Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 4 — Investor, Interupsi, dan Satu Kalimat Penyelamat

Share

Bab 4 — Investor, Interupsi, dan Satu Kalimat Penyelamat

Author: Wildan
last update Huling Na-update: 2025-08-21 11:18:04

Malamnya Naya hampir tidak tidur. Sticky note anonim itu menari-nari di kelopak mata. Pagi datang membawa kopi yang tak cukup pahit.

Agenda hari ini: presentasi besar di hadapan konsorsium investor—yang memegang kunci merger. Naya dan tim PR menyiapkan press line, Q&A bank, dan cue card. Arga meninjau semuanya tanpa komentar berlebih.

Ruang auditorium internal dipenuhi jas dan parfum mahal. Layar utama menampilkan logo Mahendra dan Varuna berdampingan. Saat Arga naik panggung, ruangan hening seperti katedral.

Slide bergulir rapi. Angka-angka menari seperti barisan tentara. Lalu, dari baris depan, seorang investor senior—wanita berambut perak yang reputasinya membuat analis berdebar—mengangkat tangan.

“Ada pertanyaan tentang kepatuhan. Rumor penutupan pabrik beredar. Apa dampaknya terhadap tenaga kerja dan komitmen lingkungan?”

Arga bersiap menjawab. Naya melihatnya mengambil napas—jawaban standar profitabilitas. Namun Naya juga melihat kamera streaming menyorot ke kursi-kursi karyawan yang diundang sebagai representasi. Mata mereka menjadi B-roll kejujuran.

Naya menulis cepat pada cue card, mendorong ke ujung panggung, memberi sinyal kecil. Arga melihat sekilas.

Ia merombak jawaban di udara.

“Terima kasih atas pertanyaannya.” Suaranya turun setengah oktaf—nada empati yang diajar Sinta semalam. “Kami tidak menutup pabrik. Kami mengalihkan lini produksi yang usang ke fasilitas yang lebih efisien. Setiap pekerja ditawari pelatihan ulang. Program GreenShift membuka peran baru. Ini bukan efisiensi yang memangkas manusia; ini transformasi yang mengajak mereka.”

Ruang merespons—lebih hangat, lebih tenang. Kamera menangkap karyawan yang mengangguk.

Sesi tanya jawab berlanjut. Seorang pria muda—agresif—memainkan video di ponselnya, memperlihatkan clip Naya kemarin yang salah ucap. “Bagaimana kita bisa percaya PR Anda?”

Naya menahan napas. Arga tidak menangkis. Ia mengaku—tanpa meminta maaf.

“Kami belajar cepat,” katanya. “Hari ini Anda menilai kami dari cara kami memperbaiki kesalahan, bukan menyembunyikannya.”

Tepuk tangan tersebar, halus namun nyata.

Usai acara, back stage menjadi pasar kecil: jabat tangan, kartu nama, senyum profesional. Wanita berambut perak menghampiri. “Jawaban yang rapi,” katanya pada Arga, lalu memindah tatapan ke Naya. “Dan asistennya cepat.”

“Naya,” Arga memperkenalkan. “Dia yang memimpin messaging CSR.”

Tatapan perak itu menilai, lalu mengangguk. “Good.” Ia berbalik. “Kita lanjut di ruang lounge.”

Saat keduanya berjalan, Naya merasakan getar lain di ponselnya. Email anonim lagi. Kali ini lampiran foto: Naya dan Arga di studio kemarin, jarak sehelai kertas.

Caption: Kalau palsu, kenapa terlihat begitu nyata? Disertai emoji kamera.

Di lounge, Arga membahas synergy dan governance. Naya duduk sedikit ke belakang, memantau sentiment dari group chat PR. Grafik kecil di dashboard internal mulai membaik.

Tiba-tiba pintu lounge terbuka. Karina masuk, napasnya sedikit terburu. “Maaf mengganggu, Pak. Ada panggilan darurat dari media APEX. Mereka dapat ‘bukti’ insider trading yang mengaitkan akun PR.”

Darah Naya mendingin.

Arga menerima ponsel dari Karina, mendengar sebentar, menutup telepon. Wajahnya sama datar, namun rahang mengeras. “Kita hadapi sekarang. War room.

Ruang war room menyala seperti kapal komando. Layar-layar menampilkan feeds, mentions, log akses. Tim IT, legal, dan PR mengepung meja oval.

“Ini tangkapan layar yang dikirim APEX,” ujar analis digital, memproyeksikan gambar yang sama dengan yang muncul di rapat dewan—tapi lebih tajam. “Seseorang masuk ke akun PR jam 02.13 dini hari. IP internal.”

“Siapa pemilik sesi?” tanya Arga.

Analis ragu. “Log diarahkan ke—” Ia menelan. “—laptop atas nama Naya Aghnia.”

Ruang mendingin beberapa derajat sekaligus. Mata-mata menoleh serempak. Jantung Naya jatuh seperti gelas.

“Laptopku ada di laci kantor,” kata Naya cepat. “Terkunci. Aku pulang jam sebelas.”

Luki, dengan nada seolah menenangkan, berkata, “Santai. Bisa jadi spoofing.”

Karina menatap layar, bibir mengetat. “Atau ada yang meminjam kunci.”

Arga memotong. “Kita tidak menuduh sebelum forensic selesai. Isolasi perangkat. Ganti sandi semua akun. Legal standby.” Ia menoleh ke Naya. “Ikut aku.”

Mereka keluar ke lorong. Suara mesin pendingin mendengung. Arga berdiri di depan jendela, punggungnya lurus seperti garis grafik yang diinginkan semua orang.

“Kau takut?” tanyanya, tanpa menoleh.

“Ya,” jawab Naya jujur. “Tapi bukan karena posisiku. Karena kalau ini jebakan, pelakunya ada di sekitar kita.”

Arga akhirnya menatap Naya. “Kalimat penyelamat tadi di panggung—itu ide bagus.”

“Itu kerja tim.”

“Simpan energi itu.” Ia mendekat setapak. “Mulai sekarang, jangan klik apa pun dari email anonim. Dan kalau ada yang mendekat dengan janji bantuan, catat namanya.”

“Seperti… siapa?”

Arga menatap lama, seolah hendak mengucapkan satu nama, lalu mengurungkannya. “Siapa pun.”

Ponsel Naya bergetar lagi. Pesan baru dari nomor tak dikenal: “Kamu ingin bukti siapa yang pakai laptopmu? Temui aku di parkiran B3, lima menit.”

Naya menatap Arga. “Ada seseorang—”

“B3,” ulang Arga, suaranya serendah ancaman lembut. “Kita pergi berdua.”

Mereka menuju lift layanan. Di antara dering-dering server dan bau oli, kota terasa jauh. Pintu lift terbuka di B3. Sunyi, hanya terdengar tetes air dari pipa.

Sebuah siluet berdiri di antara pilar. Saat mendekat, Naya mengenali sosok itu.

Karina.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status