LOGIN"Kamu nggak peka jadi cewek."
"Memang apaan?" Vania menatap sang sahabat, Syifa. "Manager dan bos kamu itu suka sama kamu." Vania bergidik pelan "Mereka duda, gimana suka sama anak kecil?" "Memang kenapa?" Syifa mengerutkan keningnya "Bagus duda karena pengalaman, siapa yang lebih cakep?" "Semua cakep." Vania menunduk lemas setelah apa yang dikatakan Syifa "Kamu jangan suka ngarang, Cip." Liburan dihabiskan Vania bersama dengan sahabatnya Syifa, mereka sudah bersahabat dari jaman putih abu-abu dan ajaibnya mereka kuliah di kampus sama tapi berbeda fakultas. Kisah percintaan mereka berdua pastinya berbeda, Syifa sudah memiliki kekasih dan berencana menikah kemungkinan tiga bulan lagi. Vania sendiri kisah asmaranya berakhir saat menjelang wisuda, dimana sang mantan mendapatkan pekerjaan ditempat jauh dan mereka tidak sanggup melakukan hubungan jarak jauh. "Kenapa memang sama duda? Abi masalah?" "Abi? Kenapa malah bawa abi? Abi sama umi nggak tahu, aku juga nggak bayangin mereka tahu. Permasalahan itu bukan duda sekarang, tapi mereka ini atasan aku dan kita interaksi tiap saat." Syifa menganggukkan kepalanya "Memang kenapa? Kamu deg-degan sama siapa?" Vania melemparkan tissue kearah Syifa yang tertawa "Diajak bicara serius malah becanda. Sampai mana persiapan pernikahanmu?" "Masih belum sempurna, tapi kami berusaha bisa selesai dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Kamu tetap harus datang dan wajib, kalau bisa bawa kekasih duda itu." Vania beranjak dari tempat duduknya "Pusing sama kamu. Aku kamar mandi, kamu beli popcorn sama minum dulu." Kegiatan mereka saat ini adalah menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop dan makan pastinya, mereka berdua sendiri jarang bertemu paling sering dua minggu sekali tapi jika sudah tidak bisa ketemu bisa lebih dari sebulan atau dua bulan. Vania mencari keberadaan Syifa di tempat penjual makanan dan minuman, tapi sayangnya tidak ada sama sekali, mengambil ponsel tapi terhenti saat seseorang memanggil namanya. "Sendiri?" "Sama teman, pak." Vania menjawab sopan pada Andreas "Bapak?" "Jangan panggil Pak, kita bukan di area kantor. Sendirian, nggak ada teman. Nonton apa?" Andreas menatap Vania dari atas ke bawah, setidaknya masih memakai pakaian sopan sehingga Vania tidak terlalu peduli dengan tatapan Andreas. "Film Indonesia, pemainnya si istri penyanyi itu. Bapak sendiri?" "Sama, lihat trailernya bagus jadi mutusin buat nonton. Kamu udah beli makan dan minum?" Andreas menatap Vania yang tidak membawa apapun "Saya belikan." "Nggak usah, pak. Teman saya sudah kelihatan. Mari." Vania menangkap Syifa yang berada di dekat pintu masuk. Langkah kakinya lebar agar segera tiba depan Syifa dan menarik masuk kedalam, pertemuan dengan Andreas dalam kondisi seperti ini sangat tidak nyaman sama sekali. Mengambil popcorn dari tangan Syifa dan mengajaknya masuk, setidaknya Syifa tidak banyak bertanya atas apa yang dilakukan Vania dan memilih mengikutinya. "Kayak dikejar hantu," ucap Syifa saat mereka sudah duduk. Vania melihat sekitar bioskop dan memastikan tidak ada Andreas "Ketemu Andreas waktu cari kamu." "Sumpah?! Wah...jodoh berarti." Vania seketika memukul paha Syifa yang langsung teriak "Sakit tau!" "Tahu. Mulutnya dijaga jangan asal ngomong." Vania menanggapi santai dan langsung minum agar perasaan sedikit tenang "Aku mau menikmati liburan ini tanpa ada hubungan dengan kantor, termasuk bos atau rekan kerja. Cukup mereka hadir selama lima hari dalam kehidupanku." Syifa memutar bola matanya malas "Kapan lagi bisa sama kamu? Lagian sibuk banget." "Kebalik! Ngaca!" List mereka menonton telah selesai, selanjutnya menikmati makanan yang sudah mereka inginkan dari beberapa hari lalu. Waktu itu pembukaan tapi mereka belum bisa merasakan sampai sekarang, dan saat ini adalah waktu yang tepat. Tampaknya tempat makan ini sudah tidak terlalu ramai dibandingkan sebelumnya, mereka bisa mendapatkan tempat duduk dengan sangat mudah. "Rahmad nggak protes ini?" tanya Vania menatap Syifa yang menggelengkan kepalanya "Berani protes langsung aku omelin." Syifa tertawa mendengar kalimat Vania "Rahmad bilang kalau kamu itu nggak bisa galak wajahnya, orang yang lihat malah ketawa bukan takut. Dia selama ini nurutin katamu bukan takut cuman nggak kuat nahan tawa." Vania mengerucutkan bibirnya "Memang aku badut." "Wah...ketemu lagi disini. Boleh saya gabung? Tampaknya sulit dapat tempat duduk." Vania membuka mulutnya melihat keberadaan Andreas di tempat duduknya, Syifa menatap penuh tanda tanya tapi sayangnya Vania tidak memperhatikan itu semua. "Baiklah, pak. Cip, nggak papa ya bosku gabung?" Vania menatap Syifa yang hanya menganggukkan kepalanya. "Andreas." Andreas mengulurkan tangan ke Syifa yang langsung disambut "Temannya Vania?" "Syifa, pak. Benar teman Vania, pak. Nggak nyangka kita ketemu, pak." Vania menatap tajam kearah Syifa. "Wah...Vania berarti cerita tentang saya? Jangan panggil pak, panggil mas atau apapun asal bukan pak dan om." Andreas memperbaiki panggilan Syifa padanya. "Kamu manggil apa?" Syifa menatap Vania yang terkejut. "Mas, Vania manggil mas." Andreas menjawab sebelum Vania membuka mulutnya, jawaban Andreas membuat Vania memberikan tatapan tajamnya "Maaf kalau mengganggu waktu kalian." "Kalau merasa nggak enak harusnya nggak usah kesini," ucap Vania dengan suara pelan tapi Syifa seketika menendang kakinya diikuti tatapan tajam. Syifa membuka pembicaraan tentang hal umum, rasanya tidak sopan ketika ada orang lain tapi tidak mengajaknya berbicara, Vania sendiri memilih mendengarkan dengan ikut bergabung seperlunya. Keberadaan Andreas seketika membuatnya tidak tenang, bagaimanapun posisi mereka adalah atasan dan bawahan, dimana siapa saja bisa melihat apa yang sedang terjadi. Vania sebenarnya tidak peduli, tapi tetap saja tidak enak dengan Andreas. Kedekatannya dengan sang pemilik pabrik, gosip tentang mereka yang pastinya akan merugikan bukan hanya Andreas tapi juga hubungan dengan sang pemilik pabrik, terutama Fifi. Wanita satu itu seakan mencari kesalahannya atau Andreas, tidak tahu tujuannya tapi tampak jika menginginkan salah satu diantara mereka berdua resign. "Kalian pulang naik apa?" tanya Andreas menatap mereka bergantian. "Saya bawa motor." Vania menjawab cepat. "Baiklah, hati-hati." "Aw...sakit, Cip." Vania membelai lengannya yang dicubit Syifa dan memberikan tatapan tajam. "Motor apaan? Motormu di bengkel, bukan? Kamu pulang naik kendaraan umum bukan motor, lagian siapa tahu dia anterin kamu terus timbul benih-benih cinta." Syifa memeluk tubuhnya sambil memejamkan matanya. "Ngimpi terus. Aku kasih tahu Rahmad ini." Vania berjalan meninggalkan Syifa dengan memesan kendaraan online "Kamu pulang ke rumahku atau gimana?" "Kerumahmu lah. Besok baru pulang dijemput sama Rahmad. Kamu mau ikut? Kita mau cari kain buat bridesmaid." Syifa menggandeng lengan Vania sambil berjalan menuju lobby. "Aku mau hibernasi aja, lagian pekerjaanku setelahnya itu banyak. Semoga nggak ada deadline yang buat pusing." "Serius bos kamu itu lumayan. Kamu benar nggak tertarik? Kalau aku lihat dia suka sama kamu loh." Syifa menatap Vania yang tampak tidak peduli "Kamu nggak mau buka hati?" "Aku mau memuaskan diri tanpa hubungan. Kalau nanti nikah mungkin aku akan sepenuhnya dirumah." "Resign kalau suami kamu bisa kasih nafkah yang sesuai dengan gaji selama kerja.""Pak Gun masuk di restoran baru? Asistennya Chef Edwin?" "Katanya sih begitu." Vania memilih jawaban aman.Berita tentang restoran lama yang akan buka kembali gagal sudah di dengar satu kantor, mereka semua bertanya-tanya tentang alasan sebenarnya. Ketidakhadiran Fifi di perusahaan semakin membuat orang berpikir yang tidak-tidak, Vania dan Zafran tidak mengeluarkan sama sekali. Semua orang tahu dimana Fifi yang sangat ambisius membuka kembali restoran lama agar bisa kembali berjaya seperti dulu, dan pastinya menyaingi restoran baru."Restoran lama nggak jadi?" tanya Titik dengan nada penasaran."Belum tahu, bu." Vania menjawab kembali."Kandidatnya gimana?" Titik masih penasaran dengan banyak hal."Kandidat sudah ketemu sama Pak Edwin dan Pak Bayu, mereka yang lolos langsung masuk kesana," jawab Adel yang diangguki Vania."Cik Fifi kemana sih? Aneh banget tiba-tiba nggak datang lagi." Titik menatap Vania dalam seakan in
"Kenapa nggak kasih tahu tentang Cik Fifi?"Andreas menatap sambil mengangkat alis mendengar kalimat pertanyaan Vania "Siapa yang kasih tahu?" "Kemarin-kemarin mas ngurusin Cik Fifi?" tanya Vania tanpa menjawab pertanyaan Andreas.Andreas menghela napas panjang "Nggak, ada kerjaan disini. Ngurus masalah Bu Fifi hanya sehari itu. Kamu tahu darimana? Gun?" Vania menganggukkan kepalanya "Jangan kesebar, bisa marah Pak Fandy." "Anak-anak curiga sudah," ucap Vania mengingat pembicaraan di ruangan."Biarin. Jangan sampai dibuka, bagaimanapun bisa dikatakan aib." "Cuman periksa saja, kan?" tanya Vania penasaran."Pak Fandy nggak kasih tahu lagi selanjutnya, beliau sibuk mengurus masalah Bu Fifi. Aku menggantikan beberapa tugasnya yang nggak bisa dijalani karena masalah ini. Masalah Gun sendiri aku juga nggak tahu gimana, Pak Fandy belum membicarakan hal ini sama sekali." "Separah itu?" Andreas mengangkat bahunya "K
"Pak Gun yang memutuskan kandidat." "Cik Fifi memang kemana? Udah lama beliau nggak datang." "Baru dua hari nggak kesini, lamaan yang waktu kasus Aulia." Zafran memutar bola matanya malas mendengar kalimat Vania."Tetap aja lama, mas. Jadi ini kandidat Pak Gun yang seleksi? Aku hubungi beliau gitu?" Zafran menganggukkan kepalanya "Serius, nggak ada informasi Cik Fifi kemana?" "Mungkin nggak boleh kesini sama Pak Fandy." Zafran mengangkat bahunya "Udah buruan hubungi Pak Gun, kalau bisa lusa ketemu sama dia."Rasa penasaran atas ketidakhadiran Fifi membuat banyak pemikiran yang tidak-tidak, ditambah pembicaraan mereka bertiga terakhir di rumah orang tua Vania. Mereka bahkan belum melakukan apa yang direncanakan, apa sudah melakukan tapi tidak ada yang memberitahu dirinya.Mengambil ponselnya untuk menghubungi Gun, menanyakan waktu luang agar bisa melakukan seleksi pada karyawan yang akan masuk di restoran. Pintu terbuka sebelum
"Gajinya kebesaran, nggak cocok sama anggaran yang sudah dibuat." "Maaf, bukannya kisaran gaji ini sudah sesuai dengan arahan Pak Fandy? Kita menggunakan..." Zafran menutup mulutnya seketika."Restoran ini nantinya yang megang saya atau Pak Fandy?" potong Fifi membuat semua terdiam "Perhitungan saya nggak segini. Kalian ini apa-apa dengarin Pak Fandy. Saya yang pegang restoran ini bukan dia. Jadi apa kata saya." "Maaf, bu. Instruksi Pak Fandy adalah menyamakan dengan restoran yang dibuat olehnya." Zafran masih mengatakan dengan nada sopannya."Kamu nggak kesal Vania sama Andreas?" "Maaf? Maksudnya apa ya, bu?" Zafran mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diluar pembahasan."Saya tahu kalau kamu menyukai Vania, bahkan kalian sudah melakukannya. Memang kamu nggak masalah mereka bersama?" Fifi menompang dagunya dengan tangan menatap dalam Zafran."Kami nggak berjodoh, bu." Zafran menjawab dengan bijak dan tenan
"Bu Fifi belum datang, tumben?""Ada urusan mungkin. Del, kandidatnya udah datang?" Vania menatap Adel yang menganggukkan kepalanya "Kita interview bareng aja, berapa kandidatnya?""Sepuluh, mbak." "Bagi dua aja. Kamu di tempat biasa, aku di tempatnya Pak Andreas. Besok masih ada lagi?" "Masih, mungkin lebih banyak. Memang nggak papa pakai ruangan Pak Andreas? Pak Andreas ada di ruangan atau nggak?" "Nggak papa, Del. Khusus dia aja." Putri membuka suara yang ditanggapi Vania hanya dengan gelengan kepala "Aku penasaran kenapa Cik Fifi belum datang, nggak mungkin karena kemarin." Semua hanya tahu jika Fifi memarahi Vania yang berkaitan dengan rekrutmen karyawan restoran yang dipegangnya, tidak ada yang tahu kalimat yang keluar dari bibir wanita itu yang menyakitkan Vania. Terjawab sudah alasan dibalik sikap Fifi pada dirinya, tidak tahu siapa yang salah tapi memang perasaan tidak akan pernah bisa disalahkan. Fifi yang memang su
"Kamu benar nggak mau kasih tahu sama suami sendiri apa yang dikatakan Bu Fifi?" "Nggak ada yang penting, mas. Masalah kandidat aja." Vania menjawab sambil meletakkan peralatan makan di tempatnya "Nggak usah dianggap serius." "Gimana nggak dianggap serius kalau ekspresi kalian waktu kita berdua masuk itu...Fifi penuh emosi dan kamu terkejut dan ingin nangis." Andreas tetap dengan keteguhannya ingin tahu yang terjadi. "Mas Zafran juga sudah tanya, jawabanku juga sama." Hal satu ini jelas tidak. Vania menceritakan semuanya pada Zafran, alasan menceritakan pada Zafran lebih pada mencurahkan apa yang sedang dirasakannya. Hasil dari cerita ini, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan kepada siapapun terutama Andreas. Pria yang sudah menjadi suaminya ini akan emosi jika mendengar kata-kata Fifi, mengatakan dirinya murahan dan memberikan tubuhnya pada kedua pria. "Pak Fandy memperingatkan Bu Fifi agar tidak mela







