Share

Bab 6

"Ponsel lo dari tadi berdering tuh! Kenapa gak diangkat saja?" tanya Ghea menatap wajah Nadira yang mengabaikan panggilan dari nomor tidak dikenal.

"Gue malas, biarkan saja," ujar Nadira malas.

Ghea tidak banyak berbicara lagi, jika sahabatnya sudah terlihat malas begitu. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Wanita berhidung mancung itu pun mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal dari ponsel Nadira.

"Lo apa-apaan sih, Ghea. Kalau gue gak mau angkat panggilannya, bukan berarti lo harus mengangkatnya!" pekik Nadira kesal. Dia berusaha untuk mengambil alih ponsel yang ada dalam genggaman tangan Ghea.

Sudah terlambat, sebuah suara terdengar dari seberang sana. Sebuah suara yang sudah tidak asing lagi di telinga mereka berdua.

"Bukankah itu suara ...," ucap Ghea, tapi dipotong oleh Nadira.

Wanita cantik berkulit putih segera mengambil alih ponselnya dan segera berbicara dengan pria yang selama ini membuat jantungnya berdebar. Ghea hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya itu.

"Gue hanya bisa berharap agar mereka bisa dipersatukan dalam pernikahan." Ghea bergumam sembari melihat ke sekeliling rumah Nadira. Dia mulai memejamkan mata, tapi kehadiran Denia yang tiba-tiba membuat khayalannya bubar begitu saja.

"Lo ngagetin saja, De!" seru Ghea melempar bantal sofa yang sedari tadi dipeluknya.

"Maaf, gue gak ada maksud untuk membuat lo kaget. By the way, Nadira di mana?" tanya Denia melihat ke sekitar tapi tidak menemukan wajah sahabatnya.

"Dia masih menelpon," sahut Ghea singkat.

Denia menganggukkan kepala mengerti, lalu mulai menginterogasi sahabatnya tentang kehadiran Nadira sebagai tamu undangan mantan kekasihnya.

Wanita tomboi itu memaksa, tapi tidak dihiraukan oleh Ghea karena dianggap tidak setia. Seharusnya Denia lebih memilih datang untuk menemani sahabatnya, bukan malah lebih memilih hobinya yang suka menonton pertandingan futsal.

"Gue minta maaf, memang gue salah." Hanya itu yang bisa Denia ucapkan dengan wajah memelas.

"Please, Ghe. Maafin gue, lagi pula gue gak lama 'kan? Yang terpenting gue juga datang ke sini untuk mendengarkan semua yang terjadi hari ini." Denia mulai memainkan matanya untuk mendapatkan simpati dari Ghea.

"Iya gue maafin," ujar Ghea singkat.

"Terus gimana? Apakah sukses?" tanya Denia yang benar-benar penasaran dengan semua yang terjadi.

Ghea menganggukkan kepala secara perlahan, lalu memberikan seulas senyuman.

"Lo gak usah khawatir, Denia. Selama gue yang mengatur rencana, pasti tidak akan ada hati yang kecewa." Ghea mulai tertawa lepas.

Bukan hal itu yang ingin didengar oleh Denia, tapi sebuah cerita detailnya. Namun, semua percuma jika bertanya pada sahabatnya yang satu itu. Jadi, dia menyimpan kembali rasa penasarannya untuk menanyakan semuanya pada Nadira.

Wanita berlesung pipi datang dengan wajah berseri-seri, hal itu membuat Ghea menaruh curiga. Di lain sisi sahabatnya itu senang karena akhirnya bisa membuat Nadira bertemu kembali dengan senior tampan yang selalu dicintainya. Akan tetapi, di sisi lain wanita itu merasa bersalah jika pada akhirnya mereka tidak bisa bersama dan saling mencintai.

"Lo kenapa senyum-senyum, Nad?" tanya Denia mewakili pertanyaan Ghea dalam benaknya.

"Lagi bahagia saja, lo tahu gak Ghe?" tanya Nadira pada sahabatnya yang sudah tahu tentang sebuah rahasia.

Ghea menggelengkan kepala. "Gimana gue mau tahu, lo aja gak ngomong apa-apa," ujar Ghea masih menatap wajah Nadira dengan seksama.

"Ternyata dia sudah tahu kalau memang aku dari awal yang meminta bantuan. Gue kira dia bakalan lupa sama gue, ternyata dia masih ingat." Nadira tersenyum bahagia.

"Terus?" tanya Ghea pelan.

"Gak ada terusannya. Dia mengajakku untuk berteman lagi." Nadira menyahut singkat. Wajahnya kembali terlihat lesu mengingat kalau senior tampan itu tidak mungkin menyukainya.

"Dia siapa yang kalian maksud? Gue masih belum mengerti dengan obrolan kalian," ucap Denia penuh tanda tanya.

Wanita tomboi masih menerka, tapi tidak mendapatkan jawaban apa pun. Hingga Ghea menceritakan semuanya apa yang sedang terjadi.

"Wah, bagus dong! Itu tandanya kesempatan emas untuk lo, Nad! Siapa tahu saja dia jodoh lo," ujar Denia penuh semangat.

"Kayaknya gak mungkin deh, De. Dia sudah memiliki tunangan sejak SMA. Mana mungkin bisa menjadi jodohku," ucap Nadira sembari mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap konsisten mengubur perasaan yang dimiliki selama ini.

"Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, Nad. Lo percaya takdir 'kan?" tanya Denia penuh semangat.

Nadira menganggukkan kepalanya.

"Kalau Allah sudah berkehendak dia menjadi jodoh lo, lo bisa apa?" lanjutnya.

"Udah deh, Denia. Kita do'akan yang terbaik saja untuk Nadira. Tanpa harus membuat dirinya berpikir jauh dan mengharapkan Davin. Biarkan semuanya berjalan apa adanya," ujar Ghea yang tidak ingin melihat Nadira berharap lagi.

Denia terdiam, wanita tomboi itu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ghea. Bagaimanapun, Nadira juga baru saja ditinggal menikah oleh Abian. Tidak mungkin juga dengan cepat wanita itu menerima pria lain dalam hatinya, sekalipun pria itu adalah cinta pertamanya.

Di saat suasana menjadi hening, suara perut Denia mulai memecahkan suasana. Dia sampai lupa makan karena melihat pertandingan futsal, jadi perutnya terasa perih sekarang. Beruntung Ina yang merupakan asisten rumah tangga Nadira sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka.

"Kalian berdua harus tetap tinggal di rumah gue, sampai Mama dan Papa datang dari pesta," pinta Nadira yang tidak ingin kesepian di dalam rumah. Meskipun ada Ina, tapi tetap saja asisten rumah tangga itu tidak akan diajaknya mengobrol perihal urusan anak muda.

"Siap, asalkan perut gue kenyang." Denia mulai tertawa lepas.

"Lo memang gak pernah berubah, dalam pikiran lo cuma ada makan, makan aja." Ghea menggerutu.

"Mending gue, dari pada lo yang selalu ada pria dalam pikiran lo." Denia tidak mau kalah.

"Gak usah ribut di meja makan, mending kalian makan saja semuanya jangan sampai ada sisa." Nadira mulai mengambil nasi terlebih dulu, lalu diikuti oleh kedua sahabatnya.

Kali ini tidak ada obrolan di meja makan, semua sibuk mengunyah makanan. Hingga nasi dalam piring mereka tandas, barulah mereka mengobrol kembali.

"Om dan Tante masih lama, Nad?" tanya Ghea ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 20.00 wib.

"Paling sebentar lagi datang, kamu buru-buru?" tanya Nadira.

"Engga juga sih, cuma kalau terlalu malam. Mending gue nginep di rumah lo aja. Biar gue izin sama kedua orang tua gue," jawab Ghea memberikan senyuman.

"Boleh, itu pun kalau kalian mau." Nadira bahkan tidak keberatan.

"Gue gak bisa, Nad. Gue harus pulang, tapi kalau Ghea mau menginap di sini juga gapapa." Denia justru tidak sabar ingin pulang karena harus menonton acara sepak bola di televisi.

"Terserah kalian saja sih. Gue juga gak mungkin memaksa." Nadira memberikan senyuman.

Di waktu yang sama, sebuah pesan diterima oleh Nadira. Kedua sahabatnya mulai kepo dan bertanya, "Pesan dari siapa?" Ghea dan Denia kompak.

"Dari Davin, dia mengajak bertemu besok," sahut Nadira singkat.

"Kita akan menemani lo bertemu dengannya!" Ghea langsung membuat keputusan yang membuat Nadira dan Denia mengernyitkan dahi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status