Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 10 — Rapat Balik Meja, Umpan Balasan, dan Satu Nama yang Akhirnya Diucap

Share

Bab 10 — Rapat Balik Meja, Umpan Balasan, dan Satu Nama yang Akhirnya Diucap

Author: Wildan
last update Last Updated: 2025-08-24 11:00:20

Ruang rapat lantai 43 penuh lebih cepat dari undangan resmi. Luki berdiri di depan layar, presentasi dengan template bersih, judul: “Pelanggaran Prosedur oleh Tim PR”. Di baris pertama kursi, Adela duduk sebagai peninjau—undangan yang Naya kirim kemarin dan yang kini terasa seperti pisau bermata dua.

“Terima kasih sudah hadir,” buka Luki, suara menenangkan. “Kita semua lelah oleh drama publik. Hari ini saya membawa bukti yang… menyedihkan. Akses ilegal ke sistem keuangan menggunakan kredensial PR, jejak ke perangkat milik—” ia menoleh, menahan jeda yang diatur seperti aktor “—Naya Aghnia.”

Beberapa kepala menoleh kepada Naya. Ia menegakkan punggung. Di sampingnya, Arga duduk tidak bersuara—badai yang memilih waktunya.

Luki melanjutkan, menayangkan log yang, di tangan orang awam, tampak meyakinkan. “Kami juga menemukan aktivitas printer mencurigakan di lantai 21 semalam. Dokumen yang diambil tanpa persetujuan.”

“Dokumen yang diambil dari printer yang mengeluarkannya sendiri,” sela Karina datar. “Dan dokumen itu memperlihatkan penyalahgunaan vendor kecil-kecilan selama 18 bulan.”

Luki tersenyum tipis. “Kita tidak di sini untuk saling menuduh tanpa proses.”

“Setuju,” kata Arga, bangkit. Suaranya merata, namun ruangan merasakan perubahan tekanan udara. “Karena itu, izinkan saya memutar rekaman dari pemeriksaan forensic tadi malam.”

Operator menayangkan video pendek: log tripwire yang memetakan aliran token dari perangkat FIN-RAFI-07B ke relay Kenara Solutions, ke endpoint vendor marketing yang dikontrak                                  departemen keuangan. Overlay tanda tangan digital muncul: “Kenan A.” dan di bawahnya, persetujuan akses sementara dengan inisial “LM”.

“Bisa siapa pun menggunakan inisial itu?” tanya salah satu direktur skeptis.

“Bisa,” jawab Arga. “Karena itu kami tidak menyimpulkan hanya dari inisial. Kami gabungkan dengan bukti fisik dan saksi.” Ia memberi isyarat. Pintu terbuka. Rafi masuk, ditemani Laila HR. Wajahnya masih pucat, tapi matanya mantap.

Rafi bercerita—singkat, jelas—bagaimana “Mas Ken” menemuinya, menjanjikan rekomendasi, menyuruhnya menancapkan flash disk. Ia menunjukkan pesan chat di ponselnya, log guest pass lantai 5, dan—kartu akses temporary yang diberi Kenan dengan tanda tangan penanggung jawab: Kenan dan initial verifikasi “LM”.

“Ini bisa dipalsukan,” ucap Luki, tetap tenang. “Kartu temporary mudah dibuat.”

“Karena itu kami lakukan sting operation,” kata Karina, menahan senyum yang tidak sampai ke mata. “Semalam kami menaruh umpan: dummy account ‘CSR-Grant’ dengan kredensial unik. Dan pagi ini—tepat pukul 06.12—ada yang mencoba mengakses akun itu dari ruang kerja contractor lantai 22. Kamera?”

Layar berganti. Sudut pandang kamera tersembunyi menampilkan sosok yang masuk ke ruang kerja kosong, membuka laptop pribadi, menyambungkan dongle jaringan. Zoom in. Wajah Kenan muncul jelas. Tiga menit kemudian, Luki masuk, menaruh map di meja, berbicara singkat, lalu pergi. Waktu di sudut layar—terbaca tajam.

Bisik-bisik menari. Luki tetap tegak. “Aku sering memeriksa vendor. Itu bukan kejahatan.”

“Yang jadi masalah,” Arga melangkah ke depan, “adalah jalur uang.” Layar menampilkan faktur Kenara Solutions—nilai kecil berulang, tujuan rekening yang sama dengan vendor marketing resepsi ulang tahun kantor tahun lalu. “Vendor ini kita bayar lewat skema petty cash yang dipecah. Dan otorisasi akhir—” Arga menatap satu per satu anggota dewan, “—ditandatangani oleh CFO.”

Ruang rapat memadat.

“Ini belum vonis,” ujar Arga, tetap adil. “Tapi cukup untuk menyerahkan pada audit independen dan—jika perlu—penyidik.”

Adela mengangkat tangan, suaranya terkendali. “Sebagai peninjau investor, saya minta dua hal: (1) Luki dinonaktifkan sementara; (2) Akses semua vendor di-freeze, terutama Kenara Solutions.”

Ketua dewan mengetuk meja. “Disetujui untuk sementara, sampai audit selesai.” Ia menoleh ke Luki. “Anda hormati proses?”

Luki menghela napas—sangat halus, tapi terdengar bagi yang menunggu. “Saya menghormati proses.” Tatapannya singgah pada Naya, kali ini tanpa senyum. “Permainanmu bagus.”

“Ini bukan permainan,” jawab Naya. “Ini pekerjaan.”

Rapat beralih ke poin lain, tetapi kerangka cerita telah berubah. Setelah selesai, lorong kembali menjadi sungai orang. Luki mendekati Arga dan Naya. “Hati-hati dengan Dimas,” katanya tiba-tiba, nada berbeda. “Dia bukan penolong. Dia ingin merger gagal, supaya bisa membeli aset kalian dengan diskon.”

“Terima kasih atas tip-nya,” balas Arga dingin. “Kami akan memeriksa segalanya—termasuk motifmu memberi nasihat.”

Luki pergi, langkahnya tidak tergesa. Naya menatap punggung itu sampai hilang. “Kalau dia benar?”

“Dimas selalu benar untuk dirinya sendiri,” jawab Arga. “Bukan berarti benar untuk kita.”

Siang, press conference kecil digelar—format doorstop. Naya membuka dengan tiga kalimat yang dirancang: mengakui audit internal, menjamin perlindungan saksi, mengulang komitmen pada karyawan. Seorang reporter—bukan APEX—bertanya, “Apakah pertunangan ini akan bertahan melewati badai?”

Naya tersenyum, tidak memberi apa yang diminta. “Badai menguji struktur. Kita akan lihat struktur siapa yang berdiri lebih baik: drama atau data.”

Setelah presser, di ruang kecil yang akhirnya terasa punya oksigen, Karina meletakkan map di meja Naya. “Ini garis besar 10 bab pertama serial hidupmu,” gurau Karina tipis, lalu serius. “Dan ini—” ia menyelipkan amplop putih “—undangan gala amal klien kita, dua malam lagi. Semua nama besar akan ada. Termasuk Adela. Termasuk—”

“Dimas,” sambung Naya.

“Pastinya.” Karina menarik napas. “Di undangan tertulis: dress code: black & silver.

Arga masuk, menangkap kalimat terakhir. “Kita akan datang. Dan kita akan menutup arc pertama ini dengan baik.” Ia menatap Naya sejenak. “Kau siap?”

Naya mengangguk. “Selalu.”

Ponsel Naya berbunyi. Pesan anonim, kali ini hanya dua kata: “Meet balcony.” Di bawahnya, waktu: Gala, 23:17.

Naya mengangkat wajah. “Seseorang sudah menulis bab berikutnya.”

“Kalau begitu,” ujar Arga, bayangan senyum di sudut bibir, “kita ganti pena.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status