Share

7. Jangan-Jangan Kamu ....

“Permisi, itu mahasiswi saya!” Suara Lutfan sangat keras hingga orang yang awalnya berjubel sedikit merenggang. Cepat-cepat pria tersebut melihat korban yang dikerumuni beberapa orang.

“Dia orang gi*la yang sering wara-wiri di sini, Mas. Apa mungkin dia seorang mahasiswi?” Suara seorang pria membuat kaki Lutfan mendadak kaku.

“A-apa? Orang gi*la?” Lutfan memicing, lalu melihat dengan saksama wanita yang wajahnya sudah berlumuran darah tersebut. Bajunya bukan baju yang dipakai Alula, kepalanya pun tertutup hijab ala kadarnya, tidak seperti Alula yang memakai hijab abu-abu panjang.

“Oh, maaf. Saya salah orang. Saya pikir tadi mahasiswi saya yang juga baru saja melintas di sini.” Lutfan menjelaskan.

“Huuu!” Sorakan orang-orang terdengar.

Lutfan kemudian mengurai diri dari kerumunan itu. Ia berkacak pinggang sambil membetulkan kacamata tebalnya. 

“Astagfirullah! Kena prank! Bikin malu. Lalu di mana gadis itu?” Mata Lutfan menyisir sekitar sampai beberapa kali. Pada satu titik, ia melihat seorang wanita duduk di bawah pohon. Kembali ia menajamkan penglihatan dengan melepas dan membetulkan kacamata beberapa kali. Setelah merasa yakin itu Alula, pria tonggos itu kembali mendekati sang ibu.

“Bu, yang tertabrak bukan Alula, tapi orang gila. Alula ada di sana kayaknya, tuh.” Lutfan menunjuk keberadaan yang disinyalir itu Alula.

“Alhamdulillah kalau itu bukan Alula. Ibu sudah takut tadi. Kamu yakin yang di sana Alula?”

Lutfan mengangguk. “Kayaknya iya.”

“Ayo kita temui dia.”

“Buat apa? Nggak perlu. Cukup tahu saja kalau gadis itu baik-baik saja, nggak kenapa-napa.”

“Fan, Ibu rasa dia ada dalam masalah pelik. Ibu takut dia nekat. Setidaknya kita antar dulu dia kembali ke kosan dan memastikan dia aman.” Nur turun, lalu berjalan menghampiri Alula.

“Bu, jangan berlebihan. Dia bukan anak kecil yang harus dikhawatirkan seperti ini. Dia sudah besar, punya keluarga.”

“Ibu nggak berlebihan, Fan. Tapi naluri Ibu sebagai wanita, nggak bisa membiarkan dia begitu saja. Sebagai wanita, Ibu bisa membaca matanya yang redup seperti memendam kesedihan begitu besar. Kamu nggak akan ngerti. Dan dia bilang tadi hidup sebatang kara. Kalau kamu nggak mau ikut, di sini aja.”

Nur turun dari mobil, lalu berjalan menuju Alula.

“Ck, heran sama Ibu.” Lutfan berdecak, tetapi tetap mengikuti langkah sang ibu.

Alula menyender pada pohon. Ia duduk tanpa alas. Sesekali tangannya melempar kerikil ke hadapannya. Sementara di depan, ada rel kereta. Tidak lama kemudian, bunyi peringatan begitu kencang terdengar, tanda kereta akan lewat. Tidak butuh waktu lama, alat transportasi sangat panjang itu melintas dengan suaranya yang menggelegar.

“Aaa!” Alula berteriak sangat kencang sambil menutup kedua mata dan telinganya.

“Mas Yongkiii!” teriaknya lagi. Lalu, ia menangis dan membenamkan kepalanya di antara kedua kaki yang ditekuk.

Semuanya sudah berakhir. Impian indahnya bersanding dengan pria yang membuatnya nyaman telah sirna.

“La, kita nikah sekarang aja, ya? Nanti pas kamu skripsi, aku bisa bantu. Free. Tapi kalau nikahnya nanti, bantuan untuk skripsimu berbayar,” kelakar Yongki kala itu.

“Halah, Mas Yongki modus. Nikah itu nggak seindah yang terlihat, lho, Mas. Kalau ternyata aku nggak sesuai harapan Mas Yongki gimana?”

“Aku akan tetap terima. Aku nggak akan nikah kecuali sama kamu. Nek ra kowe, ora wae.” Yongki menyanyikan penggalan lirik salah satu lagu di akhir kalimat.

“Tapi kalau embel-embelnya ada bantuan garap skripsi, boleh juga sih.”

“Beneran mau?”

Alula diam.

“Katakan di mana dan kapan kamu siap aku lamar. Sekarang aja ayo.”

“Hish, ya nggak secepat ini. Tapi apa Mas Yongki yakin sama aku?”

“Sangat-sangat yakin sekali. Minggu depan aja kita sama-sama ke rumah ayahmu, lalu ke ibu pantimu. Aku ingin melamarmu. Biar kamu nggak usah capek lagi kerja buat kuliah. Biar aku yang biayain semuanya. Kamu tinggal duduk manis, mikir skripsi.”

“Naik pangkat dong aku. Jadi istri bos. Berasa jadi Cinderella masa kini.”

Keduanya tergelak.

Alula kembali terisak mengingat salah satu kebersamaan bersama Yongki.

Yongki pria baik yang benar-benar menjaga Alula. Selama dekat, pria itu tidak pernah melewati batas. Paling dekat hanya sebatas berboncengan sepeda motor. Gandengan tangan pun Alula tidak mau.

Seperti buah simalakama, Alula serba bingung. Jika kembali ke kos-kosan, ia takut keluarga tirinya akan kembali mengusik dan menyakiti. Namun, jika menemui Yongki untuk meminta maaf, belum tentu pria itu mau menemui. Ia takut Yongki membencinya. Lalu ke mana?

“Mas Yongki.” Nama itu selalu disebut Alula. Nama yang ia juga belum tahu kini telah resmi menjadi saudara iparnya atau belum.

“Alula.” Sebuah suara sekaligus sentuhan dirasakan Alula. Ia mengangkat kepala, lalu menghapus air matanya kasar.

“Eh, Bu Nur?” Alula ingin berdiri, tetapi ditahan oleh Nur.

“Kamu sedang ada masalah?” tanya Nur hati-hati.

“Atau jangan-jangan kamu hamil di luar nikah?” todong Lutfan, membuat Alula melotot.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status