Denis wiratama dan Evan wiratama, dua bersaudara yang memiliki perwatakan berbeda bak langit dan bumi. Denis bak bumi yang keras, sementara Evan bak langit yang siap membawaku terbang. Dan kini sudah saatnya untukku terbang bersama cinta baru yang akan membuatku tertawa.
Awal pernikahanku dengan Denis dan Evan, sungguh jauh berbeda. Bersama Denis, aku harus patuh dan menjadi istri yang penurut. Apa pun kata-katanya tidak bisa dibantah. Aku dijadikan istri yang siap melayaninya di rumah, hanya di rumah. Tidak untuk di luar rumah, bahkan untuk dikenalkan ada temannya pun hanya bisa dihitung dengan jari. Bersama Evan, aku bisa merasakan menjadi wanita paling bahagia. Bahkan tidak sedetik pun ia membiarkan aku melamun, ada saja tingkah konyolnya yang akan membuatku tertawa. Atau lebih tepatnya, menjengkelkan. Lelaki itu ada saja idenya untuk menggangguku. Dasar bocah tengil! Hari ini kami masih di hotel, usai sarapan tadi kami menghabiskan waktu bersama di kamar. Rebahan manja, tentunya dengan batas jarak dan lelaki itu tidak berani macam-macam tanpa seizinku. Iya, hanya berdua tanpa kerabat yang mengganggu momen mendebarkan ini. Evan, sih, tadi bilang kalo semua anggota keluarga yang menginap sudah pulang atau lebih tepatnya, diusir Evan agar dia bisa berdua bersamaku. Ck, dasar otak mesum. “Van ....” Aku membuka suara karena sudah satu jam berada di kamar, kami tidak terlibat obrolan. “Iya, Mbak. Kenapa? Kangen?” ucapnya asal. Lelaki itu ngakak saat aku memasang wajah masam. Dih, sok ganteng! Aku bangun dan duduk bersandar dengan selimut menutupi kaki. Biasanya lelaki itu akan nyerocos, tapi kini ia lebih banyak rebahan di sofa dan sama sekali tidak menggangguku yang rebahan di kasur. Atau jangan-jangan, dia kena sawan udang yang tadi dimakannya, jadi malah diem? Hahaha, pikiran absurd gue. Astaga. “Aku, bete. Ajak jalan-jalan napa, sih. Katanya mau nyenengin istri?” Aku menepuk jidat. Kok bisa-bisanya, sih ngomong gitu. Etapi, tunggu reaksinya. Apa dia bakalan pelit atau malah .... “Hayu, suamimu siap mengantarkan ke mana saja!” Evan bangun dan dengan wajah bersemangat membuka koper kecil miliknya, mengambil dompet lantas menyerahkan padaku. “A-apaan, sih?” Aku pura-pura tidak paham. Evan lalu duduk di tepi kasur, tangannya menggenggam kan dompetnya padaku. “Mbak sudah resmi jadi istriku. Jadi mulai sekarang, Mbak yang berhak mengatur keuanganku. Berapa pun penghasilan, aku percayakan sepenuhnya sama, Mbak.” Aku benar-benar dibuat takjub dengan pemikiran Evan. Meski dia usianya di bawah Denis dan di bawahku, tapi cara berpikirnya luas. Tidak monoton dan benar-benar tahu bagaimana kewajiban suami terhadap istrinya. Lain halnya dengan Denis, selama menjadi istrinya, aku belum pernah sekali pun diberikan izin untuk membuka dompetnya meski saat urgent sekali pun. Tentunya sudah izin terlebih dulu dan Denis tidak pernah memberikan izin. Tuhan, anugerah macam apa ini? Aku menatap Evan, pun dengan lelaki itu. Tatapannya penuh ketulusan, ya, aku bisa merasakan itu. Tangannya yang masih berada di atas pangkuanku dibiarkannya. Aku pun merasa nyaman dengan lelaki ini. Mungkin sudah saatnya aku memaafkan diriku dan berdamai dengan luka. Tidak seharusnya kenangan pahit ini terus-menerus menahan rasa ingin bahagiaku yang sudah ada di depan mata. Aku harus bisa menerima Evan dan berbakti seperti aku berbakti pada Denis dulu. Satu hal yang harus aku ingat, jangan pernah membandingkan Evan dan Denis lagi. Karena itu bisa saja melukai hati Evan. “Mbak juga boleh ngabisin duitnya buat hal apa pun yang bikin Mbak seneng.” Aku diam karena kehabisan kata-kata untuk menepis ucapannya. Dia baik dan aku tidak punya alasan untuk tidak berbuat baik padanya. Evan tersenyum tanpa melepas pandangannya dariku, membuatku salah tingkah. “Mbak ....” Evan bersuara setelah beberapa saat kami hanya diam dan saling tatap menatap. “Iya ....” “Mbak, cantik banget!” Evan bersuara parau, entah ada apa dengannya. “Makasih.” Aku tersenyum. Tersentuh dengan pujiannya. Tangannya mulai mengelus punggung tanganku, sementara dompet miliknya diletakkan di nakas. Wajahnya mendekat, semakin dekat tapi aku enggan beranjak. “Aku mau cium, Mbak. Boleh?” Tubuhku menegang, aku mematung seiring lidah yang kelu. Bisa-bisanya seorang suami meminta izin sekadar untuk meminta cium. Fix, aku akan menjadi wanita paling bodoh jika sampai menyia-nyiakan Evan. “Mbak ... aku mau cium, Mbak. Boleh?” Evan mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban. Aku mengangguk. Iya, hanya itu jawaban yang bisa aku lakukan karena mulut ini tiba-tiba kaku. Evan tersenyum lembut dan tanpa menunggu lama, lelaki itu mendekatkan wajahnya. Hangat. Evan benar-benar pandai melakukan permainan ini. Darah di tubuhku terasa memanas seiring perlakuan Evan yang berusaha semakin memasukiku. Jantungku berdebar dengan sangat kencang, sampai tanpa sadar, kedua tanganku sudah mengunci kepala Evan dengan pelukan. Aku benar-benar menikmati ini. Evan memelukku erat sampai aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu kencang, hingga tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu melintas membuat jantungku kembali nyeri. Dengan refleks aku mendorong dada Evan dan menyudahi cumbuan ini. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu, lelaki yang duduk di hadapanku pun sama. Nafasnya terengah-engah sama sepertiku. “Maaf ....” Aku menundukkan kepala. Malu. Rasanya aku memang belum siap untuk menerima lelaki lain. “Maaf, kenapa? Mbak nggak salah. Aku yang seharusnya minta maaf sudah lancang.” Suara Evan terdengar normal, tidak seperti tadi. “Aku minta maaf, Van. Belum bisa memberikan sepenuhnya yang seharusnya kamu dapatkan sebagai seorang suami. Aku buruk!” Aku menutup wajah dengan telapak tangan, lalu tangan Evan menarik bahuku dan membawanya dalam pelukan. “Aku sudah berjanji, bukan? Akan membahagiakan, Mbak.” “Tapi aku nggak mau kamu tersiksa dengan rasa trauma aku, Van!” Aku menangis di dalam pelukannya. “Aku akan menyeimbangkan langkah, asalkan aku bisa terus bareng sama Mbak!” “Jangan, Van!” “Mbak, aku siap bantu Mbak keluar dari rasa trauma itu. Mbak nggak usah takut, aku siap sepenuh hati. Asalkan Mbak bantu aku juga.” Tangan Evan mengusap punggung, membuatku merasa semakin nyaman. “Caranya gimana?” Aku melepas pelukan, mengusap wajah yang basah dan menatap Evan. “Mbak kasih tau sama aku, hal apa yang bikin Mbak bahagia dan apa yang bikin Mbak nggak nyaman. Bisa?” ucapnya sungguh-sungguh. Aku mengangguk lalu menoleh dompet di nakas. “Aku mau shopping.” Aku mengangkat dompet miliknya sambil nyengir. Dia tersenyum dan menarik tanganku. “Siap, Nona,” ucapnya lagi. Tidak ada salahnya untuk sekadar meluangkan waktu satu detik untuk membahagiakan diri, selama tidak merugikan pihak lain. Karena sudah menjadi kewajiban dirimu untuk menciptakan momen bahagia khusus untuk dirimu sendiri.Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas