Share

Bab. 7

Author: Bunga Peony
last update Huling Na-update: 2024-11-18 17:23:07

Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin.

Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal.

"Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat.

Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut.

Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya.

"Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya.

Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang dilayani banyak pelayan membuat Silvia selalu berangan-angan dipersunting oleh majikannya seperti novel romansa yang sering dia baca.

"Sepertinya mereka bertengkar hebat deh, Mbok. Tak biasanya Tuan muda pulang dengan wajah penuh murka. Dan aku yakin Tuan muda juga mengusir wanita itu dari rumah ini."

"Hust! Hati-hati bicaramu Nduk. Jangan panggil hanya dengan kalimat 'wanita itu' nanti ada yang dengar bisa bahaya. Nyonya muda!" tegur Mbok Darmi khawatir.

Tangannya masih bergerak menyusun pakaian itu dengan rapi. Semua koper yang ada di kamar tersebut sudah diturunkan, ada sekitar dua koper besar dan satu koper tanggung. Tapi masih tak cukup untuk menjadi wadah pakaian Arsya.

"Berapa banyak uang yang dihabiskan perempuan itu untuk membeli semua barang-barang ini? Aku yakin ada masalah dan dia diusir oleh Tuan. Bagaimana kalau aku mengambil sebagian barang-barangnya untuk aku jual," otak Silvia berpikir.

Mata gadis manis dengan lesung pipi itu berbinar menatap  lemari pakaian yang terbuka di hadapannya.

Silvia berbalik mendatangi Mboknya yang sedang berusaha menutup koper yang penuh itu dengan susah payah.

"Mbok, biar aku saja yang membereskan semuanya. Mbok istirahat saja ya!"

"Kamu yakin bisa membereskan semuanya sendirian, Via? Ini banyak sekali loh, nanti kamu membuat kesalahan dan membuat Tuan murka," jawab Mbok Darmi khawatir.

"Memangnya aku buat masalah apa Mbok? Mbok ini suuzhon saja sama anak sendiri. Aku tu kasihan sama Mbok yang pasti capek," ucap Silvia manis.

Dia mengurut-urut kedua bahu wanita yang telah melahirkannya itu agar terasa rileks dan juga tenang.

"Baiklah, putri kecil Mbok sekarang sudah besar dan bisa di andalkan. Mbok akan kembali ke dapur untuk buat makan siang Tuan. Kamu kerjakan yang benar dan jangan bikin  masalah," ucap Mbok Darmi menasehati gadis satu-satunya itu.

Silvia terlonjat girang di dalam hatinya setelah ibunya pergi dari tempat tersebut. Dia kembali menatap lemari yang terbuka itu untuk memilah dan memilih duit yang akan masuk ke dalam rekeningnya nanti.

"Dia tidak begitu cantik tapi kenapa bisa membuat Tuan muda begitu cinta padanya. Aku yakin wanita j4l4n9 itu menggunakan tubuhnya untuk menjerat Tuan muda dulu," gumam Silvia.

Dia terus menghina wanita yang sebentar lagi akan membuatnya tertawa karena nasibnya yang tragism

              ~ ~ ~

"Tuhan memang sangat baik pada hambanya yang terzolimi. Kamu lihat kan Leya, tanpa kamu harus bersusah-susah mencari peluang untuk mendapatkan bukti kejahatan mereka, justru mereka sendiri yang membuka jalan," ucap Asna puas. Matanya memandang hasil dari rekaman yang telah dirinya ambil kemarin.

"Apa kamu lihat bagaimana ekpresi wanita murahan itu. Sangat menyedihkan. Aku yakin saat ini dia pasti mengutuk dirinya sendiri," sambung Asna.

Tak mendapat respon dari saudaranya, Asna pun menoleh. Didapatinya Leya yang tengah menyandarkan kepalanya dengan malas pada sandaran sofa. Leya tampak tak tak memiliki semangat hidup.

"Apa-apaan ini? Seharusnya kamu merayakannya dengan pesta meriah atau makan-makan. Kenapa malah seperti ayam yang tengah menunggu ajal dis3mb3lih. Aku tak suka kamu yang seperti ini!" gerutu Asna.

"Kamu tampak begitu bahagia dengan kehancuran rumah tanggaku, ya?"

Asna menghela napas panjang. "Bukan kehancuran rumah tanggamu, tapi kehancuran mereka yang sudah berhianat padamu."

Leya menegakkan kepalanya. Tak munafik, dia masih merasa sedih dengan apa yang telah terjadi. Serta status janda yang akan disandangnya tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Leya sama seperti wanita di luaran sana. Menginginkan pernikahan sekaali seumur hidup, hidup bahagia bersama suami dan anak-anak mereka nanti.

"Tapi hati ini juga ikut sakit Asna. Ini tak seperti yang aku harapkan."

Asna meletakkan handycam ke atas meja kemudian menggeser pinggulnya mendekat pada Leya. Tangannya memegang bahu adik sepupunya itu.

"Tapi nyatanya inilah yang terjadi. Untuk apa kamu bersedih hati meratapi hubungan yang palsu itu. Aku yakin sejak awal Abram tak mencintaimu, dia hanya memanfaakanmu untuk kepentingan dirinya saja."

"Mungkin kamu benar, tapi tetap saja rasanya tak semudah itu untuk melupakan. Bukan berarti aku masih cinta tetapi lebih keperasaan kecewa saja. Apa kamu tahu Asna, beberapa tahun kami bersama dan aku telah terbiasa dengan kahadirannya di rumah ini. Kini aku harus menyesuaikan diri kembali dengan kepergiannya," jelas Leya. Asna menganggukkan kepala mengerti kemudian menghela napas panjang.

"Sedih, kecewa, kesal dan rindu itu sebenarnya hal yang wajar sih. Tapi sampai kapan kamu akan larut dengan perasaan itu. Waktu terus berjalan dan tak dapat diputar lagi, Leya."

Asna mengeluarkan kotak persegi kecil berwarna putih dari saku celananya. Mengeluarkan gulungan tembakau setinggi kelingking, kemudian menyulutkan ke bibirnya.

Gulungan asap putih mulai terbang ke udara dengam aroma nukotin yang membuat rileks dan berakhir dengan kecanduan.

"Sejak kapan kamu merokok Asna?"

"Sejak hidupku berantakan," jawab Asna singkat. Diusianya yang sudah lewat dari kepala tiga, wanita itu masih betah menyendiri. Menikmati kesedihannya sendiri.

Leya tertawa getir. "Kita saudara kenapa nasibnya sama ya? Sama-sama menyedihkan."

Leya ikut menarik sebatang dari dalam kotak putih yang sudah terbuka. Dia ambil dan menelisik lebih teliti sebelum menggunakannya. Satu hisapan tak membuatnya nyaman. Dia berharap bisa menjadi tenang tapi sakit tenggorokan yang dia rasakan. Leya meletakkan benda itu ke dalam asbak.

Begitu banyak cara untuk mencintai seseorang tapi tak tahu bagaimana cara untuk melupakan seseorang itu dengan mudah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tukar Ranjang   Bab. 92

    “Katakan dengan jelas siapa kamu?” tanya Nadira tegas. Mata cokelatnya menatap lurus pada wanita di hapannya. Mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan, di mana aroma kopi panggang menebar hangat di udara. Suasana kafe ramai, tapi bagi Nadira, dunia seperti menyempit hanya pada satu titik: sosok perempuan bernama Arsya. Kepalanya masih berdenyut sejak pagi, tapi wangi kopi membantu sedikit menenangkan pikirannya. Ia tak tahu mengapa dirinya mau menuruti ajakan wanita itu untuk bertemu — mungkin karena rasa penasaran atau mungkin karena bisikan samar dari masa lalu yang belum sempat ia pahami. “Kau benar-benar tak ingat diriku?” tanya Arsya perlahan. Suaranya serak tapi lembut, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kesedihan pura-pura. Nadira menghela napas. “Aku tak ingat karena kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya,” ucapnya tenang. “Dan aku t

  • Tukar Ranjang   Bab. 91

    Mobil hitam itu berhenti beberapa meter dari gerbang rumah Nadira. Mesin dimatikan dan kaca pintu di turunkan sepertiga. Wajah Nirwan tampak tegang. Kedua tangannya menggenggam erat setir, matanya tak lepas dari halaman rumah di seberang sana. Tak ada yang terlihat selain balkon dari lantai dua dan juga gerbang yang sedikit terbuka.Pintu gerbang yang terbuka sedikit kini perlahan terbuka seluruhnya oleh seorang satpam. Di susul munculnya mobil hitam dengan jenis dan seri yang berbeda dari miliknya. Alis Nirwan berkerut tajam. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang kini perlahan keluar dari halaman rumah Nadira. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, memberi kesempatan bagi satpam untuk menutup pintu pagar kembali. Kaca yang terbuka lebar membuat Nirwan bisa melihat dengan jelas sosok lelaki di balik kemudi itu."Siapa pria itu?"Dari jarak itu, Nirwan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum. Senyum tenang yang entah kenapa membuat darahnya berdesir cepat

  • Tukar Ranjang   Bab. 90

    “Van.” Suara Nadira nyaris berbisik. “Ini … apa?” Mereka berdua seperti tengah memainkan drama romantis yang selalu muncul dalam sebuah sinetron romansa. Di mana sang wanita pura-pura terkejut dengan hadiah kejutan dari sang pria. Lalu bertanya seakan tak tahu benda apa yang tengah di pegang seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Devan tersenyum tipis, tapi matanya jelas menampakkan gugup yang tak biasa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol laju jantung yang berdetak begitu kencang. Ia menghela napas pelan sebelum berkata. “Aku tadinya mau ngasih ini malam nanti, tapi rasanya ... gak ada waktu yang benar-benar tepat selain sekarang.” Devan mengambil cincin itu perlahan, memegangnya di antara ujung jari, siap memasangkan benda bulat kecil itu ke dalam jari manis wanita yang telah lama ia ingin miliki. “Nadira, aku tahu mungkin saat ini bukan momen paling tenang buatmu. Tapi aku juga tahu ... aku gak mau menunda-nunda lagi

  • Tukar Ranjang   Bab. 89

    Pagi itu udara terasa dingin, meski sinar matahari sudah mulai menembus tirai jendela ruang makan. Nadira duduk diam di kursinya, menatap piring-piring penuh hidangan yang kini terasa hambar di depan mata. Nasi hangat, telur dadar, sup ayam, perkedel kentang dan sambal—semuanya tersaji sempurna, tapi tak ada rasa lapar yang tersisa. Kepalanya masih penuh dengan bayangan semalam. Percakapan setengah jadi, emosi yang tertahan dan tanda tanya yang terus mengusik hatinya. Ia berharap setelah kembali ke rumah, semua misteri itu akan terjawab tuntas. Namun kenyataan malah berbalik. Sartika, ibunya, justru tak ada di rumah. “Bu Sartika mendadak berangkat ke Singapura, Nona,” kata pelayan malam itu. “Katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.” Nadira hanya bisa mengangguk kala itu, meski hatinya menolak percaya. Urusan apa yang begitu mendesak sampai ibunya pergi tanpa sepatah kata? Dan kini, pagi yang seharusnya tenan

  • Tukar Ranjang   Bab. 88

    Silvia memeluk lututnya di sudut sofa. Tubuhnya bergetar dan jantungan terasa melompat setiap kali ketukan keras di pintu itu terdengar. Jessy kembali datang ke rumahnya, sepertinya wanita itu tak berhenti mencari suaminya. Langkah-langkah Jessy di teras terdengar jelas, berat dan penuh tekad. Silvia menahan napas, berharap suara itu menjauh. Tapi tidak—ketukan itu kembali, lebih keras, lebih mendesak. Matanya mengintip dari satu jendela ke jendela yang lain, mencari celah diantara tirai itu agar bisa menembus ruangan gelap tersebut. Tak ada sedikit pun pencahayaan, semuanya gelap seperti langit yang mulai menghitam. “Silvia, aku tahu kau di dalam!” suara Jessy menembus dinding, tajam dan penuh luka. “Aku yakin suamiku terakhir bersamamu. Aku tak akan pergi sampai kau buka pintu! Atau aku laporkan saja dirimu ke polisi." Tubuh Silvia tambah bergetar hebat, bulir-bulir keringat semakin deras mengucur setelah mendengar kata "polisi" yang bergema

  • Tukar Ranjang   Bab. 87

    Nadira menatap layar ponsel sebentar. Nama yang muncul membuat alisnya sedikit terangkat kemudian mengulas senyuman tipis. Aura wajahnya bersinar terang seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Matanya kembali menatap Nirwan. Raut wajah lelaki itu justru berubah terbalik seratus delapan puluh derajat darinya. Datar dan susah untuk ditebak."Boleh saya permisi untuk mengangkat telpon ini sebentar?" pamit Nadira pelan sebelum ia beranjak menyingkir keluar cafe. Sebuah ruangan panjang yang ada di samping, memiliki sebuah kolam ikan kecil dengan pancuran air di atasnya. Di sanalah Nadira kini berada, mengangkat panggilan seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan melihat namanya saja. "Halo, Van. Ada apa?" sapanya hangat. Tangan Nadira perlahan menyentuh sekuntum bunga mawar merah dalam vas yang dirangkai dengan bunga lili putih dan baby bright. Tak hanya terlihat indah tetapi juga menyegarkan mata. Nirwan yang duduk di se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status