menyentuh sekuntum bunga mawar merah dalam vas yang dirangkai dengan bunga lili putih dan baby bright. Tak hanya terlihat indah tetapi juga menyegarkan mata. Nirwan yang duduk di se







