LOGINMalamnya Naya hampir tidak tidur. Sticky note anonim itu menari-nari di kelopak mata. Pagi datang membawa kopi yang tak cukup pahit.
Agenda hari ini: presentasi besar di hadapan konsorsium investor—yang memegang kunci merger. Naya dan tim PR menyiapkan press line, Q&A bank, dan cue card. Arga meninjau semuanya tanpa komentar berlebih.
Ruang auditorium internal dipenuhi jas dan parfum mahal. Layar utama menampilkan logo Mahendra dan Varuna berdampingan. Saat Arga naik panggung, ruangan hening seperti katedral.
Slide bergulir rapi. Angka-angka menari seperti barisan tentara. Lalu, dari baris depan, seorang investor senior—wanita berambut perak yang reputasinya membuat analis berdebar—mengangkat tangan.
“Ada pertanyaan tentang kepatuhan. Rumor penutupan pabrik beredar. Apa dampaknya terhadap tenaga kerja dan komitmen lingkungan?”
Arga bersiap menjawab. Naya melihatnya mengambil napas—jawaban standar profitabilitas. Namun Naya juga melihat kamera streaming menyorot ke kursi-kursi karyawan yang diundang sebagai representasi. Mata mereka menjadi B-roll kejujuran.
Naya menulis cepat pada cue card, mendorong ke ujung panggung, memberi sinyal kecil. Arga melihat sekilas.
Ia merombak jawaban di udara.
“Terima kasih atas pertanyaannya.” Suaranya turun setengah oktaf—nada empati yang diajar Sinta semalam. “Kami tidak menutup pabrik. Kami mengalihkan lini produksi yang usang ke fasilitas yang lebih efisien. Setiap pekerja ditawari pelatihan ulang. Program GreenShift membuka peran baru. Ini bukan efisiensi yang memangkas manusia; ini transformasi yang mengajak mereka.”
Ruang merespons—lebih hangat, lebih tenang. Kamera menangkap karyawan yang mengangguk.
Sesi tanya jawab berlanjut. Seorang pria muda—agresif—memainkan video di ponselnya, memperlihatkan clip Naya kemarin yang salah ucap. “Bagaimana kita bisa percaya PR Anda?”
Naya menahan napas. Arga tidak menangkis. Ia mengaku—tanpa meminta maaf.
“Kami belajar cepat,” katanya. “Hari ini Anda menilai kami dari cara kami memperbaiki kesalahan, bukan menyembunyikannya.”
Tepuk tangan tersebar, halus namun nyata.
Usai acara, back stage menjadi pasar kecil: jabat tangan, kartu nama, senyum profesional. Wanita berambut perak menghampiri. “Jawaban yang rapi,” katanya pada Arga, lalu memindah tatapan ke Naya. “Dan asistennya cepat.”
“Naya,” Arga memperkenalkan. “Dia yang memimpin messaging CSR.”
Tatapan perak itu menilai, lalu mengangguk. “Good.” Ia berbalik. “Kita lanjut di ruang lounge.”
Saat keduanya berjalan, Naya merasakan getar lain di ponselnya. Email anonim lagi. Kali ini lampiran foto: Naya dan Arga di studio kemarin, jarak sehelai kertas.
Caption: Kalau palsu, kenapa terlihat begitu nyata? Disertai emoji kamera.
Di lounge, Arga membahas synergy dan governance. Naya duduk sedikit ke belakang, memantau sentiment dari group chat PR. Grafik kecil di dashboard internal mulai membaik.
Tiba-tiba pintu lounge terbuka. Karina masuk, napasnya sedikit terburu. “Maaf mengganggu, Pak. Ada panggilan darurat dari media APEX. Mereka dapat ‘bukti’ insider trading yang mengaitkan akun PR.”
Darah Naya mendingin.
Arga menerima ponsel dari Karina, mendengar sebentar, menutup telepon. Wajahnya sama datar, namun rahang mengeras. “Kita hadapi sekarang. War room.”
Ruang war room menyala seperti kapal komando. Layar-layar menampilkan feeds, mentions, log akses. Tim IT, legal, dan PR mengepung meja oval.
“Ini tangkapan layar yang dikirim APEX,” ujar analis digital, memproyeksikan gambar yang sama dengan yang muncul di rapat dewan—tapi lebih tajam. “Seseorang masuk ke akun PR jam 02.13 dini hari. IP internal.”
“Siapa pemilik sesi?” tanya Arga.
Analis ragu. “Log diarahkan ke—” Ia menelan. “—laptop atas nama Naya Aghnia.”
Ruang mendingin beberapa derajat sekaligus. Mata-mata menoleh serempak. Jantung Naya jatuh seperti gelas.
“Laptopku ada di laci kantor,” kata Naya cepat. “Terkunci. Aku pulang jam sebelas.”
Luki, dengan nada seolah menenangkan, berkata, “Santai. Bisa jadi spoofing.”
Karina menatap layar, bibir mengetat. “Atau ada yang meminjam kunci.”
Arga memotong. “Kita tidak menuduh sebelum forensic selesai. Isolasi perangkat. Ganti sandi semua akun. Legal standby.” Ia menoleh ke Naya. “Ikut aku.”
Mereka keluar ke lorong. Suara mesin pendingin mendengung. Arga berdiri di depan jendela, punggungnya lurus seperti garis grafik yang diinginkan semua orang.
“Kau takut?” tanyanya, tanpa menoleh.
“Ya,” jawab Naya jujur. “Tapi bukan karena posisiku. Karena kalau ini jebakan, pelakunya ada di sekitar kita.”
Arga akhirnya menatap Naya. “Kalimat penyelamat tadi di panggung—itu ide bagus.”
“Itu kerja tim.”
“Simpan energi itu.” Ia mendekat setapak. “Mulai sekarang, jangan klik apa pun dari email anonim. Dan kalau ada yang mendekat dengan janji bantuan, catat namanya.”
“Seperti… siapa?”
Arga menatap lama, seolah hendak mengucapkan satu nama, lalu mengurungkannya. “Siapa pun.”
Ponsel Naya bergetar lagi. Pesan baru dari nomor tak dikenal: “Kamu ingin bukti siapa yang pakai laptopmu? Temui aku di parkiran B3, lima menit.”
Naya menatap Arga. “Ada seseorang—”
“B3,” ulang Arga, suaranya serendah ancaman lembut. “Kita pergi berdua.”
Mereka menuju lift layanan. Di antara dering-dering server dan bau oli, kota terasa jauh. Pintu lift terbuka di B3. Sunyi, hanya terdengar tetes air dari pipa.
Sebuah siluet berdiri di antara pilar. Saat mendekat, Naya mengenali sosok itu.
Karina.
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada







