“Permisi, itu mahasiswi saya!” Suara Lutfan sangat keras hingga orang yang awalnya berjubel sedikit merenggang. Cepat-cepat pria tersebut melihat korban yang dikerumuni beberapa orang.
“Dia orang gi*la yang sering wara-wiri di sini, Mas. Apa mungkin dia seorang mahasiswi?” Suara seorang pria membuat kaki Lutfan mendadak kaku.
“A-apa? Orang gi*la?” Lutfan memicing, lalu melihat dengan saksama wanita yang wajahnya sudah berlumuran darah tersebut. Bajunya bukan baju yang dipakai Alula, kepalanya pun tertutup hijab ala kadarnya, tidak seperti Alula yang memakai hijab abu-abu panjang.
“Oh, maaf. Saya salah orang. Saya pikir tadi mahasiswi saya yang juga baru saja melintas di sini.” Lutfan menjelaskan.
“Huuu!” Sorakan orang-orang terdengar.
Lutfan kemudian mengurai diri dari kerumunan itu. Ia berkacak pinggang sambil membetulkan kacamata tebalnya.
“Astagfirullah! Kena prank! Bikin malu. Lalu di mana gadis itu?” Mata Lutfan menyisir sekitar sampai beberapa kali. Pada satu titik, ia melihat seorang wanita duduk di bawah pohon. Kembali ia menajamkan penglihatan dengan melepas dan membetulkan kacamata beberapa kali. Setelah merasa yakin itu Alula, pria tonggos itu kembali mendekati sang ibu.
“Bu, yang tertabrak bukan Alula, tapi orang gila. Alula ada di sana kayaknya, tuh.” Lutfan menunjuk keberadaan yang disinyalir itu Alula.
“Alhamdulillah kalau itu bukan Alula. Ibu sudah takut tadi. Kamu yakin yang di sana Alula?”
Lutfan mengangguk. “Kayaknya iya.”
“Ayo kita temui dia.”
“Buat apa? Nggak perlu. Cukup tahu saja kalau gadis itu baik-baik saja, nggak kenapa-napa.”
“Fan, Ibu rasa dia ada dalam masalah pelik. Ibu takut dia nekat. Setidaknya kita antar dulu dia kembali ke kosan dan memastikan dia aman.” Nur turun, lalu berjalan menghampiri Alula.
“Bu, jangan berlebihan. Dia bukan anak kecil yang harus dikhawatirkan seperti ini. Dia sudah besar, punya keluarga.”
“Ibu nggak berlebihan, Fan. Tapi naluri Ibu sebagai wanita, nggak bisa membiarkan dia begitu saja. Sebagai wanita, Ibu bisa membaca matanya yang redup seperti memendam kesedihan begitu besar. Kamu nggak akan ngerti. Dan dia bilang tadi hidup sebatang kara. Kalau kamu nggak mau ikut, di sini aja.”
Nur turun dari mobil, lalu berjalan menuju Alula.
“Ck, heran sama Ibu.” Lutfan berdecak, tetapi tetap mengikuti langkah sang ibu.
Alula menyender pada pohon. Ia duduk tanpa alas. Sesekali tangannya melempar kerikil ke hadapannya. Sementara di depan, ada rel kereta. Tidak lama kemudian, bunyi peringatan begitu kencang terdengar, tanda kereta akan lewat. Tidak butuh waktu lama, alat transportasi sangat panjang itu melintas dengan suaranya yang menggelegar.
“Aaa!” Alula berteriak sangat kencang sambil menutup kedua mata dan telinganya.
“Mas Yongkiii!” teriaknya lagi. Lalu, ia menangis dan membenamkan kepalanya di antara kedua kaki yang ditekuk.
Semuanya sudah berakhir. Impian indahnya bersanding dengan pria yang membuatnya nyaman telah sirna.
“La, kita nikah sekarang aja, ya? Nanti pas kamu skripsi, aku bisa bantu. Free. Tapi kalau nikahnya nanti, bantuan untuk skripsimu berbayar,” kelakar Yongki kala itu.
“Halah, Mas Yongki modus. Nikah itu nggak seindah yang terlihat, lho, Mas. Kalau ternyata aku nggak sesuai harapan Mas Yongki gimana?”
“Aku akan tetap terima. Aku nggak akan nikah kecuali sama kamu. Nek ra kowe, ora wae.” Yongki menyanyikan penggalan lirik salah satu lagu di akhir kalimat.
“Tapi kalau embel-embelnya ada bantuan garap skripsi, boleh juga sih.”
“Beneran mau?”
Alula diam.
“Katakan di mana dan kapan kamu siap aku lamar. Sekarang aja ayo.”
“Hish, ya nggak secepat ini. Tapi apa Mas Yongki yakin sama aku?”
“Sangat-sangat yakin sekali. Minggu depan aja kita sama-sama ke rumah ayahmu, lalu ke ibu pantimu. Aku ingin melamarmu. Biar kamu nggak usah capek lagi kerja buat kuliah. Biar aku yang biayain semuanya. Kamu tinggal duduk manis, mikir skripsi.”
“Naik pangkat dong aku. Jadi istri bos. Berasa jadi Cinderella masa kini.”
Keduanya tergelak.
Alula kembali terisak mengingat salah satu kebersamaan bersama Yongki.
Yongki pria baik yang benar-benar menjaga Alula. Selama dekat, pria itu tidak pernah melewati batas. Paling dekat hanya sebatas berboncengan sepeda motor. Gandengan tangan pun Alula tidak mau.
Seperti buah simalakama, Alula serba bingung. Jika kembali ke kos-kosan, ia takut keluarga tirinya akan kembali mengusik dan menyakiti. Namun, jika menemui Yongki untuk meminta maaf, belum tentu pria itu mau menemui. Ia takut Yongki membencinya. Lalu ke mana?
“Mas Yongki.” Nama itu selalu disebut Alula. Nama yang ia juga belum tahu kini telah resmi menjadi saudara iparnya atau belum.
“Alula.” Sebuah suara sekaligus sentuhan dirasakan Alula. Ia mengangkat kepala, lalu menghapus air matanya kasar.
“Eh, Bu Nur?” Alula ingin berdiri, tetapi ditahan oleh Nur.
“Kamu sedang ada masalah?” tanya Nur hati-hati.
“Atau jangan-jangan kamu hamil di luar nikah?” todong Lutfan, membuat Alula melotot.
“Fan, jaga bicaramu! Dosa memfitnah wanita baik-baik dengan tuduhan kayak gitu!” Nur memukul pelan lengan sang putra.“Lalu apa lagi, Bu? Wanita sakit sendirian di rumah sakit, lalu nangis nggak jelas.”Alula terkekeh, tetapi air matanya terjatuh.“Apa saya terlihat seperti wanita serendah itu, Pak? Apa wanita sakit, sendirian di rumah sakit, lalu menangis, itu semua wanita nggak bener seperti yang Bapak pikirkan?”“Alula, jangan–““Apa bagi Bapak wanita sakit itu selalu hamil? Apa rumah sakit hanya untuk wanita hamil? Orang selain hamil nggak boleh ke rumah sakit?" Alula tersenyum kecut. "Nggak nyangka, orang berpendidikan seperti Bapak punya pemikiran begitu picik,” ujar Alula lemah, memotong perkataan Nur.“Fan! Pergi kamu dari sini kalau cuma bikin suasana hati orang buruk!” usir Nur.Lutfan terdiam. Ia sadar telah salah bicara. Yang ada di pikiran pria itu, sekarang sedang marak wanita hamil duluan dan entah mengapa ia merasa Alula salah satunya.Alula menatap dosen buruk rupa it
“Alula! Kamu masih hidup ternyata!” lanjut pria itu.Alula menoleh dan saat itu juga, sebuah undangan dilemparkan ke wajahnya. Wanita itu terpejam sambil mengatur napas.“Datanglah ke resepsi pernikahan Aruni dan Yongki. Kalau kamu nggak datang, berarti kamu pecundang, cemen,” ledek Adi.“Tadi aku ke sini mau ngundang pemilik kos-kosanmu. Sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah berkenan ketika kusuruh mengusirmu, tapi ternyata kamu ada di sini. Ya udah, undangannya buat kamu aja,” lanjut pria pemilik sebuah bengkel sepeda motor tersebut.Alula masih diam. Ia menunduk, menatap undangan itu. Undangannya dan Yongki sudah selesai dicetak dan sudah disebar, tetapi sekarang ia menerima undangan baru atas nama wanita lain sebagai pendamping Yongki.Alula baru tahu kalau Aruni benar-benar sudah merebut sang tunangan darinya. Lalu bagaimana caranya nanti mengatakan kalau pernikahannya dan Yongki telah batal padahal undangan sudah disebar? PR berat untuk Alula.Pandangan Alula kosong. Ia
Bangunan yang didatangi Alula adalah panti asuhan. Di bangunan itulah, ia merasa dimanusiakan oleh manusia. Di situ, ia mendapatkan kasih sayang meski bukan dari kerabat. Sementara yang tersambung darah, tidak pernah terasa dekat.Alula ambruk di bawah kaki Jannah, ibu asuh sekaligus pemilik panti.“Alulaa, bangun, Nak. Jangan kayak gini. Ada apa?” Jannah mencekal lengan Alula, memintanya bangkit. Ia menatap koper yang dibawa Alula dengan perasaan bingung.Alula menggeleng, terus menangis, dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.“Bukannya beberapa hari lalu kamu baru nikah? Apa suamimu menyakitimu? Mengusirmu?” tanya Jannah yang sudah diberitahu sebelumnya tentang pernikahan Alula. Namun, tidak diminta menjadi saksi pernikahan.Tangis Alula kian kencang. Bukan, bukan Yongki yang menyakitinya, tetapi ia yang mungkin telah menyakiti pria yang selama ini begitu baik dengannya tersebut. Wanita itu tidak bisa membayangkan seperti apa ekspresi kecewa yang ditunjukkan Yongki jika n
Yongki hanya melihat sekilas ketika sang istri menggoda. “Bang.” Aruni mendekat, mengalungkan lengan di leher sang suami. “Ini masih siang, Run.” Yongki melepaskan tangan Aruni ketika wajah wanita itu mendekati wajahnya. Yongki paham, Aruni akan menciumnya. “Dari kemarin kamu terus mengabaikanku. Kenapa? Apa kamu masih kepikiran Alula?” Aruni meraba dada sang suami lembut. Ya! Yongki ingin berteriak kata itu di hadapan Aruni. Namun, ia tahan demi menjaga perasaan sang istri. Ia mencoba bersabar menghadapi Aruni. Menghapus pahatan perasaan tidak semudah menghapus tulisan di atas tanah. Ada pepatah yang mengatakan cinta bisa tumbuh pada pandangan pertama, tetapi melupakannya tidak semudah membuka mata. “Aku mau ada urusan. Mau mandi bentar, nanti mau ke laundry daerah Jalan Hayam Wuruk. Katanya, di sana setrikanya rusak.” Yongki beralasan. Ia mendorong pelan tubuh Aruni, lantas berjalan menuju lemari. Aruni kembali memeluk Yongki dari belakang. “Sentuh aku, Bang. Aku pasrahkan dir
Alula menunduk, berusaha abai dengan kedatangan Yongki. Ia mengikat kuat kasur busanya dengan tali rafia sampai tangannya terasa panas. Ia lampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan sedihnya pada tali tersebut. Satu bulir air matanya lolos dan dihapus kasar. Ia belum berani menatap pria itu.“Harusnya aku marah sama kamu, memakimu. Tapi aku nggak bisa. Aku takluk dengan perasaanku sendiri saat melihatmu. Katakan, apa salahku sampai kamu menghilang kemarin?” Yongki kembali mencecar.Alula mempercepat berkemasnya. Semua buku sudah dimasukkan ke koper. Tinggal mengikat kasur agar mudah diboncengnya.“Alula, jangan diam saja!” Kali ini, suara Yongki meninggi. Ia mencekal lengan Alula, tetapi lekas ditepis kasar.“Lalu aku harus apa selain diam? Lalu aku harus apa saat keluarga tiriku menyuruhku pergi, membuangku sampai aku sekarat. Kamu malah menikahi orang yang selalu membuat hidupku menderita. Kamu pikir aku harus apa?” Sesuai perkataan Jannah, Alula memilih jujur.“Alula, apa maksudmu? Kamu
Alula tertawa sumbang.“Nggak ada kata cemburu pada suami orang dalam kamus hidupku. Pulanglah! Aku nggak mau ada masalah karena kamu ada di sini. Kalau Aruni atau keluargamu sampai tahu, aku yang kena!”“Anggap ini bantuanku untuk yang terakhir. Setelah ini, sesuai permintaanmu, aku akan jadi suami yang baik untuk Aruni. Apa kamu puas?”Tanpa memedulikan raut wajah tidak suka dari Alula, Yongki menurunkan kasur dan memasukkannya ke gedung panti. Mau tidak mau, Alula mengekor.“Loh, ada Yongki?” Jannah yang baru datang dari dalam rumahnya, memicing ketika melihat ada pria itu di sana.Yongki tersenyum, menghampiri Jannah setelah menurunkan kasur, dan mencium tangan wanita paruh baya itu takzim.“Tadi kebetulan ketemu Alula di kos-kosannya. Lihat dia bawa barang banyak, nggak tega. Makanya aku ikuti sampai sini,” tutur Yongki tanpa diminta.Jannah hanya manggut-manggut. "Ibu kira kalian memamg janjian ketemuan.""Enggak, Bu."Sementara Alula berdiri di ambang teras gedung panti dengan
Aruni malah tertawa. “Laporkan, ayo laporkan ke polisi. Ada bukti? Ada saksi?”Yongki tersenyum miring. “Tidak perlu saksi atau bukti. Alula sebagai korban sudah cukup untuk menjebloskan kalian ke penjara! Kalian benar-benar licik! Pernikahan kita ini tidak sah! Aruni, aku men–”“Yongki, Aruni, kenapa kalian ribut-ribut?” Rohima yang tidak sengaja mendengar pertengkaran itu, menegur.Ucapan talak yang hampir diucapkan Yongki terputus.“Ma, Bang Yongki jahat! Dia baru pulang malam-malam begini gara-gara habis nemuin Alula.” Aruni berlari ke arah Rohima dan memeluk mertuanya itu sambil terisak.Meski baru kenal, Rohima memang sangat menyukai Aruni karena merasa sang menantu asal-usulnya jelas dan dari keluarga cukup terpandang. Tidak seperti Alula yang berasal dari wanita perebut suami orang.“Ki, benar apa yang dikatakan istrimu?”“Separuh benar dan setengahnya salah,” jawab Yongki.“Mama nggak mau lagi kejadian kayak gini terulang. Ini baru beberapa hari kalian nikah, tapi kamu sudah
“A-apa? Ni-nikah?” Alula mengucapkannya dengan terbata-bata.Wanita itu kembali menelisik pria di samping Jasman yang terlihat sebagai pria tidak normal. Pria asing itu tersenyum-senyum tidak jelas kala menatap Alula.Yongki tidak kalah syok. Ia sebenarnya ingin memaki sang mertua karena menjodohkan Alula dengan pria aneh seperti itu. Namun, ia menahan diri. Bagaimanapun juga, ia harus hormat pada yang lebih tua. Ia akan mencari cara untuk melindungi Alula agar perjodohan tidak akan terjadi.“Pa, aku setuju banget kalo Alula nikah sama pria ini. Siapa namanya?” tanya Aruni antusias.“Namanya Sandy. Sandy, sapa Alula,” ujar Jasman.Sandi mengangsurkan tangan. “Hai, namaku Sandy.”Dengan tangan gemetar dan mata berkabut, Alula hanya menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. “Alula.”Kenyataan kalau ayahnya menjodohkannya dengan pria ini, lebih mengiris hati daripada melepaskan Yongki. Ayahnya begitu tega.Tanpa membuang banyak waktu, Alula memilih bangkit dan ingin pergi sejauhnya