“Jangan! Baiklah, perhiasanmu saya terima dengan terpaksa.” Nur pun menerima, lalu memasukkan perhiasan Alula ke dalam tas.
“Sudah. Puas kamu?” lanjut Nur sambil menatap Alula.
Alula tersenyum, lalu mengangguk.
“Baiklah, Sus. Sekarang infusnya boleh dilepas,” ucap Alula.
Dengan hati-hati, perawat akhirnya melepas jarum infus dari punggung tangan Alula.
“Sudah selesai. Sekarang sudah boleh pulang. Jaga kesehatan, ya, Mbak. Jangan lupa pola makan dan istirahatnya dijaga,” pesan perawat.
“Iya, Sus. Terima kasih.”
“Sama jangan lupa, tebus obat di apotek. Sudah?"
Alula menggeleng.
"Ambil dulu obatnya, cukup tunjukkan resep dan nota pembayaran. Kalau begitu, saya permisi."
Ucapan perawat ditanggapi Alula dan Nur dengan anggukan dan ucapan terima kasih.
Tepat saat perawat keluar ruang rawat, ponsel Nur berdering. Ia meminta izin Alula mengangkat telepon dan mengode agar Alula tetap diam di tempat, tidak keluar ruangan dulu.
“Waalaikumussalam. Iya, Le.” Nur berbicara dengan ponselnya.
Alula hanya menunduk sambil mengelus bekas jarum infus yang dipasang plester. Ia berharap tidak lagi masuk rumah sakit.
Biasanya, ketika sakit Alula hanya minum obat dari apotek atau periksa di klinik dokter yang praktik pribadi, tidak sampai dibawa ke rumah sakit.
“Ibu ada di ruang Mina, lantai tiga, kamar nomor 4B. Kesinilan. Letaknya di seberang ruang Mekah.”
“Ya, Ibu tunggu.”
Panggilan pun dimatikan.
“Anak saya telepon. Biar dia ke sini. Nanti saya kenalkan ke kamu,” ujar Nur kepada Alula.
Alula hanya mengangguk.
“Oh, ya, kamu tinggal di mana tadi? Purwoasri?”
“Purwoasri alamat saya, tapi saat ini saya ngekos, Bu. Di daerah Ngronggo, dekat kampus STAIN. Di kampus itu saya kuliah.”
“Oh, ya? Ambil jurusan apa?”
“Saya ambil PAI. Saya bercita-cita menjadi seorang guru. Kata ustaz saya, jadi manusia harus bisa memberi manfaat untuk orang lain. Dan saya memilih menjadi guru.”
“Masyaallah, cita-cita yang mulia. Semoga dilancarkan kuliahnya, ya? Semester berapa?”
“Saya semester–“
“Assalamualaikum.”
Ucapan Alula terjeda saat sebuah salam terdengar dari pintu. Ia dan Nur menjawab secara serentak. “Waalaikumussalam.”
“Aku nyari Ibu di ruangan Bu Lastri tadi. Ternyata di sini.” Seorang pria masuk begitu saja, lalu mencium tangan Nur takzim.
“Iya, tadi jenguk sebentar. Kayaknya Bu Lastri juga sudah diperbolehkan pulang.”
Keduanya bercakap-cakap begitu akrab. Alula sempat melongo saat melihat pria itu. Namun, ia berusaha kembali menguasai diri.
“Oh, ya, kenalkan. Ibu punya teman baru. Namanya Alula. Alula, ini putra saya. Namanya Lutfan,” ujar Nur dengan semangat.
Pandangan Alula dan Lutfan bertubrukan untuk beberapa saat. Alula mengangguk sekilas.
“Kayak nggak asing sama kamu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Lutfan.
“Iya. Bapak salah satu dosen di kampus saya, tapi kebetulan saya tidak diajar sama Bapak. Jadi wajar kalau wajah saya tidak asing,” jawab Alula sambil mengangguk sekilas tanda hormat.
Jangan dibayangkan kalau Lutfan itu seorang dosen muda nan tampan yang digandrungi para mahasiswi. Justru sebaliknya. Pria itu dikenal sebagai dosen culun, berkacamata, bergigi maju, rambut klimis bersisir tengah, dan bajunya selalu dikancingkan sampai atas. Alih-alih memanggil Pak Lut, para mahasiswa kadang menjulukinya Pak Lun; Pak Culun.
Dosen itu juga sangat tegas. Lebih tepatnya galak. Itulah sebabnya ia bukanlah idola di kampus. Meski tegas, pria itu dosen yang penjelasannya jelas dan lugas.
“Alhamdulillah. Dunia ini begitu sempit. Ternyata kalian sudah saling bertemu sebelumnya. Ibu juga baru ingat kalau Alula tadi nyebut kampus STAIN. Nggak kepikiran kalau kamu juga ngajar di sana, Fan.” Nur tertawa.
Lutfan dan Alula hanya tersenyum.
“Kamu nanti pulangnya bagaimana, La?” tanya Nur sambil menatap Alula.
“Entahlah nanti, Bu. Saya ke sini hanya bawa pakaian yang melekat saja. Mungkin nanti nyari ojek pangkalan saja biar bisa bayar pas tiba di kosan nanti,” jawab Alula.
“Bagaimana kalau bareng saya?”
“Nggak usah, Bu. Saya sudah terlalu merepotkan. Sekali lagi terima kasih. Nanti kalau uangnya sudah terkumpul, saya akan mendatangi Pak Lun, eh, Pak Lut untuk melunasi hutang saya.”
“Pak Lun? Ketularan anak-anak manggil saya gitu kamu?” gerutu Lutfan.
“Maaf.” Alula menyengir tidak enak.
“Jangan dibuat beban pikiran masalah tadi.” Nur menambahkan.
Lutfan memicing ke arah sang ibu. Pria itu hafal betul tabiat Nur yang kelewat baik kepada orang tidak pandang bulu dan masalahnya, Alula orang baru bagi ibunya. Ia sudah bisa menebak, mungkin sang ibu membantu Alula masalah biaya karena Alula menyebut kata uang.
“Ayo, Bu. Kita pulang.” Lutfan menggandeng tangan ibunya.
“Ayo. Alula, mari keluar sama-sama. Kamu beneran nggak mau dianter? Fan, kita antar Alula ke kosannya, ya. Kasihan, lho, masih lemes.”
“Bu, beneran nggak usah. Saya sudah terbiasa hidup di lingkungan keras. Tubuh lemas tidak membuat saya cemas apalagi malas. Saya ini wanita setrong,” ujar Alula sambil tersenyum.
Nur pun tertawa. Lutfan hanya memerhatikan sambil menatap Alula lekat. Selain culun, pria itu sedikit dingin, jarang bisa berbasa-basi.
“Saya juga masih mau ke apotek, Bu. Ambil obat. Ibu bisa duluan.”
“Nah, biar Lutfan aja. Fan, tolong ambilkan obat Alula. Resepnya mana, La?”
“Bu, nggak usah. Saya bisa sendiri.”
“Nggak apa-apa. Biar Lutfan aja. Kamu masih lemes.”
Nur mencari sendiri resep obat Alula yang jadi satu dengan nota pembayaran, lalu menyerahkan pada Lutfan.
“Fan, tolong, ya?” pinta Nur dengan mimik memelas.
Kalau sudah seperti itu, Lutfan tidak bisa menolak.
Ketika masih menunggu Lutfan, Nur dan Alula duduk di bangku tak jauh dari apotek rumah sakit. Keduanya berbincang-bincang hangat.
Setelah obat didapat, Nur jalan bersisian dengan Alula menuju lobi. Sepanjang berjalan, keduanya asyik mengobrol. Lutfan yang berjalan di belakang hanya menyimak. Tiba di lobi, Alula masih sempat mencium tangan Nur takzim sebelum pergi. Sementara Lutfan masih mengambil mobil di parkiran.
“Jaga diri baik-baik, La. Jaga kesehatan. Jangan masuk sini lagi.”
“Pasti, Bu. Ibu juga, jaga kesehatan. Kalau saya pengen ketemu sama Ibu bagaimana?”
Nur terkekeh. “Kalau rindu mau ketemu sama saya, cukup datangi Lutfan di kampus. Mintalah alamat saya ke dia. Karena, saya tidak bisa memberi alamat sembarangan ke orang. Lutfan suka marah.”
“Pasti saya akan datangi Ibu karena ibu saya ada di Ibu. Kalung maksudnya.” Alula tersenyum.
“Asyik rasanya ngobrol sama kamu. Ya sudah, hati-hati di jalan.”
Alula mengangguk, lalu berjalan menuju jalan raya. Mata Nur terus mengawasi sampai Alula hilang dari pandangan. Saat bersamaan, Lutfan datang dengan mobilnya. Nur pun masuk.
“Ibu, kok, nggak tega lihat Alula. Dia lagi nggak pegang uang sama sekali. Susul dia, yuk, Fan. Kita antar pulang.”
“Ibu ini jangan terlalu baik sama orang asing. Apalagi baru dikenal. Kebiasaan. Ini yang aku takutkan kalau Ibu di luar rumah,” ujar Lutfan seiring sang ibu yang duduk di kursi sampingnya.
“Orang asing gimana? Dia mahasiswi di kampusmu, kan? Itu berarti kamu juga bertanggung jawab mengayomi anak didikmu. Udah, ayo susul. Ngantar dia bentar nggak ngabisin bensin banyak. Firasat Ibu nggak enak.” Nur terus mengomel.
“Baiklah, Kanjeng Ibu.”
Lutfan tidak punya pilihan lain selain menuruti pinta sang ibu. Mobil berjalan lambat menyisir jalan raya di mana Nur melihat Alula tadi berbelok.
Di depan mereka, ada keramaian. Nur membuka jendela dan bertanya kepada seseorang apa yang terjadi.
“Ada apa rame-rame, Pak?”
“Ada wanita berkerudung tertabrak kereta, Bu.”
“Apa! Fan, turun, lihat. Ibu takut itu Alula.”
Lutfan bergegas turun setelah mendengar kekhawatiran sang ibu. Pria itu menyibak kerumunan.
“Permisi-permisi, itu mahasiswi saya!”
“Permisi, itu mahasiswi saya!” Suara Lutfan sangat keras hingga orang yang awalnya berjubel sedikit merenggang. Cepat-cepat pria tersebut melihat korban yang dikerumuni beberapa orang.“Dia orang gi*la yang sering wara-wiri di sini, Mas. Apa mungkin dia seorang mahasiswi?” Suara seorang pria membuat kaki Lutfan mendadak kaku.“A-apa? Orang gi*la?” Lutfan memicing, lalu melihat dengan saksama wanita yang wajahnya sudah berlumuran darah tersebut. Bajunya bukan baju yang dipakai Alula, kepalanya pun tertutup hijab ala kadarnya, tidak seperti Alula yang memakai hijab abu-abu panjang.“Oh, maaf. Saya salah orang. Saya pikir tadi mahasiswi saya yang juga baru saja melintas di sini.” Lutfan menjelaskan.“Huuu!” Sorakan orang-orang terdengar.Lutfan kemudian mengurai diri dari kerumunan itu. Ia berkacak pinggang sambil membetulkan kacamata tebalnya. “Astagfirullah! Kena prank! Bikin malu. Lalu di mana gadis itu?” Mata Lutfan menyisir sekitar sampai beberapa kali. Pada satu titik, ia melihat
“Fan, jaga bicaramu! Dosa memfitnah wanita baik-baik dengan tuduhan kayak gitu!” Nur memukul pelan lengan sang putra.“Lalu apa lagi, Bu? Wanita sakit sendirian di rumah sakit, lalu nangis nggak jelas.”Alula terkekeh, tetapi air matanya terjatuh.“Apa saya terlihat seperti wanita serendah itu, Pak? Apa wanita sakit, sendirian di rumah sakit, lalu menangis, itu semua wanita nggak bener seperti yang Bapak pikirkan?”“Alula, jangan–““Apa bagi Bapak wanita sakit itu selalu hamil? Apa rumah sakit hanya untuk wanita hamil? Orang selain hamil nggak boleh ke rumah sakit?" Alula tersenyum kecut. "Nggak nyangka, orang berpendidikan seperti Bapak punya pemikiran begitu picik,” ujar Alula lemah, memotong perkataan Nur.“Fan! Pergi kamu dari sini kalau cuma bikin suasana hati orang buruk!” usir Nur.Lutfan terdiam. Ia sadar telah salah bicara. Yang ada di pikiran pria itu, sekarang sedang marak wanita hamil duluan dan entah mengapa ia merasa Alula salah satunya.Alula menatap dosen buruk rupa it
“Alula! Kamu masih hidup ternyata!” lanjut pria itu.Alula menoleh dan saat itu juga, sebuah undangan dilemparkan ke wajahnya. Wanita itu terpejam sambil mengatur napas.“Datanglah ke resepsi pernikahan Aruni dan Yongki. Kalau kamu nggak datang, berarti kamu pecundang, cemen,” ledek Adi.“Tadi aku ke sini mau ngundang pemilik kos-kosanmu. Sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah berkenan ketika kusuruh mengusirmu, tapi ternyata kamu ada di sini. Ya udah, undangannya buat kamu aja,” lanjut pria pemilik sebuah bengkel sepeda motor tersebut.Alula masih diam. Ia menunduk, menatap undangan itu. Undangannya dan Yongki sudah selesai dicetak dan sudah disebar, tetapi sekarang ia menerima undangan baru atas nama wanita lain sebagai pendamping Yongki.Alula baru tahu kalau Aruni benar-benar sudah merebut sang tunangan darinya. Lalu bagaimana caranya nanti mengatakan kalau pernikahannya dan Yongki telah batal padahal undangan sudah disebar? PR berat untuk Alula.Pandangan Alula kosong. Ia
Bangunan yang didatangi Alula adalah panti asuhan. Di bangunan itulah, ia merasa dimanusiakan oleh manusia. Di situ, ia mendapatkan kasih sayang meski bukan dari kerabat. Sementara yang tersambung darah, tidak pernah terasa dekat.Alula ambruk di bawah kaki Jannah, ibu asuh sekaligus pemilik panti.“Alulaa, bangun, Nak. Jangan kayak gini. Ada apa?” Jannah mencekal lengan Alula, memintanya bangkit. Ia menatap koper yang dibawa Alula dengan perasaan bingung.Alula menggeleng, terus menangis, dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.“Bukannya beberapa hari lalu kamu baru nikah? Apa suamimu menyakitimu? Mengusirmu?” tanya Jannah yang sudah diberitahu sebelumnya tentang pernikahan Alula. Namun, tidak diminta menjadi saksi pernikahan.Tangis Alula kian kencang. Bukan, bukan Yongki yang menyakitinya, tetapi ia yang mungkin telah menyakiti pria yang selama ini begitu baik dengannya tersebut. Wanita itu tidak bisa membayangkan seperti apa ekspresi kecewa yang ditunjukkan Yongki jika n
Yongki hanya melihat sekilas ketika sang istri menggoda. “Bang.” Aruni mendekat, mengalungkan lengan di leher sang suami. “Ini masih siang, Run.” Yongki melepaskan tangan Aruni ketika wajah wanita itu mendekati wajahnya. Yongki paham, Aruni akan menciumnya. “Dari kemarin kamu terus mengabaikanku. Kenapa? Apa kamu masih kepikiran Alula?” Aruni meraba dada sang suami lembut. Ya! Yongki ingin berteriak kata itu di hadapan Aruni. Namun, ia tahan demi menjaga perasaan sang istri. Ia mencoba bersabar menghadapi Aruni. Menghapus pahatan perasaan tidak semudah menghapus tulisan di atas tanah. Ada pepatah yang mengatakan cinta bisa tumbuh pada pandangan pertama, tetapi melupakannya tidak semudah membuka mata. “Aku mau ada urusan. Mau mandi bentar, nanti mau ke laundry daerah Jalan Hayam Wuruk. Katanya, di sana setrikanya rusak.” Yongki beralasan. Ia mendorong pelan tubuh Aruni, lantas berjalan menuju lemari. Aruni kembali memeluk Yongki dari belakang. “Sentuh aku, Bang. Aku pasrahkan dir
Alula menunduk, berusaha abai dengan kedatangan Yongki. Ia mengikat kuat kasur busanya dengan tali rafia sampai tangannya terasa panas. Ia lampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan sedihnya pada tali tersebut. Satu bulir air matanya lolos dan dihapus kasar. Ia belum berani menatap pria itu.“Harusnya aku marah sama kamu, memakimu. Tapi aku nggak bisa. Aku takluk dengan perasaanku sendiri saat melihatmu. Katakan, apa salahku sampai kamu menghilang kemarin?” Yongki kembali mencecar.Alula mempercepat berkemasnya. Semua buku sudah dimasukkan ke koper. Tinggal mengikat kasur agar mudah diboncengnya.“Alula, jangan diam saja!” Kali ini, suara Yongki meninggi. Ia mencekal lengan Alula, tetapi lekas ditepis kasar.“Lalu aku harus apa selain diam? Lalu aku harus apa saat keluarga tiriku menyuruhku pergi, membuangku sampai aku sekarat. Kamu malah menikahi orang yang selalu membuat hidupku menderita. Kamu pikir aku harus apa?” Sesuai perkataan Jannah, Alula memilih jujur.“Alula, apa maksudmu? Kamu
Alula tertawa sumbang.“Nggak ada kata cemburu pada suami orang dalam kamus hidupku. Pulanglah! Aku nggak mau ada masalah karena kamu ada di sini. Kalau Aruni atau keluargamu sampai tahu, aku yang kena!”“Anggap ini bantuanku untuk yang terakhir. Setelah ini, sesuai permintaanmu, aku akan jadi suami yang baik untuk Aruni. Apa kamu puas?”Tanpa memedulikan raut wajah tidak suka dari Alula, Yongki menurunkan kasur dan memasukkannya ke gedung panti. Mau tidak mau, Alula mengekor.“Loh, ada Yongki?” Jannah yang baru datang dari dalam rumahnya, memicing ketika melihat ada pria itu di sana.Yongki tersenyum, menghampiri Jannah setelah menurunkan kasur, dan mencium tangan wanita paruh baya itu takzim.“Tadi kebetulan ketemu Alula di kos-kosannya. Lihat dia bawa barang banyak, nggak tega. Makanya aku ikuti sampai sini,” tutur Yongki tanpa diminta.Jannah hanya manggut-manggut. "Ibu kira kalian memamg janjian ketemuan.""Enggak, Bu."Sementara Alula berdiri di ambang teras gedung panti dengan
Aruni malah tertawa. “Laporkan, ayo laporkan ke polisi. Ada bukti? Ada saksi?”Yongki tersenyum miring. “Tidak perlu saksi atau bukti. Alula sebagai korban sudah cukup untuk menjebloskan kalian ke penjara! Kalian benar-benar licik! Pernikahan kita ini tidak sah! Aruni, aku men–”“Yongki, Aruni, kenapa kalian ribut-ribut?” Rohima yang tidak sengaja mendengar pertengkaran itu, menegur.Ucapan talak yang hampir diucapkan Yongki terputus.“Ma, Bang Yongki jahat! Dia baru pulang malam-malam begini gara-gara habis nemuin Alula.” Aruni berlari ke arah Rohima dan memeluk mertuanya itu sambil terisak.Meski baru kenal, Rohima memang sangat menyukai Aruni karena merasa sang menantu asal-usulnya jelas dan dari keluarga cukup terpandang. Tidak seperti Alula yang berasal dari wanita perebut suami orang.“Ki, benar apa yang dikatakan istrimu?”“Separuh benar dan setengahnya salah,” jawab Yongki.“Mama nggak mau lagi kejadian kayak gini terulang. Ini baru beberapa hari kalian nikah, tapi kamu sudah