Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 11 — Hitam & Perak, Protokol, dan Jam 23:17

Share

Bab 11 — Hitam & Perak, Protokol, dan Jam 23:17

Author: Wildan
last update Last Updated: 2025-08-25 11:00:13

Dua hari berlalu seperti kereta yang tidak berhenti di stasiun. Pagi ini, undangan gala amal dengan kode busana black & silver menggantung di papan pengumuman Mahendra Group seperti pengingat bahwa reputasi juga suka berdandan. Karina mengedarkan run-of-show: red carpet 19.30, lelang 21.00, live band 22.30, dan—di antara baris—kesempatan tak tertulis untuk dilihat tanpa terlihat.

“Protokol keamanan diperketat,” kata Laila dari HR saat briefing. “Tidak ada akses balkon tanpa pendamping keamanan. Semua pintu servis diawasi. Komunikasi pribadi lewat kanal kerja dilarang selama acara. Kita tidak ingin breadcrumb digital lagi.”

Naya mengangguk sambil menandatangani daftar kehadiran. Di layar ponselnya, sebuah notifikasi yang ia simpan sejak kemarin tetap berkedip di kepala: Meet balcony. Gala, 23:17.

Arga berdiri di depan ruangan, setelan hitam bertabur garis tipis hampir tak terlihat, dasi perak sepadan. “Kita ke acara untuk bekerja, bukan untuk memberi makanan pada gosip,” katanya singkat. “Kalau ada ambush, Naya yang jawab tiga kalimat, lalu kita mundur. Karina, koordinasi media. Tim IT, sweep sinyal liar.”

Sinta, sang pelatih media, menyelip di belakang dengan kit kecil. Ia memoles bedak tipis di wajah Naya. “Kalau kamera mendekat terlalu agresif, geser tubuhmu setengah langkah ke belakang Arga. Itu kode visual ‘akses terbatas’ yang sopan.”

Di ruang ganti, kain menggesek. Naya mengenakan gaun hitam dengan garis perak yang sederhana; rambut disanggul rendah, beberapa helai sengaja dibiarkan. Cincin di jarinya dingin, tapi kali ini dinginnya seperti menenangkan. Ia menatap cermin. Di belakangnya, Karina muncul, gaun perak yang memantulkan lampu seperti pisau yang disarungkan.

“Kamu siap?” tanya Karina.

“Sejauh yang bisa.”

“Kalau ada sesuatu—apa pun—masuk ke earpiece aku dulu. Jangan bertindak sendirian.” Karina menatap lama, seperti hendak mengatakan hal lain, lalu menahan. “Kita main tim. Ingat itu.”

Red carpet adalah sungai lampu. Flash kamera seperti badai matahari. Arga menyapa beberapa filantropis, Naya menjaga jarak aman yang disepakati. Suatu ketika, Adela meluncur ke arah mereka—gaun perak cair, senyum yang diukur.

“Arga,” sapanya. “Naya.”

“Adela,” balas Arga pendek.

“Semoga malam ini damai.” Adela menoleh ke Naya. “Kalau butuh nafas, balkon sayap barat lebih sepi.” Ia beranjak, meninggalkan jejak parfum yang mengingatkan pada bandara—tempat keberangkatan dan kepulangan bercampur.

Band naik panggung pukul 22.30. Musik standard mengalun, membentuk ruang bagi percakapan yang ingin terdengar sopan. MC memanggil pasangan untuk first dance simbolis. Karina berbisik lewat earpiece: “Ini momen earned warmth. Satu lagu saja.”

Arga menoleh, mengulurkan tangan tanpa teater berlebih. “Bisa?”

Naya menempatkan jemari pada telapak tangannya. Lantai dansa seperti kaca yang licin. Langkah mereka ragu di awal, lalu menemukan ritme. Arga menatap titik di bahu Naya, menjaga batas. Naya mengangkat mata—kali ini, tanpa naskah.

“Terima kasih,” katanya pelan.

“Untuk apa?”

“Untuk tidak melemparkanku sendirian ke kolam hiu.”

Arga menghela napas yang terdengar seperti tawa yang takut lahir. “Kau berenang cukup baik sendiri.”

Di tepi lantai dansa, Dimas berdiri dengan gelas yang tidak disentuh. Tatapannya tajam, menyapu ritme, mencatat kelemahan. Ketika lagu berakhir, ia menyelinap mendekat. “Boleh aku meminjam tunanganmu satu menit, Pak CEO?”

Arga hendak menjawab—keras—tapi Naya mendahului. “Satu menit. Di depan Karina.” Ia berjalan bersama Dimas ke meja check-in lelang yang ramai. Ucapan Dimas nyaris tersamar oleh tawa.

“Aku punya sesuatu yang akan membuatmu pahlawan,” bisiknya. “Daftar vendor palsu, pembayaran salami, dan koneksinya ke jaringan kecil di media.”

“Kenapa tidak kirim lewat kanal resmi?”

“Karena kebenaran yang terlalu resmi sering dijadwalkan kalah,” jawab Dimas. “Jam 23:17. Balkon barat. Datang, atau biarkan sejarah menuliskanmu sebagai aksesori.”

Naya menahan diri untuk tidak mendengus. “Aku bukan aksesori siapa pun.”

“Buktikan.” Dimas mundur, senyum yang tak sampai ke mata.

Pukul 23:10, Karina menyusup di antara tamu, menyerahkan cue card kecil. “Kita punya jendela untuk photo call hangat di lounge. Kalau kamu butuh alasan untuk—” Ia berhenti, melihat jam. “Ada apa di 23:17?”

Naya menimbang sepersekian detik. Karina adalah rekan satu parit, sekaligus potensi tanda tanya. “Umpan,” jawabnya jujur tapi hemat. “Aku tidak akan sendiri.”

Arga sudah menunggu di bayang panggung. “Kita jalan sekarang,” katanya. “Tiga menit sebelum jam.” Dua petugas keamanan mengikuti, jarak aman. Karina bergerak ke arah sebaliknya—menutup akses tangga darurat.

Balkon sayap barat sepi seperti janji yang belum dilanggar. Lampu kota menggambar urat nadi di kejauhan. Jam digital di ponsel beralih ke 23:17. Pintu kaca berdecit. Seseorang masuk—bukan Dimas, bukan Karina. Event coordinator dengan badge mengilap.

“Maaf, Pak, Mbak—” ia mengangkat walkie-talkie. “Ada permintaan foto dari panitia.”

Arga mengangguk tanpa curiga. “Nanti. Dua menit.”

Koordinator itu menunduk, mundur. Dalam momen itu, Naya mendengar suara lembut—klik yang tidak berasal dari pintu. Shutter. Ia menoleh ke sudut atap gedung seberang. Siluet kecil—tripod? Kamera otomatis? Bahkan mungkin drone kecil berpijak pada tembok.

“Di atas,” bisik Naya. “Sudut barat laut.”

Arga mengangkat telapak tangan, memberi isyarat pada keamanan. Salah satu pengawal mengeluarkan senter sempit, mengarah. Titik reflektif memantul—lensa. Dan seketika, lampu balkon mati. Seseorang memutus aliran dari panel.

Pintu di belakang mereka terkunci klik.

Naya merasakan punggungnya menempel pada dingin gelas. Suara langkah mendekat dari koridor. Arga berdiri setengah di depan, tubuhnya barikade. Dari kegelapan, sebuah layar ponsel menyala, menyorot wajah—Adela.

“Lampu padam membuat cerita lebih dramatis,” katanya pelan. “Terserah kalian mau menari di bayang atau menyalakan lampu sendiri.” Ia melengkungkan senyum. “Kamera sudah bekerja sejak 23:15.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status