bab 6

Jika ada yang menganggap Evan laki-laki bodoh, dia memang begitu. Merasa dirinya bodoh di hadapan perempuan yang amat dicintainya. Bersedia mengalah, demi terjaganya hubungan baiknya bersama pasangan. Seperti halnya pagi ini, dia masih mau menerima seperti apa keadaan layaknya orang yang memiliki status teman. Bukan pengantin baru yang seharusnya penuh kemesraan. Evan tidak membantah apalagi protes, dia menuruti semua keinginanku. Dia akan meminta ijin jika ingin menyentuhku, dan tidak menyentuh ketika aku larang.

Usai mandi dan berganti pakaian, Evan membawaku ke pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Kami memasuki Mall dengan bergandengan tangan dengan penuh mesra. Aku tidak lagi memberontak apalagi membantah keinginannya memperlakukan aku seperti apa. Aku sudah pasrah, toh disakiti akan sama rasanya meski dengan lelaki berbeda. Jadi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku akan menghadapi dengan bijak. 

Harusnya seperti itu, bukan?

Mataku terasa bersinar kala memandangi toko-toko pakaian keren juga aksesoris wanita. Terlebih makeup dan skincare. Ini adalah kesempatan emas bagiku untuk berbelanja produk yang sudah lama diidamkan. Meski sebenarnya aku ragu untuk melakukannya, tapi bodo amat lah, toh Evan sudah menyerahkan sepenuhnya isi dompetnya padaku.

Hahahaha.

“Van, aku mau beli kosmetik di sana!” Aku mengarahkan telunjuk ke sebuah toko yang berwarna serba merah muda. Toko itu memiliki dinding kaca dengan hiasan tokoh kartun hello Kitty. Tanpa perlawanan yang berarti, Evan mengikuti langkahku.

Alamak jreng ....

Evan mengambil keranjang kecil yang disediakan toko itu dan membawakannya untukku sementara aku memilih kosmetik di lorong lipstik. Banyak pilihan warna juga merek dari berbagai brand. Mulai dari dalam negeri, maupun barang impor. Semuanya nyaris lengkap. Tapi di mataku, semuanya tetaplah sama.

Tanganku memilih sebuah lipstik bentuk sepatu berwarna hijau. Terlihat cantik dan lucu. Di sebelahnya terdapat sebuah lipstik tester yang artinya boleh dicoba. Aku mengambilnya dan mengoleskan pada punggung tangan. Mate dan kalem warnanya.

“Ini bagus, kok. Cocok kalo Mbak yang pake!” seru Evan sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Heleh, anak kecil tahu apa soal make up!” ucapku ketus.

“Hadeuh, mulai lagi, deh.” Evan mengembuskan napas yang terdengar berat. Ia sepertinya tersinggung dengan panggilan ‘anak kecil’. 

Apakah aku harus mengakhiri panggilan itu untuknya? Sementara di mataku dia memang anak kecil? Hanya tubuhnya saja yang seperti orang dewasa, tapi jalan pikirannya? 

Ah, sudahlah!

Aku meletakkan kembali lipstik yang memang sedikit naksir, tapi gara-gara melihat sikap Evan, jadi males. Aku mulai melangkah ke lorong berikutnya, tempat berbagai bedak berjejer manis dan rapi.

“Boleh aku pilihin buat, Mbak?” 

Ternyata Evan mengikuti langkahku, ucapannya yang menawarkan jasa untuk membantu memilih makeup sedikit membuatku sadar. Sudah lama kami berkeliling di toko ini, tapi belum satu pun benda masuk ke dalam keranjang.

banyak toko yang kami singgahi, tapi tidak satu pun yang menarik hatiku. Bukan karena barangnya tidak ada yang bagus, melainkan harganya yang termasuk tidak masuk akal. Tempat ini hanya cocok untuk kaum kalangan atas, yang duitnya bisa dihamburkan. Bukan untuk kalangan kaum mendang mending seperti aku. Aku sangat menyayangkan jika uangku harus terbuang percuma hanya demi sebuah lipstik. Bayangkan saja, harga untuk sebuah lipstik kecil saja bisa mencapai setengah juta, kalau digunakan untuk yang lain, bisa untuk membeli beras untuk makan satu bulan.