Nadira hanya bisa menghela napas panjang saat melihat surat undangan yang ada dalam genggaman tangannya. Dia sudah tidak kuasa jika harus melihat kembali nama yang tertera di sana. Bisa-bisanya wanita itu tertipu pada pria yang hampir menjadi suaminya.
"Lo baik-baik saja 'kan, Nad? Gue lihat lo kayaknya gak seneng banget hari ini, apa mungkin lo belum move on dari pria itu?" cecar Denia sembari melihat Nadira sedang berpangku tangan. Wajahnya bermuram durja, tiada lagi kebahagiaan di sana. Hanya ada pikiran kalut yang tiada ujungnya. Air matanya sudah habis karena seharian menangisi pria yang sebenarnya tidak pantas untuk ditangisi."Udah deh, Nad! Ngapain juga lo masih memikirkan pria seperti dia," imbuh Ghea yang merupakan sahabat Nadira juga."Bukan itu masalahnya, kalian tahu sendiri 'kan? Dia bilangnya mau fokus kuliah, tapi nyatanya apa? Justru surat undangan ini yang gue dapat. Gimana gue gak kesal coba!" Nadira mendengus kesal. Bagaimana tidak? Baru minggu kemarin Abian membatalkan pertunangan, dan sekarang wanita itu sudah mendapatkan surat undangan dari pria itu."Iya, kita berdua tahu. Tapi percuma juga lo uring-uringan begini, harusnya lo buktikan sama dia. Bahwa lo baik-baik saja dengan ada atau tanpa adanya Abian dalam hidup lo!" Denia berusaha menasihati. Wanita satu ini tidak ingin melihat Nadira yang ceria dengan wajah kusut seperti saat ini."Benar kata Denia, Nad! Kalau bisa, lo secepatnya mencari pengganti yang lebih baik darinya!" seru Ghea ikut memberikan semangat pada sahabatnya.Tidak mudah bagi Nadira menerima nasihat yang diberikan kedua sahabatnya, sebab rasa kecewa yang dirasakan begitu besar. Terlebih saat Abian memutuskan hubungan mereka secara sepihak, padahal mereka juga sudah bertunangan. Kedua orang tua mereka sama-sama merestui hubungan mereka. Tinggal selangkah lagi wanita itu akan menikah dengan pria tampan berambut sedikit bergelombang tersebut. Namun, semua harus kandas saat tunangannya mengatakan kalau dia membatalkan pertunangan karena ingin fokus sama kuliah S2 nya. Akan tetapi, kenyataan pahit justru dia alami. Pria itu ternyata memiliki wanita idaman lain, bahkan tanpa rasa bersalah memberikan surat undangan padanya.Entah kapan Abian mulai menyukai dan berpaling pada Vera yang merupakan teman masa kecilnya. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh, hanya berkisar seratus meter saja."Gue jadi curiga, apa mereka menikah karena terjadi sebuah kecelakaan?" tebak Denia berusaha untuk mencairkan suasana."Kecelakaan apa maksud lo, De?" tanya Ghea sembari berpikir."Itu," ucap Denia, lalu menundukkan kepalanya dan mulai melanjutkan perkataannya dengan berbisik. "Bunting duluan," ucapnya pelan."Hmm ... bisa jadi begitu tuh!" Ghea mengiyakan. Hanya Nadira yang tidak setuju pada kedua sahabatnya, justru wanita itu mengatakan, "Kita gak boleh berprasangka buruk pada seseorang, meskipun dia sudah berbuat jahat." Sebuah sikap baik yang dimiliki Nadira, wanita itu juga bijaksana dalam menanggapi sesuatu atau masalah dalam hidupnya. Walaupun dalam urusan asmara, wanita berkulit putih tersebut tidak bisa mengontrol hati dan pikirannya.Mereka kembali terdiam, perlahan Ghea dan Denia saling pandang satu sama lainnya. Kedua sahabat Nadira sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghibur wanita yang sedang patah hati itu."Lo mau ke mana, Nad?" tanya Ghea dan Denia secara bersamaan."Gue mau ke kelas, lagi pula gue tidak nafsu makan." Nadira menyahut singkat.Perut yang awalnya lapar, mendadak kenyang waktu di kantin Nadira bertemu dengan Vera dan Abian bergandengan tangan. Bahkan mereka juga memberikan surat undangan padanya sembari tersenyum lebar."Coba saja lo tadi gak mencegah gue untuk menghajar Vera dan Abian waktu memberikan surat undangan. Sudah pasti hatiku lega, meskipun temanku akan bersikap seperti itu, lagian juga gue kesal melihat pasangan berdua itu. Bisa-bisanya juga si Abian terang-terangan ke kampus ini mengantarkan Vera, dan memberikan undangan pernikahan," protes Denia yang sedikit tomboi."Harusnya lo berterima kasih pada gue. Apa lo mau teman kita semakin banyak masalah karena lo? Hah? Lagi pula, kisah mereka tidak ada hubungannya dengan kita. Gue gak ingin dengan sikap lo itu semakin memperkeruh suasana." Ghea membela diri. Wanita satu ini memang pemikir, jadi tidak heran jika semuanya dipikir secara matang. Perihal sebab akibat yang akan terjadi setelah bertindak.Denia masih tidak bisa menerima apa yang sudah dijelaskan Ghea. Wanita tomboi itu memilih untuk berdiri dan mengikuti Nadira ke kelas."Tunggu gue, De?" teriak Ghea, tapi sahabatnya masih tetap abai."Agak dipercepat jalannya, gue khawatir Nadira akan melakukan hal yang buruk," kata Denia mempercepat langkah kakinya."Lo tenang saja, Nadira tidak mungkin menganiaya dirinya sendiri." Ghea akhirnya bisa mengimbangi langkah kakinya bersama Denia.Mereka bertiga memang satu kelas, mengambil jurusan pendidikan bahasa Indonesia di salah satu universitas negeri di kota Malang. Hari-hari mereka selalu dilalui bersama, mulai dari pertama kali mereka masuk ke kampus tersebut hingga sampai sekarang semester enam. Tidak terasa sudah tiga tahun lamanya mereka sudah bersama, melewati suka cita bersama dan saling curhat satu dengan yang lainnya.Alih-alih Nadira ingin masuk ke kelas justru masuk ke dalam toilet. Dia ingin membersihkan wajahnya sebelum masuk kelas, wanita itu tidak ingin terlihat menyedihkan di depan teman-teman sekelasnya."Di mana Nadira?" tanya Denia ketika melihat ke sekeliling kelas tidak ada wajah sahabatnya.Ghea mengedikkan bahu. "Harusnya dia sudah sampai dari tadi, apa jangan-jangan ...," ucap Ghea menggantungkan kalimatnya."Gak usah ngaco deh, Ghea!" Denia mulai menarik hidung Ghea yang memang mancung."Gak usah pegang-pegang," ujar Ghea menepis tangan Denia.Mereka berdua keluar kelas untuk mencari keberadaan Nadira, kedua wanita itu tidak akan tenang sebelum mengetahui keadaan sahabatnya.Sedangkan di toilet, Nadira masih melihat wajahnya di depan cermin. Setelah mencuci wajah menggunakan air serta facial wash yang selalu dibawa kemana-mana, tapi wajahnya tetap saja masih kusam.Dia mengambil bedak yang ada dalam tasnya, lalu merias dengan tipis."Sudah lebih mending dari pada yang tadi," ucap Nadira masih menatap wajahnya di cermin.Wanita itu mulai menarik napas panjang, lalu mengeluarkan secara perlahan."Lo pasti bisa menjalani semua ini, Nad! Lo harus kuat, jangan terlihat lemah." Nadira mulai menyemangati diri sendiri.Wanita itu mulai membenahi jilbab berwarna cream agar terlihat lebih rapi, tapi siapa sangka sebuah suara membuat Nadira terkejut."Maafin gue ya, Nad! Gue juga gak nyangka kalau Abian akhirnya lebih memilih gue," ucap wanita yang selama ini dianggap baik oleh Nadira."Gue gak butuh permintaan maaf dari lo, Vera. Gue gak nyangka saja lo ternyata penghianat. Setidaknya gue tahu lo, teman yang suka menusuk dari belakang." Nadira berbicara santai."Wah ... ternyata lo peka juga ya. Sudah tidak polos lagi seperti kemarin-kemarin. Gue kira, lo bakalan selamanya menjadi wanita g*bl*k," hina Vera sembari tertawa."Plak!" Sebuah tangan melayang ke pipi kanan Vera, hingga membuat wanita itu berhenti tertawa.Nadira duduk di sofa sembari teringat kejadian di kampus tadi. Kalau saja Ghea dan Denia tidak segera menemukannya di dalam toilet, kemungkinan Vera akan menampar kembali dirinya."Anak Mama yang cantik kenapa akhir-akhir ini murung banget sih?" tanya Hera menghampiri Nadira yang sedang duduk manis seorang diri."Gapapa, Ma. Cuma capek saja," kata Nadira berdusta."Kamu gak berbakat membohongi Mama, Nad! Cerita saja sama Mama. Apa mungkin kamu masih sedih karena Abian?" tanya Hera pelan. Bagaimanapun, wanita setengah paruh baya itu tidak ingin salah bicara. Tanpa ragu, Nadia mengambil kertas yang sengaja dibawa pulang dan ditaruh dalam tasnya. Kemudian, wanita cantik tersebut menyodorkan surat undangan itu pada Hera. Sang Mama tampak terkejut ketika melihat foto prewedding yang sudah terpampang jelas di belakang undangan. "Jadi ini alasan kamu murung?" tanya Hera memancing agar putrinya mau bercerita. Nadira menganggukkan kepala dengan pelan. "Dia keterlaluan, Ma. Kenapa juga harus
Bahkan Denia yang tomboi pun tidak berpikir sampai sejauh itu. Wanita itu akhirnya bertepuk tangan bangga dengan ide yang diberikan Ghea."Emang harus ya, begitu?" tanya Nadira enggan."Menurut gue sih, harus. Semua itu agar mereka tidak meremehkan lo, Nad! Buktikan kalau lo bisa mendapatkan yang lebih baik," jawab Ghea sesuai pendapatnya."Kali ini gue setuju dengan ide Ghea. Udah lah, Nad. Gak usah banyak berpikir, mending atur saja kapan teman kita yang satu ini bisa bertemu dengan pria itu?" tanya Denia tidak sabaran."Gue masih belum setuju, ya. Kenapa seolah-olah kalian berdua yang ngebet." Nadira mulai kesal dengan sikap Ghea dan Denia."Semua ini demi kebaikan lo, Nad. Kalau lo tetap tidak mau, terserah sih. Namun, kalau gue sendiri sih mending ikut saran Ghea. Dari pada dijuluki pecundang nanti. Mengingat datang sendiri ditertawakan, tidak datang tambah diremehkan." Denia justru membela Ghea hingga wanita cantik berlesung pipi itu harus berpikir berulang kali. "Tau ah! Gue p
Nadira hanya tersenyum tipis secara terpaksa, lalu menarik tangan Ghea sembari berbisik pelan."Lo yakin dia orangnya?" tanya Nadira pelan. Bagaimanapun, wanita satu ini tidak ingin menyinggung perasaan pria yang saat ini ada di hadapannya."Gue gak tahu kenapa kayak gini orangnya, kata temanku sih ganteng," sahut Ghea kebingungan, dia juga mulai melihat penampilan pria yang terlihat cupu."Lo gimana sih, kalau kayak gini mah ... mending gue gak usah datang saja ke acara. Bisa-bisa gue ditertawakan Ghe," ucap Nadira sembari membayangkan apa yang akan terjadi jika datang bersama pria itu."Terus, enaknya bagaimana ini?" tanya Ghea meminta pendapat sahabatnya."Gue gak mau ikut-ikutan, lebih baik gue pulang." Nadira kesal, hingga pergi begitu saja meninggalkan Ghea yang mulai mengajak ngobrol pria itu lagi."Maaf, ya. Teman gue gak setuju, mending pulang saja." Ghea berbicara tanpa basa-basi, lalu mengejar Nadira yang sudah berjalan jauh darinya. Wanita cantik yang sudah siap datang ke
Mereka memutuskan untuk pulang sebelum acara selesai. Dia juga tidak mungkin membuat acara pernikahan mantan tunangannya semakin kacau karenanya. Ketika berada di dalam mobil, Nadira mulai tertawa secara perlahan."Kamu kenapa?" tanya Hendra heran. Biasanya kalau seorang wanita ditinggal pergi, pasti sakit hati dan sedih. Entah kenapa Nadira harus tertawa untuk semuanya."Gapapa, gue cuma teringat sama Abian saja. Ternyata dia cemburu melihat kita," jelas Nadira tersenyum tipis.Sebagai mantan tunangan yang baik, Nadira tahu persis bagaimana ekspresi mantan tunangannya ketika sedang cemburu."Jadi kamu masih berharap dia kembali?" tanya Hendra perlahan."Enggak ... ngapain juga mengharapkannya kembali? Lagi pula dia sudah menjadi suami orang sekarang. By the way, thanks. Karena lo sudah membantu gue," ujar Nadira dengan wajahnya yang masih terlihat begitu bahagia."Sama-sama." Hendra berbicara sembari memberikan senyuman. Dari raut wajah pria tampan itu sedang mengharapkan sesuatu, ta
"Ponsel lo dari tadi berdering tuh! Kenapa gak diangkat saja?" tanya Ghea menatap wajah Nadira yang mengabaikan panggilan dari nomor tidak dikenal."Gue malas, biarkan saja," ujar Nadira malas.Ghea tidak banyak berbicara lagi, jika sahabatnya sudah terlihat malas begitu. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Wanita berhidung mancung itu pun mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal dari ponsel Nadira."Lo apa-apaan sih, Ghea. Kalau gue gak mau angkat panggilannya, bukan berarti lo harus mengangkatnya!" pekik Nadira kesal. Dia berusaha untuk mengambil alih ponsel yang ada dalam genggaman tangan Ghea.Sudah terlambat, sebuah suara terdengar dari seberang sana. Sebuah suara yang sudah tidak asing lagi di telinga mereka berdua. "Bukankah itu suara ...," ucap Ghea, tapi dipotong oleh Nadira.Wanita cantik berkulit putih segera mengambil alih ponselnya dan segera berbicara dengan pria yang selama ini membuat jantungnya berdebar. Ghea hanya bisa menggelengkan kepala melihat kela
"Gue mah ogah ikut Nadira bertemu dengan si Davin itu. Gue gak mau jadi obat nyamuk, lagi pula mereka masih pendekatan, jadi gak mungkin mereka macam-macam, Ghea!" papar Denia ketus."Pokoknya kita harus ikut, De. Dengan atau tanpa persetujuan dari Nadira." Ghea masih tetap pada pendiriannya.Nadira menggelengkan kepala pelan. "Kalian boleh ikut, tapi jangan mempermalukan gue. Kalian harus jadi anak baik-baik," ujar Nadira setuju. Lagi pula, pertemuannya dengan Davin hanya sebatas adik kelas dan kakak kelas saja. Tidak ada yang spesial diantara Nadira dan senior tampan itu."Nah gitu dong! Lo harus ikutan, De. Gak ada tapi tapian. Jangan menolak ya!" pinta Ghea yang tidak ingin ikut seorang diri."Idih, ogah! Lagi pula lo 'kan, yang ingin ikut. Jadi ya, ikut saja. Gue gak mau, masih banyak urusan yang lebih penting dibandingkan harus menjadi obat nyamuk," tolak Denia kesal. Wanita tomboi itu tidak mau di hari pertama Nadira melakukan pendekatan malah ada dirinya dan Ghea sebagai penga
Nadira langsung mencubit pinggang Denia secara samar, tapi semua percuma saat sahabatnya merintih kesakitan. Dia mulai mempermalukan Nadira lagi. Langsung saja Ghea menutup mulut Denia agar tidak berbicara lebih banyak lagi. "Kita berdua mau beli kentang dulu, ya. Kalian berdua bersenang-senang saja dulu," ujar Ghea mengajak Denia pergi.Davin memberikan senyuman termanisnya sembari melihat kepergian sahabat-sahabat Nadira."Lo apa-apaan sih, Ghea! Mana gak jelas banget, beli kentang, kentang. Kentang apaan? Gue belum makan gratis juga, malah ditarik ke sini," ujar Denia kesal. "Lo tuh biasa ya, suka malu-maluin. Lo gak sadar apa yang lo katakan itu sangat memalukan?" cetus Ghea dengan kaki yang masih terus melangkah.Denia masih bingung, dari segi mana wanita itu telah membuat malu? Dia bahkan berpikir apa yang dikatakan masih wajar-wajar saja. Wanita tomboi itu tidak mau membuang kesempatan untuk makan gratis, jadi memilih untuk kembali menemui Nadira dan Davin."Lo mau ke mana, D
Cindy merubah ekspresinya menjadi baik ketika melihat Davin datang. "Aku pamit pulang duluan, soalnya ada urusan mendadak," pamit Davin terlihat buru-buru."Kita juga mau pergi," ujar Ghea menyeringai."Ya sudah, bareng yuk!" ajak Davin bersemangat. Namun tawarannya ditolak karena di sana ada Cindy yang menatap ke arah Ghea dan Nadira tajam."Gue dan Nadira masih ada urusan lain di sekitar sini. Jadi, lo bisa pulang duluan saja," ucap Ghea berdusta."Mending pulang sama aku saja, Vin." Cindy malah langsung menarik tangan Davin, tapi pria itu malah menepis tangan wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Ghea dan Nadira hanya menahan tawa melihat perlakuan Davin pada Cindy, lalu mereka berdua pergi meninggalkan tempat tersebut."Gue gak habis pikir sama si Cindy itu. Belum menikah saja sudah seperti itu kelakuan, gue jadi curiga deh. Jangan-jangan cinta mereka bertepuk sebelah tangan, Davin mau dijodohin karena terpaksa," papar Ghea sok tahu. Nadira menggelengkan kepala. "Gue gak mau