Kotak itu tidak sekecil yang Naya kira. Di dalamnya, cincin dengan batu kecil memantul di bawah lampu. Bukan kilau flamboyan, melainkan elegan yang berbisik: mahal tanpa butuh pengakuan.
Arga mengangkat kepala. “Tepat waktu.”
“Aku sudah baca.” Naya duduk. “Ada klausul yang perlu penyesuaian.”
Sudut bibir Arga bergerak sangat tipis. “Mulai negosiasi?”
“Nomor 8: larangan bertemu keluarga. Aku tidak akan membawa keluargaku ke pusat massa, tapi aku menolak dilarang pulang kampung.”
“Dihapus, diganti: ‘bertemu keluarga dengan pemberitahuan prior demi keamanan.’” Arga menulis di margin.
“Nomor 12: penalti jika mengundurkan diri lebih awal. Angkanya… tidak manusiawi.”
“Tambahkan cap dan pengecualian jika ada pelanggaran dari pihakku.”
Naya menatapnya. “Poin HR. Kita perlu pertemuan resmi agar tidak ada pelanggaran etik. Aku tidak mau jadi poster workplace harassment.”
“Kau pikir aku predator?”
“Aku pikir dunia mudah percaya hal itu.”
Tatapan Arga menajam, lalu melunak setengah derajat. “HR akan memediasi. Semua interaksi kerja dicatat. Kau dapat hak menolak tugas yang tak relevan.”
“Dan aku minta klausul out jika kesehatan mentalku terganggu serius. Ada pemeriksaan dari psikolog independen.”
Arga menimbang. “Setuju.”
Kertas-kertas bergerak. Pena menggores seperti biola. Di tengah tanda tangan, Naya berhenti. “Kenapa aku?” ia ulang pertanyaan pagi tadi, namun intonasi berbeda. Bukan protes, lebih seperti ingin melihat apakah ia sekadar pion atau sesuatu yang sedikit lebih kompleks.
“Karena kamu punya dua hal yang berbahaya,” jawab Arga, cepat. “Kebodohan yang jujur, dan kejujuran yang bodoh.”
Naya terkekeh pelan. “Terima kasih… kurasa.”
Arga menutup map. “Mulai besok, meja kerjamu pindah di luar ruanganku. Sekarang, ikut aku.”
“Malam begini?”
“Kita ke lantai 12. Media training.”
Studio internal terasa seperti panggung kelas dunia. Lampu-lampu kotak menggantung, kamera tidur dalam barisan. Seorang perempuan paruh baya menunggu dengan clipboard. “Saya Sinta, pelatih media. Selamat datang di neraka kecil.”
Selama dua jam, Naya belajar kembali: cara menahan jeda, menyusun bridging, menolak gotcha question tanpa terlihat defensif. Arga mendampingi, tidak sekali pun menyela—kecuali ketika Naya tersenyat menyebut kata “maaf”.
“Jangan pakai ‘maaf’ di depan kamera,” katanya datar. “Pakai ‘kami mengerti kekhawatiran Anda’.”
Sinta mengangguk. “CEO Anda benar. Publik suka empati, bukan penyesalan yang lemah.”
Di akhir sesi, Sinta meraih make-up kit. “Sedikit retouch.”
Arga menoleh, hendak pergi. “Besok jam tujuh, briefing investor. Pakai setelan abu tua. Simpel.”
Naya mengangguk, mulutnya penuh dengan bobby pin. Setelah Arga menghilang, Sinta berdeham. “Dingin, ya?”
“Es batu,” gumam Naya.
Sinta tersenyum. “Es pun mencair kalau tahu suhu yang tepat.”
Pukul 23.30, Naya pulang ke apartemen kecilnya. Di meja makan, kontrak yang sudah ditandatangani tergeletak. Ibunya mengirim pesan suara: suara hangat yang selalu membuat Naya ingin menangis di halte bus.
“Na, Ibu lihat kamu di TV tadi. Kamu cantik sekali. Tetap semangat, ya. Jangan terlalu keras ke diri sendiri.”
Naya menutup mata. Enam bulan. Ia sudah melompat. Sekarang tinggal berenang.
Esoknya, lantai 43 terasa dua derajat lebih dingin. Meja baru Naya berada di lorong kaca dengan pemandangan kota. Di atasnya, kartu akses baru, planner, dan sticky note tulisan tangan: 09.00: HR — Batasan & Protokol. Tanda tangan Laila, kepala HR.
Arga keluar dari ruangannya. Setelan abu, dasi perak. Naya berdiri refleks.
“Jangan berdiri setiap kali aku lewat,” katanya. “Itu membuat orang berpikir aku mengintimidasi staf.”
“Bukankah Anda memang begitu?”
Ia menatap, lalu entah kenapa—kering di bibirnya merekah menjadi sesuatu yang… hampir seperti senyum. “Ikut.”
Mereka berjalan ke ruang rapat kaca. Proyektor sudah menyala menampilkan grafik pasar. “Investor briefing,” kata Arga. “Kau tidak bicara kecuali kutunjuk. Fokus membaca ruangan. Catat pertanyaan berulang.”
“Nangkap.”
“Dan—” ia berhenti di pintu, menatap cincin di jari Naya—yang baru ia pakai pagi ini, terasa dingin pada kulit. “Jangan mainkan cincin itu. Kamera memperbesar kebiasaan buruk.”
Naya mengatupkan jari.
Pertemuan dimulai. Suara Arga bukan lagi es—lebih seperti baja yang dibentuk: kukuh, terukur, menenangkan. Ketika seorang investor agresif bertanya tentang cash flow pasca rumor penutupan pabrik, Naya melihat jeda mikro pada ekspresi beberapa peserta: ragu yang menjalar.
Ia menulis cepat di notepad, lalu mendorongnya pelan ke arah Arga saat jeda. Sorot CSR GreenShift → lapangan kerja baru → capex berkelanjutan.
Arga melirik sepersekian detik, lalu mengalihkan presentasi: “Izinkan saya tambahkan—program GreenShift membuka 1.200 posisi baru di dua tahun. Kami mengalihkan capex tanpa menggerus margin. Data ada di halaman 18.”
Tatapan di ruangan bergeser. Nada pertanyaan pelan. Naya menahan senyum tipis. Mungkin ia tidak hanya menjadi patch; mungkin ia bisa jadi fitur.
Usai rapat, Arga tidak memuji. Tentu saja tidak. Ia hanya berkata, “Jam sembilan HR. Jangan terlambat.”
Naya mengangguk. Saat ia kembali ke meja, notifikasi masuk: Rapat Dewan dimajukan ke 19.00. Dress code: formal.
Di bawahnya, ada pesan yang tidak berasal dari sistem. Akun anonim, alamat email acak.
Selamat atas pertunangan palsu. Kamera kami lebih jujur dari Anda.
Naya menatap layar. Bahunya mendingin. Siapa pun di luar sana, mereka sudah mengendus.
Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat
Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa
Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”
Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar
Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian
“Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag