Share

Bab. 8

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-11-18 17:27:26

Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos.

"Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel.

Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari.

"Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."

Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal.

"Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."

Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya.

"Lepaskan aku! Aku masih istrinya yang sah dan kamu tak punya hak mengusirku!" sergah Arsya semakin naik pitam. Bagaimana mungkin dia di larang masuk ke rumahnya sendiri.

Satpam bertubuh tinggi besar itu tetap kekeuh menahan tubuh Arsya hingga wanita itu terdorong beberapa langkah ke belakang.

"Maafkan saya Nyonya. Tapi ini perintah dari Tuan!" Satpam itu kembali masuk melalui pintu samping dan langsung mengunci pintu itu rapat-rapat.

Arsya semakin mengamuk. Dia menggedor-gedor pintu besi itu kuat, mulutnya berteriak memaki satpam tersebut dan memerintahkan untuk membukanya walau tak digubris.

Untuk beberapa saat dirinya menjadi tontonan warga sekitaran perumahan elit itu. Nafas Arsya tersengal-sengal dengan keringat yang mulai muncul di pelipisnya, dia pun terdiam untuk menetralkan nafasnya. Nyeri di tangan akibat memukul pintu besi itupun mulai terasa.

Tak ingin terus menjadi tontonan, wanita berambut panjang itu pun memutuskan untuk pergi. Tanpa bantuan siapa pun, dia terpaksa memasukkan koper-koper miliknya ke dalam mobil.

Arsya tak tahu harus pergi kemana. Dia mengendarai mobilnya dengan pikiran yang menerawang.

"Kenapa bisa ketahuan? Padahal selama ini Mas Nirwan tak pernah peduli dengan apa yang aku lakukan, tapi kenapa waktu itu dia bisa ada di penginapan?" Arsya berpikir keras tentang apa yang sudah terjadi sambil tetap fokus mengendarai mobil putuh miliknya. Mobil yang menjadi hadiah ulang tahun dari suaminya.

"Leya. Aku yakin ini pasti ulah Leya. Ternyata dia tak sebodoh yang aku kira. Dasar wanita licik, lihat saja nanti ... aku akan membuatmu menangis darah dan bersujud di bawah kakiku," ujar Arsya penuh dendam.

Puas berkeliling tanpa tujuan, perutnya pun mulai keroncongan. Arsya pun memutuskan pergi ke suatu tempat untuk mengisi lambungnya yang kosong.

~ ~ ~

"Maaf, Pak. Mesin obrasnya rusak," lapor seorang pria muda pada Abram. Abram yang tengah mencatat pembukuan pun menoleh dengan wajah datarnya.

"Rusak? Kok bisa, bukannya mesin-mesin itu baru saja di ganti dengan mesin yang baru 4 bulan yang lalu."

"Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya di perintahkan oleh bagian produksi untuk menyampaikan itu saja. Soalnya tanpa mesin obras itu kita tidak bisa melanjutkan pekerjaan. Kaos olahraga SD XX minta seragam itu selesai dua minggu lagi," jawab pemuda itu segan.

"Dimana Malvin?"

"Pak Malvin sudah satu bulan ini jarang datang ke sini, Pak. Dan hampir satu minggu ini tak datang sama sekali."

Abram tersentak kaget mendengarnya. Malvin adalah asistennya yang dia tugasi khusus untuk mengelola konveksi tersebut. Semua hal dari bahan hingga pemasaran Malvinlah yang pegang, semetara dirinya hanya mengontrol lewat ponsel saja.

"Apa? Apa dia tak bilang kemana dan ada urusan apa?" tanya Abram panik.

Pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Abram terdiam sesaat dengan jantung yang kembali memompa dengan cepat. Perasaannya tiba-tiba tak enak.

"Keluarlah!" usirnya. Abram mengusap wajahnya yang kusut. Sudah dua hari dia tak bisa pulang ke rumah dan menginap di ruko. Tak hanya panas tetapi juga banyak nyamuk akibat tumpukan kain di mana-mana membuatnya tak bisa tidur dengan nyaman.

Abram bergegas menelpon Malvin yang sudah tak dapat dia hubungi selama dua hari. Dirinya sempat merasa aneh tetapi mencoba berpikir positif. Namun setelah mendengar penjelasan karyawannya tadi, timbul rasa was-was di hatinya.

"Tidak aktif lagi. Breng~sek! Hampir semua modal dan keuangan konveksi ini aku pasrahkan padanya untuk mengatur. Jika dia lari lalu bagaimana dengan usahaku?" Abram panik.

Dia terus menghubungi nomor itu sambung menyambung tapi tak ada satupun panggilannya yang terhubung.

Di tempat yang berbeda ada sosok yang sedang mengalami nasib sama dengan Abram. Arsya yang baru saja selesai makan dan hendak membayar di kagetkan dengan beberapa kartunya yang ditolak.

"Sama, tidak bisa juga Nyonya. Apa ada kartu yang lain?" tanya pelayan itu pada Arsya.

Pelayan itu tampak mulai jengah dengan sikap Arsya yang begitu cerewet sedari tadi, namun saat pembayaran wajah judes itu berubah pasi seketika.

"Gak mungkin! Itu sudah kartu yang ke tiga, masa ditolak semua. Pasti mesinnya yang rusak. Aku yakin!" sergah Arsya ngotot. Beberapa pasang mata mulai meemperhatikannya membuatnya malu.

"Sebaiknya anda hubungi saja pihak Bank langsung Nyonya. Mungkin ada kesalahan di kartu Anda. Tagihan ini Anda bayarkan saja dengan cash," ucap pelayan itu tegas. Senyum tipis yang terbit di sudut bibirnya terlihat seperti mengejek dan Arsya tahu itu.

Rasanya ingin sekali dia menampar wajah pelayan yang sudah memandang remeh dirinya. Namun keadaan yang terjadi membuatnya panik hingga tak mampu pikirannya terbagi.

Arsya membuka dompetnya, hanya selembar uang dua puluh ribu serta tiga lembar uang dua ribuan saja yang dia miliki sebagai penunggu dompetnya.

Semenjak menjadi Nyonya muda keluarga Adhitama Mahendra, Arsya terbiasa menggunakan kartu dalam setiap transaksi. Dia tak pernah memiliki banyak uang cash di tangannya kecuali untuk bayar parkir saja.

"Apa Anda bisa membayarnya Nyonya. Kalau tidak-"

"Kamu pikir aku ini wanita yang tak mampu, hah! Jangankan untuk membayar makanan di sini, membeli restoran ini pun aku sanggup!" sahut Arsya cepat dengan mata yang melebar penuh emosi.

Harga dirinya tersentil saat pelayan itu menyinggung dirinya tentang pembayaran.

"Tinggalkan aku dulu! Nanti aku panggil kembali.!"

"Tapi Nyonya-"

"Aku bilang pergi ya pergi!" sergah Arsya kembali. Walau tampak ragu, pelayan itu pun pergi meninggalkan Arsya seorang diri.

"Sekarang bagaimana aku harus membayar semua makanan ini? Ini pasti ulah Mas Nirwan yang membekukan semua kartu kreditku. Sekarang aku harus bagaimana?" gumam Arsya histeris.

Makanan yang sudah masuk dalam tenggorokan terasa ingin keluar kembali. Rasa cemas dan bingung bercampur menjadi satu membuat pikirannya kusut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukar Ranjang   Bab. 85

    Seorang wanita berambut panjang tampak gelisah menatap ponselnya sedari tadi. Panggilan telpon berulang kali ia lakukan, namun tak sekalipun mendapatkan jawaban."Di mana dia?" gumamnya kesal.Langit mulai menggelap, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Suara kendaraan yang lalu-lalang tak mampu mengusir kegelisahan di wajahnya. Ia menggenggam ponsel lebih erat, seolah berharap benda itu bisa memberinya jawaban."Aneh, tak biasanya dia susah dihubungi. Sudah dua hari dia tak menjawab teleponku?"Kegelisahan kini menyelimuti seorang wanita berbaju seksi tersebut. Langkah-langkah kecilnya berputar-putar dalam ruangan kecil itu.Telunjuk rampingnya mengetuk bibir, namun tak seirama dengan detak jantungnya yang semakin tak menentu. Ia berhenti di bawah lampu yang menyala redup, memandangi layar ponsel yang kini hanya menampilkan nomor kontak yang sedari tadi tak dapat dihubunginya.Matanya menatap kosong ke dinding, ke arah jam yang tengah berdetak pelan. Ada sesuatu yang tak beres.

  • Tukar Ranjang   Bab. 84

    "Lepaskan Bintang!" teriak Liliana lantang. Tangannya berusaha meraih bocah lelaki yang kini berada dalam dekapan Silvia. Silvia yang berpenampilan sederhana tersenyum miring, matanya yang dingin berkilat penuh kemenangan. Tubuh kecil Bintang meronta, wajahnya memerah karena tangis yang tertahan. "Jangan coba-coba mendekat, wanita tua!" suara Silvia serak, tapi tegas, seakan setiap katanya menusuk tajam ke udara. Tangannya mencengkeram bahu Bintang lebih erat, membuat bocah itu mengaduh pelan. Liliana melangkah maju, hatinya diguncang antara marah dan tak tega melihat wajah Bintang yang bersimbah air mata dengan tubuh yang gemetar karena ketakutan. "Lepaskan dia! Kau tidak berhak membawanya pergi!" suara Liliana pecah, penuh emosi yang menekan dada. Silvia terkekeh lirih, lalu semakin menarik tubuh Bintang untuk mendekat padanya. "Dia anakku, kenapa aku tidak boleh membawanya pergi?" Bintang m

  • Tukar Ranjang   Bab. 83

    Liliana menatap Nirwan heran, lelaki yang kini tengah duduk bergabung untuk sarapan bersama itu tampak terlihat berbeda. Stelan santai melekat di tubuhnya yang kurus, senyum tipis sesekali terukir di wajah cekungnya. Persis seperti bunga yang baru saja tersiram air segar setelah hampir gersang dan mati. "Kamu tidak kerja hari ini, Nak?" Suara Liliana terdengar lembut."Hari Minggu," sahut Nirwan santai. "Mama tahu sekarang hari Minggu, tapi biasanya hari raya besar pun kamu tak pernah libur. Apa ada yang membuatmu senang?" balas Liliana semakin menyelidik. Bukannya ia tak senang dengan sedikit perubahan putranya yang tiba-tiba tersebut, hanya saja ia sedikit penasaran.Hal apa yang mampu membuat wajah putranya yang begitu suram bisa kembali berseri. Liliana menatap putranya lebih lama, mencoba mencari celah untuk memahami. Ada sesuatu yang berbeda pada sorot mata Nirwan kali ini—lebih terang, meski masih samar, seperti sinar mentari pagi yang malu-malu menembus tirai tipis.Nirwan

  • Tukar Ranjang   Bab. 82

    Sartika menarik napas pelan. Ia meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, lalu menatap putrinya dalam-dalam.“Kadang, apa yang terlihat di luar bisa sangat berbeda dengan kenyataan di dalam, Nak. Dunia bisnis itu keras. Banyak yang terlihat mengagumkan, tapi rapuh di dalam. Bisa jadi dia mengambil risiko yang terlalu besar atau terlalu cepat berekspansi tanpa fondasi yang cukup kuat.”Nadira mengangguk pelan, menyimak setiap kata. Tapi pikirannya tetap berputar pada satu hal ketidakwajaran dari kejatuhan perusahaan tersebut, secepat itu, tanpa tanda-tanda sebelumnya.“Apa kamu sudah cek semua laporan keuangannya? Laporan audit terakhir?” tanya Sartika lebih serius.“Sudah dan di sanalah masalahnya. Laporan keuangan terlihat rapi, terlalu rapi bahkan. Nyaris sempurna. Tapi saat aku minta detail transaksi, ada beberapa dokumen yang belum bisa mereka tunjukkan. Katanya sedang direkap ulang,” jelas Nadira, menekankan nada curiga di akhir kalimatnya.

  • Tukar Ranjang   Bab. 81

    Mentari pagi yang terbit membawa cahayanya yang terasa hangat masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela. Nadira berdiri di balkon menatap ke arah jalan raya, banyak anak-anak yang berlalu-lalang dengan seragam yang melekat di badan. Ada yang jalan santai sambil membaca buku, ada juga yang terlihat berbincang dengan teman jalannya dan ada juga yang tengah berlari seakan sedang dikejar sesuatu. Dering ponsel memanggil dirinya. Nadira mendengus kasar kemudian berbalik memasuki kamar. Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Ia melihat ke layar, melihat nomor siapa yang tengah menelponnya. Senyum di bibirnya seketika terkembang. Satu nomor yang telah ia nantikan sejak kemarin. "Devan," serunya bahagia setelah mengangkat telpon tersebut. Suara tawa terdengar begitu nyaring dari balik telepon. "Nadira, akhirnya kamu angkat juga. Kupikir kamu masih marah," ujar suara di seberang sana, hangat dan sedikit menggoda.

  • Tukar Ranjang   Bab. 80

    Silvia pulang ke rumah dengan hati yang bahagia. Namun senyum di bibirnya seketika surut saat mendapati sosok lelaki berjaket coklat yang masih duduk di atas motor yang terparkir di teras rumahnya. "Ngapain kamu ke sini?" Kesal Silvia. Lelaki yang seharusnya tak lagi muncul dalam hidupnya, tiga bulan ini tiba-tiba hadir seperti parasit yang menghisap darahnya secara perlahan. "Gak perlu galak-galak begitu pada ayah anakmu ini," ujar lelaki itu santai sembari turun dari motornya. Ia mengikuti Silvia dari belakang untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, lelaki itu langsung merampas tas yang Silvia pegang. Tentu saja Silvia tak tinggal diam. Tubuh kecilnya tak menjadi halangan untuk ia melawan. Namun sayang, nyali dan kenyataan tak lah sesuai. Silvia kalah setelah lelaki itu memberi sedikit sentakan hingga tas yang diperebutkan dapat di ambil. Silvia terdiam. Matanya menatap tajam ke arah lelaki itu yang kini membuka tasnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Kembalikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status