Nirwan kembali mengusap wajahnya kasar untuk kedua kalinya sebelum akhirnya berdiri dari kursi, berjalan mendekati Leya dengan langkah mantap namun sarat dengan kecemasan. "Dengar, aku tahu kamu tak akan langsung percaya padaku dan mungkin saat ini tengah membenciku. Tapi demi Tuhan, aku tidak pernah melakukan itu padanya."Jemari Leya refleks mencengkeram ujung kursinya. "Kalau begitu kenapa dia bisa mengandung anakmu!" Suaranya sedikit bergetar, campuran antara marah dan terluka.Nirwan mengepalkan tangannya. Ada ketegangan yang tampak jelas di wajahnya, sesuatu yang selama ini dia tahan. "Itu semua bohong!" Nirwan membuang napas, matanya menatap Leya dengan sorot penuh kejujuran. "Silvia bukan seseorang yang aku pilih. Aku bahkan tidak pernah ingin menikahinya. Walau pernikahan kita berawal dari sebuah kontrak, aku tak akan mengkhianatimu dengan menyentuhnya."Leya terkesiap, tubuhnya menegang. Kata-kata Nirwan membelah udara di antara mereka, tajam dan penuh kepastian. Bola mat
Leya duduk terdiam mendengarkan omelan pria berambut klimis di hadapannya. Pria berumur 40 tahun itu terus saja menggerutu tentang ketidakhadirannya selama tiga hari walau sudah memberi kabar."Maaf, Pak. Tapi saya belum mengambil cuti tahunan saya tahun ini. Jadi saya rasa tak ada masalah dengan cuti tiga hari yang saya lakukan," jawab Leya setenang mungkin."Tapi masalahnya, proyek pembangunan gedung YX itu tanggung jawabmu.""Saya tahu, Pak. Dan saya tidak lepas dari tanggung jawab. Saya hanya cuti tiga hari bukannya kabur melarikan diri," tukas Leya yang mulai kesal. Dia merasa atasannya terlalu lebay.Leya melihat pria berambut klimis itu mengeratkan rahangnya. Dia tak peduli jika kelancangannya barusan akan membuatnya dipecat saat itu juga."Sekarang kamu pergi ke PT. Global, cek progres pembangunan itu sudah sampai mana dan jika ada kendala laporkan pada saya."Leya menggigit bibir bawahnya. Pergi ke perusahaan itu sama saja dia dengan bertemu dengan Nirwan. Dia tahu pembanguna
Leya duduk di atas closet sembari memandang sendu tespek di tangannya. Dua garis merah tercetak jelas menjadi jawaban atas kondisinya beberapa hari belakangan ini. Pandangan mata Leya yang sendu kini beralih pada perutnya, bersamaan dengan itu jemari lentiknya pun mengusap dengan lembut. Pikirannya tiba-tiba blank dan tertuju pada Nirwan. "Bukannya aku menolak kehadiranmu, hanya saja keadaan ini begitu rumit untuk dijelaskan. Jika suatu hari nanti kamu hanya hidup bersamaku tanpa seorang Papa, Mama mohon jangan marah pada Mama ya, Nak. Mama janji akan membuat hidupmu bahagia dan tanpa sedikitpun kekurangan."Dia bingung harus berbuat apa. Dia tak pernah menyangka akan memiliki seorang anak dari pernikahannya kali ini. Kenyataan dia harus menyembunyikan kehamilannya dan membiarkan anaknya lahir tanpa seorang ayah cukup mengiris hati Leya saat ini. Leya membuang tespek yang ada di tangan ke tong sampah. Dia bergegas membersihkan diri kemudian setelah mengenakan pakaian dia pun berjal
Cindy berdiri kaku di depan meja atasan, merasakan setiap detik yang menegangkan seperti sebuah pukulan kuat di dinding. Suara lelaki paruh baya berambut klimis itu menggema di ruangan kecil tersebut dengan nada tajam, frustrasi, bercampur dengan tekanan dari pekerjaan yang menumpuk."Kenapa anak itu akhir-akhir ini tampak tak fokus pada pekerjaan. Selalu saba libur dan hari ini, lagi-lagi dia tidak masuk. Dia pikir perusahaan ini punya bapaknya. Kamu sebagai teman kenapa tidak tahu dia di mana?""Mana saya tahu, Pak."Cindy menghela napas pendek. Dia hanya seorang teman, mana mungkin dia bisa tahu kemana gerak langkah sahabatnya seperti bayangan. "Seharusnya kamu tahu, dong!""Lah kok Saya? Seharusnya Bapak sebagai atasan yang harus lebih tahu," balas Cindy kesal. Ingin sekali dirinya menjitak kening licin lelaki berumur empat puluh tahun di hadapannya itu. Terkadang pria paruh baya itu tak hanya menjengkelkan tetapi juga aneh.Selama ini Cindy selalu berusaha menghindari pertemuan
Pagi-pagi sekali Leya sudah kembali siap dengan stelan kerjanya. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi apa pun, sementara di dalam hati tengah bergejolak dengan segala rasa yang berkecamuk. Dia marah tetapi mulutnya tak mampu untuk meluapkan. Semalaman dia menunggu kepulangan Nirwan untuk menuntut penjelasan. Namun tak hanya ponselnya yang tak dapat dihubungi, sosok tubuh tinggi tegap itu pun tak kunjung pulang menampakkan batang hidungnya. "Nyonya mau sarapan? Biar saya siapkan," sapa Bik Sari. Sebagai kepala asisten rumah tangga wanita paruh baya itu selalu siap siaga melayani tuannya. "Di mana Mama, Bi? Tumben jam segini belum keluar dari kamar?" tanya Leya. Sedari tadi dia memperhatikan suasana rumah yang tampak lenggang, hanya ada beberapa pelayan yang sibuk berlalu lalang. Bahkan wajah Silvia pun tak tampak di matanya. Sebenarnya Leya senang tak bertemu dengan wanita itu tetapi tetap saja terasa ada yang ganjil di hatinya."Loh, nyonya tidak tahu kalau Nyonya besar masuk ruma
"Siapa yang memberimu izin untuk mengambil perhiasan dan juga mencoba semua pakaianku?"Silvia berdiri dengan angkuh tanpa tahu rasa malu."Aku tak perlu izin untuk mengambil apa pun yang aku mau. Semua yang kamu miliki ini akan menjadi milikku.""Apa maksudmu?"Kening putih itu berkerut dalam, tengah mengartikan ucapan lawan bicara yang terdengar mengganjal hatinya. Apa yang mendorong wanita itu menjadi begitu berani menggeledah isi lemarinya? Bahkan saat sudah ketahuan pun Silvia bukannya meminta maaf, justru bersikap angkuh seakan dia juga memiliki hak atas apa yang Leya miliki saat ini.Pandangan mata Leya beralih pada tangan kecil Silvia yang mengusap perut datarnya.Otak Leya berusaha berpikir keras, muncul sebuah jawaban yang membuatnya tercekat."Kamu hamil?" tanya Leya memastikan. Senyum lebar tergambar di bibir Silvia membuat hati Leya tercubit. Ada perasaan nyeri yang dia rasakan."Iya, aku hamil," katanya menegaskan, suaranya penuh percaya diri. "Dan ayah dari anakku adala