Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 3 — HR, Batasan, dan Bahaya Bisu

Share

Bab 3 — HR, Batasan, dan Bahaya Bisu

Author: Wildan
last update Last Updated: 2025-08-21 11:17:30

Ruang HR beraroma kayu manis dan kertas baru. Laila, kepala HR, menyodorkan secangkir teh. “Kita mulai dari garis besar: hubungan personal dalam hierarki tidak dilarang, tapi diatur. Ada form persetujuan, protokol pelaporan, dan jalur konsultasi jika terjadi konflik kepentingan.”

“Baik.” Naya duduk tegak.

Arga hadir di sisi lain meja, lengan disilangkan. Satu tim legal ikut duduk, laptop terbuka, siap mencatat segala kemungkinan gugatan masa depan.

Laila menatap keduanya bergantian. “Kita jujur saja. Ini perjanjian kontrak yang dimaksudkan untuk konsumsi publik. Namun dunia nyata sering tak nyaman mengikuti skenario. Jadi kita akan buat pagar.”

Ia mengangkat berkas. “Batasan fisik di kantor: no PDA. Batasan tugas: Naya tidak boleh menerima perintah yang tidak terkait pekerjaan, kecuali kegiatan PR yang sudah disetujui. Check-in mingguan ke HR. Komunikasi tertulis lebih diutamakan.”

“Setuju,” kata Naya.

“Setuju,” kata Arga.

“Dan satu lagi,” Laila menatap Arga lebih lama. “Kalau ada keluhan, Naya tidak akan melapor kepadamu. Dia melapor ke aku. Tanpa konsekuensi karier.”

Arga menahan tatapannya. “Disetujui.”

Sesi berlanjut ke simulasi krisis. Laila menampilkan mock-up berita gosip tentang “tunangannya” CEO. “Kita latihan respons.”

Naya menegakkan bahu, menahan degup. “Kami berterima kasih atas perhatian publik. Fokus kami tetap pada kinerja dan tanggung jawab kepada karyawan.”

“Bagus,” kata Laila. “Jangan terpancing.” Ia menoleh ke Arga. “Anda?”

Arga hanya mengangguk. “Isi press line akan kubahas dengan PR.”

Ketika sesi selesai, Laila menahan Naya. “Satu menit.” Ia menurunkan suaranya. “Ada bocoran dari dalam. Seseorang mengirim surel anonim ke dua media hiburan tentang ‘pertunangan’ ini bahkan sebelum form HR kita tercatat. Hati-hati. Jangan percaya semua senyum.”

Naya mengangguk. “Terima kasih, Bu.”

Di lorong, Arga menunggu. “Rapat investor jam sebelas. Sebelum itu, ikut aku ke studio lagi.”

“Latihan?”

“Gambar.”

Studio ditemukan dalam mode staging—latar belakang biru, lampu yang memanjakan garis rahang Arga secara tidak adil. Fotografer internal mengatur posisi mereka. “Kita perlu beberapa foto natural untuk press kit pertunangan: tertawa kecil, tatap-tatapan—ya, yang soft.”

Naya ingin tertawa—bukan pada kameranya, tapi pada absurditas dunia. Ia berdiri sejengkal dari Arga. Wangi aftershave menemani detak jam.

“Tangan di sini,” fotografer mengarahkan, “di lengan Pak Arga, ringan saja.”

Naya menyentuh wol jas itu. Arga tidak bergerak, tapi Naya merasakan ototnya mengeras sepersekian detik—refleks seorang pria yang terbiasa dengan jarak aman.

“Kepala miring sedikit, Pak,” kata fotografer.

Arga menunduk tipis, mata bertemu mata. Dekat begini, dinginnya bukan musuh; lebih mirip benteng yang terlalu lama dijaga. Naya mengangkat alis, seolah berkata kita menjalani ini, ya?

Sebuah kilat. Satu lagi. Kemudian fotografer menurunkan kamera. “Selesai.”

Menuju ruang rapat, Naya menyejajarkan langkah. “Pak,” katanya pelan, “tentang bocoran. HR bilang sumbernya dari dalam.”

“Aku tahu,” jawab Arga. “Dan aku akan menemukannya.”

Rapat sebelas berlangsung lebih tajam. Seorang analis—pria bermata elang—memainkan ponselnya, memperlihatkan headline blog gosip: TUNANGAN CEO MAHENDRA: SIAPA DIA? dengan foto Naya di frame yang tidak memaafkan.

“Care to comment?” tanya analis itu, nada santai namun bergigi.

Arga tak berkedip. “Kami berkomentar pada angka, bukan rumor.”

Pertemuan selesai. Arga keluar lebih cepat dari biasanya. Naya mengejar. “Kau marah?”

“Aku fokus.”

“Kedengarannya mirip marah.”

Ia berhenti, menatap Naya sejenak. “Kau tidak perlu memikul rasa bersalah dunia. Tugasmu cukup: lakukan pekerjaanmu dengan tepat.”

“Aku berusaha.”

“Buktikan.”

Sore, tim PR mengadakan media training lanjutan. Karina memimpin, suara datar profesional. “Kita akan menyusun narasi earned media: tunangan CEO yang ‘bekerja keras, low-profile’. Jangan terlalu glamor.”

“Kenapa?” tanya salah satu staf.

“Karena glamor mengundang pembanding,” jawab Karina. “Kita membutuhkan kedekatan.”

Naya menahan desakan untuk meminta maaf pada Karina. Ketika jeda, Karina menghampirinya. “Kamu baik-baik saja?”

“Sejauh ini, iya.”

“Mungkin aku tidak akan melakukan hal yang kamu lakukan.” Tatapan Karina sulit dibaca. “Tapi kalau kamu sudah memilih, jangan setengah hati.”

Pukul 19.00, rapat dewan. Ruang rapat utama berpanel kayu gelap. Kursi-kursi terisi nama besar. Luki, CFO sekaligus sepupu Arga, menyapa hangat. “Naya, ya? Selamat bergabung.” Senyumnya sempurna—terlalu sempurna.

Agenda bergulir. Saat sesi tanya jawab, sebuah layar samping menyala sendiri. Slide bukan bagian presentasi. Teks besar berkedip: FAKE ENGAGEMENT ALERT disertai screenshot surel internal—tampak seperti tangkapan layar akun PR.

Ruang bergemuruh.

Arga menoleh pada tim IT. “Matikan.”

Layar padam. Tapi bisik-bisik tak padam. Luki mengangkat tangan seolah menenangkan. “Mungkin kita perlu break lima menit.”

Arga berdiri. “Tidak perlu. Aku akan jelaskan.” Ia menatap ke sekeliling. “Pertunangan ini adalah keputusan strategis PR dalam situasi krisis. Semua protokol HR diikuti. Fokus rapat kembali ke kinerja dan merger.”

Ketua dewan mengernyit. “Tapi… siapa yang bocorkan?”

Arga menoleh ke Naya. “Itu yang akan kita cari tahu. Mulai malam ini.”

Tatapan ruangan merapat ke Naya. Seperti sorot lampu panggung yang tak ia minta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 138 — Konferensi: Mengakui Perasaan, Menutup Celah, dan Menolak Kambing Hitam

    Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 137 — Permintaan Komitmen Publik: Compliance, Firewall Relasi, dan Keputusan Arga untuk Bicara

    Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 136 — Deep‑Edit: Interframe Janggal, Cahaya yang Tidak Setia, dan Jejak Server yang Aneh

    Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 135 — Loyal pada Proses: Menolak Tumbal, dan Hashtag Lama yang Menjelma Hantu Baru

    Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 134 — Keputusan Sementara: Skors, Audit Lanjutan, dan Bayangan Dingin yang Muncul

    Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 133 — Menutup Celah Intimidasi: Prosedur, Pelindung, dan Tiga Kata yang Jatuh Seperti Palu

    Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status