Share

6. Itu Mahasiswi Saya!

“Jangan! Baiklah, perhiasanmu saya terima dengan terpaksa.” Nur pun menerima, lalu memasukkan perhiasan Alula ke dalam tas.

“Sudah. Puas kamu?” lanjut Nur sambil menatap Alula.

Alula tersenyum, lalu mengangguk.

“Baiklah, Sus. Sekarang infusnya boleh dilepas,” ucap Alula.

Dengan hati-hati, perawat akhirnya melepas jarum infus dari punggung tangan Alula.

“Sudah selesai. Sekarang sudah boleh pulang. Jaga kesehatan, ya, Mbak. Jangan lupa pola makan dan istirahatnya dijaga,” pesan perawat.

“Iya, Sus. Terima kasih.”

“Sama jangan lupa, tebus obat di apotek. Sudah?"

Alula menggeleng.

"Ambil dulu obatnya, cukup tunjukkan resep dan nota pembayaran. Kalau begitu, saya permisi."

Ucapan perawat ditanggapi Alula dan Nur dengan anggukan dan ucapan terima kasih.

Tepat saat perawat keluar ruang rawat, ponsel Nur berdering. Ia meminta izin Alula mengangkat telepon dan mengode agar Alula tetap diam di  tempat, tidak keluar ruangan dulu.

“Waalaikumussalam. Iya, Le.” Nur berbicara dengan ponselnya.

Alula hanya menunduk sambil mengelus bekas jarum infus yang dipasang plester. Ia berharap tidak lagi masuk rumah sakit.

Biasanya, ketika sakit Alula hanya minum obat dari apotek atau periksa di klinik dokter yang praktik pribadi, tidak sampai dibawa ke rumah sakit. 

“Ibu ada di ruang Mina, lantai tiga, kamar nomor 4B. Kesinilan. Letaknya di seberang ruang Mekah.”

“Ya, Ibu tunggu.”

Panggilan pun dimatikan.

“Anak saya telepon. Biar dia ke sini. Nanti saya kenalkan ke kamu,” ujar Nur kepada Alula.

Alula hanya mengangguk.

“Oh, ya, kamu tinggal di mana tadi? Purwoasri?”

“Purwoasri alamat saya, tapi saat ini saya ngekos, Bu. Di daerah Ngronggo, dekat kampus STAIN. Di kampus itu saya kuliah.”

“Oh, ya? Ambil jurusan apa?”

“Saya ambil PAI. Saya bercita-cita menjadi seorang guru. Kata ustaz saya, jadi manusia harus bisa memberi manfaat untuk orang lain. Dan saya memilih menjadi guru.”

“Masyaallah, cita-cita yang mulia. Semoga dilancarkan kuliahnya, ya? Semester berapa?”

“Saya semester–“

“Assalamualaikum.”

Ucapan Alula terjeda saat sebuah salam terdengar dari pintu. Ia dan Nur menjawab secara serentak. “Waalaikumussalam.”

“Aku nyari Ibu di ruangan Bu Lastri tadi. Ternyata di sini.” Seorang pria masuk begitu saja, lalu mencium tangan Nur takzim.

“Iya, tadi jenguk sebentar. Kayaknya Bu Lastri juga sudah diperbolehkan pulang.”

Keduanya bercakap-cakap begitu akrab. Alula sempat melongo saat melihat pria itu. Namun, ia berusaha kembali menguasai diri.

“Oh, ya, kenalkan. Ibu punya teman baru. Namanya Alula. Alula, ini putra saya. Namanya Lutfan,” ujar Nur dengan semangat.

Pandangan Alula dan Lutfan bertubrukan untuk beberapa saat. Alula mengangguk sekilas.

“Kayak nggak asing sama kamu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Lutfan.

“Iya. Bapak salah satu dosen di kampus saya, tapi kebetulan saya tidak diajar sama Bapak. Jadi wajar kalau wajah saya tidak asing,” jawab Alula sambil mengangguk sekilas tanda hormat.

Jangan dibayangkan kalau Lutfan itu seorang dosen muda nan tampan yang digandrungi para mahasiswi. Justru sebaliknya. Pria itu dikenal sebagai dosen culun, berkacamata, bergigi maju, rambut klimis bersisir tengah, dan bajunya selalu dikancingkan sampai atas. Alih-alih memanggil Pak Lut, para mahasiswa kadang menjulukinya Pak Lun; Pak Culun.

Dosen itu juga sangat tegas. Lebih tepatnya galak. Itulah sebabnya ia bukanlah idola di kampus. Meski tegas, pria itu dosen yang penjelasannya jelas dan lugas.

“Alhamdulillah. Dunia ini begitu sempit. Ternyata kalian sudah saling bertemu sebelumnya. Ibu juga baru ingat kalau Alula tadi nyebut kampus STAIN. Nggak kepikiran kalau kamu juga ngajar di sana, Fan.” Nur tertawa.

Lutfan dan Alula hanya tersenyum.

“Kamu nanti pulangnya bagaimana, La?” tanya Nur sambil menatap Alula.

“Entahlah nanti, Bu. Saya ke sini hanya bawa pakaian yang melekat saja. Mungkin nanti nyari ojek pangkalan saja biar bisa bayar pas tiba di kosan nanti,” jawab Alula.

“Bagaimana kalau bareng saya?”

“Nggak usah, Bu. Saya sudah terlalu merepotkan. Sekali lagi terima kasih. Nanti kalau uangnya sudah terkumpul, saya akan mendatangi Pak Lun, eh, Pak Lut untuk melunasi hutang saya.”

“Pak Lun? Ketularan anak-anak manggil saya gitu kamu?”  gerutu Lutfan.

“Maaf.” Alula menyengir tidak enak.

“Jangan dibuat beban pikiran masalah tadi.” Nur menambahkan.

Lutfan memicing ke arah sang ibu. Pria itu hafal betul tabiat Nur yang kelewat baik kepada orang tidak pandang bulu dan masalahnya, Alula orang baru bagi ibunya. Ia sudah bisa menebak, mungkin sang ibu membantu Alula masalah biaya karena Alula menyebut kata uang.

“Ayo, Bu. Kita pulang.” Lutfan menggandeng tangan ibunya.

“Ayo. Alula, mari keluar sama-sama. Kamu beneran nggak mau dianter? Fan, kita antar Alula ke kosannya, ya. Kasihan, lho, masih lemes.”

“Bu, beneran nggak usah. Saya sudah terbiasa hidup di lingkungan keras. Tubuh lemas tidak membuat saya cemas apalagi malas. Saya ini wanita setrong,” ujar Alula sambil tersenyum.

Nur pun tertawa. Lutfan hanya memerhatikan sambil menatap Alula lekat. Selain culun, pria itu sedikit dingin, jarang bisa berbasa-basi.

“Saya juga masih mau ke apotek, Bu. Ambil obat. Ibu bisa duluan.”

“Nah, biar Lutfan aja. Fan, tolong ambilkan obat Alula. Resepnya mana, La?”

“Bu, nggak usah. Saya bisa sendiri.”

“Nggak apa-apa. Biar Lutfan aja. Kamu masih lemes.”

Nur mencari sendiri resep obat Alula yang jadi satu dengan nota pembayaran, lalu menyerahkan pada Lutfan.

“Fan, tolong, ya?” pinta Nur dengan mimik memelas.

Kalau sudah seperti itu, Lutfan tidak bisa menolak.

Ketika masih menunggu Lutfan, Nur dan Alula duduk di bangku tak jauh dari apotek rumah sakit. Keduanya berbincang-bincang hangat.

Setelah obat didapat, Nur jalan bersisian dengan Alula menuju lobi. Sepanjang berjalan, keduanya asyik mengobrol. Lutfan yang berjalan di belakang hanya menyimak. Tiba di lobi, Alula masih sempat mencium tangan Nur takzim sebelum pergi. Sementara Lutfan masih mengambil mobil di parkiran.

“Jaga diri baik-baik, La. Jaga kesehatan. Jangan masuk sini lagi.”

“Pasti, Bu. Ibu juga, jaga kesehatan. Kalau saya pengen ketemu sama Ibu bagaimana?”

Nur terkekeh. “Kalau rindu mau ketemu sama saya, cukup datangi Lutfan di kampus. Mintalah alamat saya ke dia. Karena, saya tidak bisa memberi alamat sembarangan ke orang. Lutfan suka marah.”

“Pasti saya akan datangi Ibu karena ibu saya ada di Ibu. Kalung maksudnya.” Alula tersenyum.

“Asyik rasanya ngobrol sama kamu. Ya sudah, hati-hati di jalan.”

Alula mengangguk, lalu berjalan menuju jalan raya. Mata Nur terus mengawasi sampai Alula hilang dari pandangan. Saat bersamaan, Lutfan datang dengan mobilnya. Nur pun masuk.

“Ibu, kok, nggak tega lihat Alula. Dia lagi nggak pegang uang sama sekali. Susul dia, yuk, Fan. Kita antar pulang.”

“Ibu ini jangan terlalu baik sama orang asing. Apalagi baru dikenal. Kebiasaan. Ini yang aku takutkan kalau Ibu di luar rumah,” ujar Lutfan seiring sang ibu yang duduk di kursi sampingnya.

“Orang asing gimana? Dia mahasiswi di kampusmu, kan? Itu berarti kamu juga bertanggung jawab mengayomi anak didikmu. Udah, ayo susul. Ngantar dia bentar nggak ngabisin bensin banyak. Firasat Ibu nggak enak.” Nur terus mengomel.

“Baiklah, Kanjeng Ibu.”

Lutfan tidak punya pilihan lain selain menuruti pinta sang ibu. Mobil berjalan lambat menyisir jalan raya di mana Nur melihat Alula tadi berbelok.

Di depan mereka, ada keramaian. Nur membuka jendela dan bertanya kepada seseorang apa yang terjadi.

“Ada apa rame-rame, Pak?”

“Ada wanita berkerudung tertabrak kereta, Bu.”

“Apa! Fan, turun, lihat. Ibu takut itu Alula.”

Lutfan bergegas turun setelah mendengar kekhawatiran sang ibu. Pria itu menyibak kerumunan.

“Permisi-permisi, itu mahasiswi saya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status