"Tadi itu siapa? Teman atau sahabat." Daejung menoleh sebentar untuk melihat wajah Amanda yang sedang duduk di sampingnya. Setelah acara selesai mereka langsung memutuskan untuk pulang dan berencana menjemput Shadam lebih dulu ke kediaman teman Daejung."Tadi teman satu kantorku dulu waktu masih bekerja. Kita juga nggak terlalu dekat seperti sahabat.""Berarti dia juga tahu dong soal suami kamu ....""Mantan suami, Jung, bukan suami," ralat Amanda dan memotong ucapan Daejung."Kalian masih berstatus sebagai suami-istri di mata negara. Kalian kan juga belum benar-benar bercerai.""Bisa kita bahas hal lain aja, Jung. Kamu tahu benar kan kalau aku sama sekali nggak mau bahas dia," desah Amanda sambil menahan rasa nyeri yang mulai menyerang hatinya."Sebenarnya perasaan kamu buat dia seperti apa, Amanda. Apa benar kalau perasaan kamu buat dia udah berubah tapi aku malah merasa kamu masih sangat mencintai pria itu," jeda Daejung dan mulai menghentikan laju mobilnya. "Delapan tahun kita dek
Amanda mengembuskan napasnya dengan pelan setelah berhasil menenangkan Shadam yang sedang kesal karena untuk kedua kalinya dia menjemput anak itu tanpa Daejung. Shadam marah dan mengabaikan Amanda dan mengamuk saat di rumah. Namun, setelah dibujuk beberapa kali akhirnya anak itu luluh dan langsung tertidur. Kini Amanda yang harus menyelesaikan semua kegaduhan yang telah Shadam ciptakan, semua mainan yang telah dia tata dengan rapih kini berhamburan di dalam kamar bermain itu.Setelah semua tugas selesai, Amanda memilih bersantai di ruang tengah dengan secangkir teh hijau di tangannya. Ingatannya kembali pada perdebatannya dengan Daejung tadi."Shadam terlalu bergantung sama Daejung, laku gimana caranya supaya mereka bisa menjauh." Amanda memijat pelipisnya dengan kedua tangan, selama ini dia tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi bila terlalu lama dekat dengan seorang bujang. Kini dia menyesal, seharusnya sejak awal dia menolak kehadiran Daejung, setelah melahirkan seharusnya
"Ngapain lo masih di sini aja. Bukannya lo mau pergi cari Amanda. Kita juga bukan suami-istri lagi jadi nggak perlu sok-sokan perhatian sama gue," amuk Fara saat Yuda masih juga memperhatikannya selama dia dirawat di rumah sakit."Kamu udah makan, Ra? Kalau belum ... kebetulan aku bawain bubur ayam kesukaan kamu." Yuda melengos dan meletakkan dua kotak bubur ayam ke atas meja di samping berangkat rumah sakit "Keluar lo dari sini!" Fara memalingkan wajahnya dan enggan menatap wajah Yuda. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan perlakuan pria itu yang masih saja lebih mementingkan Amanda daripada dirinya yang begitu membutuhkan teman saat barusaja keguguran.Yuda abai dengan usiran Fara, justru kini pria itu malah duduk dan bersiap untuk menyuapi wanita tersebut. Namun, bukannya menerima suapan dari Yuda Fara malah menampik tangan pria itu membuat bubur yang tadinya menggantung di udara terpelanting dan berceceran di atas lantai. Yuda memejamkan mata dan mengembuskan napasnya dengan bera
Yuda menghentikan langkahnya saat merasakan seseorang menarik kemeja yang dia kenakan. Yuda menoleh dan terbelalak saat tahu bahwa Faralah pelakunya. Dia memalingkan wajah saat istrinya itu menatapnya cukup tajam. "Jangan-jangan Fara denger lagi soal pengakuanku tadi. Tapi semoga aja dia nggak denger," ucap Tuda dalam hati."Aku minta maaf kalau udah ganggu tidur kamu. Kamu bisa lanjutin tidurnya," desah Yuda dan melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari kamar. Namun, hal yang selanjutnya terjadi malah membuatnya langsung berteriak. Fara menarik kemejanya dan membuat pria jangkung utu terjatuh je atas ranjang."Kenapa mau langsung pergi, udah capek sama sikapku, iya?" tanya Fara dengan datar membuat Yuda yang awalnya menunduk kini mendongak menatap wajah sang istri yang sedang polos tanpa make up."Bukannya gitu, Ra. Aku bener-bener minta maaf karena udah ganggu tidur kamu. Aku juga nggak bermaksud untuk ....""Apa yang kamu bilang tadi benar? Dan sejak kapan?""Hah?!" Yuda terbe
Malam yang panjang telah keduanya nikmati seolah tidak akan ada lagi malam berikutnya. Keduanya sama-sama mencari kepuasan dunia yang selama satu bulan lebih tak mereka dapatkan. Ungkapan cinta terus terucap dari bibir Fara dan jawaban Yuda seolah tidak nyambung. Pria itu masih sedikit malu walau hanya untuk mengucap kata 'aku mencintaimu' padahal Fara sudah tah benar kalau rasa cinta Yuda untuknya bukan main-main. "Ayo, aku mau denger kamu bilang gitu lagi. Please, Yud. Aku mau denger lagi dalam keadaan sangat sadar," rayu Fara yang saat ini sedang tertidur di atas bahu Yuda seusai pertempuran mereka yang entah keberapa kali."Harus banget, ya. Aku malu, Ra," jawab Yuda dengan wajah serius. "Kamu kan udah tahu kenapa juga harus diulangi lagi."Fara cemberut, tetapi tetap memaksa Yuda untuk menyatakannya lagi dan akhirnya pria itu menyatakan perasaannya kembali dalam keadaan Fara yang sudah sangat sadar.***Napas Fara tercekat dengan detak jantung yang bertalu-talu. Selembar kertas
Tatapannya nanar menatap benda bulat berwarna keemasan di atas meja. Dia menghela napasnya dengan berat dan lagi-lagi tertampar oleh kenyataan bahwa si empunya barang itu sudah lama pergi dan tak lagi peduli dengan benda tersebut. Dia ambil benda itu dan memegangnya dengan jari teluk dan ibu jari, lalu menatap ke arah siai dalam dari cincin tersebut, membaca tiga kata yang terukir di sana."Amanda dan Angga," gumamnya dengan lirih dan kembali mendesah dengan berat.Angga terus memperhatikan cincin pernikahan milik Amanda yang wanita itu tinggalkan dengan berkas perceraian yang sudah Amanda siapkan dengan sendirinya dan juga akta perceraian yang sudah menjadi bukti bahwa keduanya sudah resmi berpisah sejak hampir tujuh tahun yang lalu.Hari itu selang beberapa bulan dari perginya Amanda datanglah sebuah surat panggilan yang mewajibkan Angga untuk datang di sidang perdana mereka. Awalnya dia tak ingin datang, tetapi Angga menyakini satu hal bahwa sang istri pasti akan datang di sidang p
"Aku bener-bener minta maaf sama kamu, aku hampir aja bongkar rahasia itu."Althan menghentikan langkahnya tepat di bibir pintu saat mendengar kalimat ambigu yang keluar dari mulut Seffina. Wanita itu sedang berbicang dengan seseorang yang Althan tidak tahu itu siapa, Seffina terlihat begitu serius dalam berbicara meski Althan hanya menatap punggung sang istri."Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.""Maaf, ya. Aku hampir aja bilang semuanya, tapi kamu jangan takut karena aku belum ngomong kok ke Angga soal kehamilan kamu waktu itu."Degh! Althan membeku di tempatnya mendengar kalimat terakhir yang Seffina lontarkan. Otaknya seolah penuh dengan pertanyaan membuatnya menjadi semakin bingung. Namun, dia sudah menangkap siapa lawan bicara istrinya itu, tetapi Althan masih tetap di bibir pintu dan menanti apakah ada rahasia lain selain kehamilan itu."Aku minta maaf kalau udah nyuruh kamu tutupi itu semua dari awal.""Aku nggak masalah, Amanda. Aku seneng bisa bantu kamu. Semoga kamu sekaran
Angga mendesah, mengambil tas itu dan mulai memeriksa isinya. Jauh dalam lubuk hati dia berharap kalau bisa menemukan titik terang di mana Amanda berada karena Angga tahu benar bahwa tas yang selalu Amanda gunakan untuk pergi hanyalah itu. Kening Angga mengernyit saat tangannya menemukan sebuah amplop bertuliskan nama rumah sakit. Dia semakin bingung dan mulai menerka yang tidak-tidak."Jangan-jangan Amanda ...."Angga menggeleng beberapa kali untuk menghilangkan prasangka buruknya itu. Demi menghilangkan prsangka tersebut dia pun membuka amplopnya dan sangat terkejut saat mengetahui laporan medis itu. Angga mematung antara perasaan bahagia dan juga sedih. Lagi ... Angga membacanya, meneliti laporan itu dan memeriksa tanggalnya. Angga dibuat semakin terkejut saat tahu alamat rumah sakit itu."Jadi benar kalau Amanda sendiri yang tahu semuanya. Jadi ... selama ini dia juga ...." Angga menghentikan kalimatnya karena tak mampu berkata apa-apa lagi. Penyesalan itu semakin membesar setelah