Momen pelukan yang tidak direncanakan tadi membuatku tidak bisa tidur. Masih terasa hangatnya tubuh Evan saat berada dalam jarak yang begitu dekat dengan dada ini. Astaga, kok bisa deg-degan ini nggak ilang, sih. Hidungku pun masih mencium aroma wangi sabun dari tubuh Evan.
Jantungku berdebar kencang seperti genderang yang mau perang! Aaagghh ... aku menggigit ujung bedcover yang menutupi badan sampai batas leher. Aku menoleh ke arah sofa yang terletak di sebelah kiri dekat dengan jendela, Evan yang mengenakan pakaian tidur lengan pendek dan celana panjang sudah terlelap di sana. Selimut yang kupakaikan padanya tadi kembali terlipat di ujung sofa. Aku memiringkan tubuh, menatap lekat ke arah suamiku yang masih menahan nafsunya untuk tidak menyentuhku. Harus aku akui, dia baik. Hati ini pun luluh dengan sikapnya yang lembut. Tutur katanya yang pelan, membuatku merasa diperlakukan seperti seorang wanita yang paling berharga. “I love you, Mbak!” Aku mendengar Evan bersuara, tapi tubuhnya tetap dengan posisi tidak bergerak dan mata yang terpejam. “Udah tidur masih aja ngegombal. Dia pikir bisa membuatku berubah pikiran dalam mimpi, gitu? Ck, ngarep!” Aku menarik selimut sampai menutupi seluruh badan, mencoba mencari kantuk yang ke mana perginya. Aku nggak bisa tidur, dan ini semua gara-gara Evan! Dan sialnya, jantung ini belum juga reda debarannya. ** Aku membuka mata saat cahaya matahari menembus tirai yang sedikit terbuka. Entah semalam bisa tidur nyenyak jam berapa karena minimnya cahaya dan aku enggan menatap lekat pada Evan. Takut benaran jatuh cinta. Sumpah deh! Wajahku mencari sekeliling saat menyadari Evan sudah tidak ada lagi di sofa, tapi rasa penasaran itu segera terjawab saat pintu kamar mandi terbuka. “Kok udah bangun, Mbak? Aku ganggu, ya?” Aku menggeleng pelan. Evan ke luar kamar mandi masih mengenakan pakaian tidur semalam. Tapi wajahnya terlihat lebih segar. Mungkin dia sudah mandi. Evan berjalan menuju meja rias yang terdapat cermin besar. Tangannya yang kekar dengan telaten merapikan rambutnya dengan sisir. Lalu diraihnya botol parfum yang memang sengaja disediakan dari pihak hotel dan disemprotkan ke leher dan pergelangan tangannya. Membuat ruangan ini wangi. Tuhan, pemandangan indah macam apa ini? Wajahku tidak bisa berpaling dari makhluk Tuhan paling sempurna yang berdiri di hadapanku, sampai akhirnya aku tersadar saat Evan tersenyum. Aku melihat pantulan wajahnya dari cermin justru terlihat seperti seringai licik penjahat. “Aku emang ganteng, Mbak. Dan suamimu yang ganteng ini akan mengajakmu sarapan romantis di bawah. Yuk!” serunya sambil meletakkan botol parfum tadi. Ia membalikkan badannya dan berjalan mendekat ke arahku yang masih duduk di kasur dan lelaki itu duduk di tepinya. Hah? Apa? Romantis? Kok aku nggak, yakin, ya. Aku justru curiga saat Evan mengatakan sarapan romantis. Aduh, bisa nggak sih, otak aku mikir yang positif. “Hayuk, sarapan? Apa perlu aku gendong sampe ke bawah?” Tubuh Evan condong ke arahku dengan satu lengannya hendak meraih lengan. Buru-buru aku menepisnya dan lompat dari kasur. “Aku mau mandi dulu!” “Mau dimandiin, nggak?” “Nggak!” “Atau mau mandi bareng? Aku rela, loh, mandi lagi demi bisa mandi bareng sama Mbak!” “Kamu gila!” seruku tanpa menoleh. Tapi aku bisa mendengar Evan tertawa terbahak-bahak saat pintu kamar mandi ditutup. Hari pertama jadi istri bocah tengil dan jantungku sukses dibuat lemah tak berdaya. ** Tanpa mengganti pakaian tidur, aku turun ke restoran hotel usai mandi. Setidaknya dress malam yang aku kenakan modis dan masih layak dikenakan. Toh Evan juga masih mengenakan pakaian tidur juga. Impas, dong. Tanganku digandeng erat oleh Evan saat kami memasuki lift. Rasanya juga percuma berontak, dia sudah pasti menang. Dengan setengah terpaksa aku membiarkan jemari ini digenggam erat. Setidaknya, aku ingin mencoba belajar untuk bisa mencintainya. Eciye, belajar mencintainya. Di dalam lift, hanya ada kami berdua. Tidak ada tamu hotel yang ikut turun. Membuatku sesak napas karena momen seperti ini membuat kadar oksigen di sekitarku menipis. Ini terlalu romantis, Thor! “Lepasin tanganku, Van!” Aku mencoba menarik paksa, tapi genggaman tangan itu semakin kuat. “Van, lepasin!” Evan tetap diam dengan mimik wajahnya yang tenang. Dia kayak patung budek astaga! Dan yang lebih heran. Nggak ada gitu keluarga yang sama-sama nginep di hotel ini nyariin aku? Berasa kayak potongan daging yang dilempar ke mulut buaya. Restoran hotel terlihat ramai karena memang jam-nya untuk sarapan. Dari jendela yang terbuat dari kaca, aku bisa melihat ke arah dalam menu sarapannya. Terlihat menggiurkan karena memang hotel ini bukan hotel sembarangan. Aku sudah bisa membayangkan menyantap mereka dengan lahap dan perutku kenyang. Tapi saat aku hendak mendekati pintu masuk restoran, Evan menarik tanganku paksa agar mengikuti seorang waiters yang mengenakan kemeja ungu dan celana hitam memasuki sebuah ruangan. “Selamat menikmati hidangan kami Pak Evan!” Lelaki itu membukakan pintu dan menutupnya kembali saat kami sudah ada di dalam. Aku cukup takjub melihat ruangan VVIP restoran hotel ini. Hanya ada satu meja dan dua kursi, seperti melambangkan dua insan dan satu cinta berada dalam pelaminan yang sama. Duh ... kok Evan romantis, sih! Evan melepaskan genggaman tangannya, lalu menarik sebuah kursi dan mempersilakan aku duduk. Evan lalu menarik kursi di sebelah kanan dan mempersilakan aku makan duluan. “Mbak boleh makan semuanya. Ini aku pesan khusus buat Mbak. Semoga suka, Sayang!” Tangan Evan mengusap lembut rambutku, pun tak kalah lembut senyuman yang ia berikan padaku sebelum akhirnya dia mengambil hidangan di piring. Duhai, diri. Jangan pingsan! Evan mengambil beberapa potong udang saus mayonaise lalu diletakkan di piringnya. Ditusuknya udang dengan garpu, lalu diarahkannya padaku. “Cobain, deh, Mbak. Ini enak, loh!” Evam mencoba menyuapiku, tapi rasa kaku menyelimuti tubuh ini. Aku grogi, sumpah! “I-iya, nanti aku ambil sendiri!” Aku mencoba menolak, tapi aku juga harus sadar jika lelaki itu tidak menerima penolakan. Evan diam dengan tangan kanannya masih terulur dengan udang pada garpu. “Makan dari tangan orang yang dicintai itu lebih enak, loh, Mbak!” serunya tak mau kalah. Oke, iya, oke. Aku nyerah! Aku membuka mulut, membiarkan Evan menyuapiku. Lelaki itu tersenyum puas lalu fokus pada makanan di hadapannya, bahkan ia tidak peduli pada jantungku yang nyaris mau meledak. Entah apa yang sedang direncanakan Evan, tapi sejak pertemuan kami hingga kini, sikapnya tak berubah. Bahkan semakin manis, ucapannya begitu terjaga seolah takut melukai hati ini. Evan masih asyik dengan makanannya, aku pun sama. Menyibukkan diri dengan menyantap hidangan yang entah apa namanya. Yang jelas, semua makanan yang ada itu enak. Andai aku sendiri di sini, mungkin sudah aku lahap habis semuanya. Evan meletakkan sendok dan garpu, lalu me-lap mulutnya dengan serbet. Lelaki itu sudah kenyang sepertinya. “Mbak ....” “Hummm ....” “Habis ini kita mau pulang ke mana?” Pertanyaan yang dilayangkan dengan nada serius. “Terserah kamu. Aku ikut aja.” Aku meletakkan sendok dan menyudahi sarapan. Rasanya perut ini sudah penuh dengan sajian lezat. Alhamdulillah. “Kalo misalkan, buat sementara kita tinggal sama Mama. Mbak keberatan?” tanyanya hati-hati. “Nggak, kok. Aku, sih, oke aja.” “Apa Mbak nggak apa-apa, kan di sana ada Mas Denis?” “Aku yakin Denis nggak akan macem-macem. Toh, dia juga sudah ada istri.” Evan mengangguk, lalu berdiri. Kembali menggenggam tangan dan membantuku berdiri. “Pulang ke rumahnya nanti aja. Aku masih pengen ngabisin waktu berdua sama Mbak!” Lagi-lagi Evan menarik tanganku, erat sampai tak bisa ditemukan celah. Entah akan seperti apa kehidupanku bersama Evan, yang jelas aku ingin menikmatinya dengan tenang. Karena aku sudah lelah menangis saat menjalani biduk rumah tangga bersama Denis. Evan, bawa aku terbang sampai rasa bahagia ini mampu menyentuh awan!Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas