“Oeeekkk ... oeeekkk ....” Suara tangisan bayi menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nayla dan Bu Saida yang saat itu tidur di kamar tamu bersama Airin, langsung terjaga dari tidurnya.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.45. Nayla segera bangun dan mengecek popok Airin. Mungkin bayi itu merasa tidak nyaman karena popok yang dipakainya sudah hampir penuh. Nayla pun segera menggantinya. Namun, setelah popoknya diganti, Airin tidak juga diam. Tangisannya malah semakin menjadi-jadi.
“Mungkin dia haus, Nay. Biar Ibu gendong. Kamu bikinin susu gih!”
“Iya, Bu.” Nayla pun bergegas membuatkan susu formula yang sudah ia siapkan di atas nakas beserta botol dan airnya. Sementara Bu Saida menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.
Setelah susunya jadi, Nayla segera memberikan botol itu kepada ibunya. Bu Saida pun meminumkan susu itu kepada Airin. Seketika Airin berhenti menangis dan menyusu dengan kuat. Sepertinya bayi mungil itu benar-benar sangat kehausan.
“Nay, Ibu kasihan sama Airin. Bayi sekecil ini sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Lalu apa keputusanmu?” tanya Bu Saida tiba-tiba.
“Keputusan apa, Bu?” Nayla balik bertanya. Walau sebenarnya ia tahu maksud dari pertanyaan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Apa kamu mau menikah sama Nak Abyan dan menggantikan posisi kakakmu?” Bu Saida memperjelas pertanyaannya.
Nayla terdiam. Gadis muda itu pun melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Sebenarnya dia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin meraih cita-citanya menjadi seorang arsitek. Ia juga sangat mencintai Revan dan tidak ingin mengkhianatinya. Namun, di sisi lain, dia juga kasihan pada Airin yang sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
“Kalau menurut Ibu, sebaiknya kamu menikah saja dengan Nak Abyan, Nay. Seperti Aleya, Ibu juga ingin kamu yang menjadi ibu sambungnya Airin. Ibu tidak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti Abyan menikah lagi dengan perempuan lain. Kasihan Airin. Entah bagaimana nasibnya nanti. Belum tentu ibu tirinya akan menyayangi Airin seperti anak kandungnya sendiri. Mungkin sebab itu juga, Aleya meminta suaminya untuk menikahimu. Karena Aleya yakin, hanya kamulah yang pantas menggantikan posisinya.”
Nayla masih bergeming. Pikirannya mencerna setiap patah kata yang terlontar dari bibir wanita berhijab itu. Namun, tiba-tiba saja bayangan wajah Revan muncul kembali dalam ingatannya.
Ibu, Mbak Aleya, seandainya saja kalian tahu kalau aku mencintai laki-laki lain. Nayla membatin.
Selama ini Nayla memang merahasiakan hubungannya dengan Revan dari kedua orang tua dan juga kakaknya. Karena Pak Hasan maupun Bu Saida melarang keras anak-anaknya untuk berpacaran sebelum menikah. Nayla selalu sembunyi-sembunyi jika ingin menelepon Revan. Kebohongan demi kebohongan pun selalu ia ciptakan saat hendak menemui kekasihnya itu.
Sekarang Revan sedang berjuang keras untuk meraih mimpinya di Amerika Serikat. Dia sedang berusaha memberikan masa depan yang cerah untuk Nayla sebelum melamarnya. Apakah pantas jika Nayla mengkhianatinya dengan menikahi pria lain? Nayla benar-benar dilema.
“Tapi keputusan ada di tanganmu, Nay,” desis Bu Saida karena sejak tadi putri bungsunya hanya diam. “Ibu enggak akan memaksamu. Ikutilah kata hatimu. Kalau kamu masih ragu, mintalah petunjuk sama Allah dengan salat istikharah. Dialah yang akan memberimu petunjuk dan menghilangkan keraguan dalam hatimu.”
“Iya, Bu.”
Nayra pun bangkit dan melangkah ke kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya untuk mengambil air wudu. Sementara Bu Saida meletakkan botol susu yang sudah kosong ke atas nakas dan menidurkan Airin yang sudah kembali terlelap.
Dengan khusyuk, Nayla menghadap kiblat dan melaksanakan dua rakaat salat sunah istikharah. Selesai salat, gadis muda itu menengadahkan kedua tangannya ke atas. Ia meminta petunjuk kepada Allah untuk membuat keputusan paling besar dalam hidupnya.
Usai salat dan membaca ayat suci Al-Qur’an, hati dan pikiran Nayla jauh lebih tenang. Ia pun membereskan peralatan salatnya, lalu kembali berbaring di tempat tidur. Sekilas ia melihat ibunya dan Airin yang sudah kembali terlelap. Nayla pun mendaratkan bibirnya ke pipi kanan Airin dengan penuh kasih sayang. Setelah itu ia kembali memejamkan mata.
“Mama! Mama! Mama!”
Nayla melihat gadis kecil berlari menghampirinya sambil memanggilnya dengan sebutan ‘mama’. Gadis kecil itu terlihat sangat cantik dengan balutan dress tutu berwarna merah jambu dan rambut panjang yang dikucir dua.
Lalu tiba-tiba saja Nayla membuka mata dan terlonjak duduk.
“Ya Allah ... ternyata cuma mimpi,” gumam gadis yang memakai setelan piama pendek itu. “Tapi siapa gadis kecil itu? Kenapa dia memanggilku mama?”
Bu Saida pun membuka mata saat suara azan menusuk gendang telinganya. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 04.30 pagi. Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat Nayla sudah bangun dengan peluh yang bercucuran di sekitar wajahnya.
“Nay, kamu kenapa?” tanya Bu Saida sambil beringsut duduk.
“Nayla habis mimpi, Bu.”
“Kamu mimpi apa, Nay? Kenapa sampai keringatan begitu? Apa kamu mimpi buruk?” tanya Bu Saida sambil menautkan kedua alisnya.
“Tadi Nayla mimpi, ada gadis kecil yang berlari-lari sambil memanggil Nayla ‘mama’. Nayla enggak tahu siapa dia. Apa jangan-jangan itu Airin? Apa ini sebuah petunjuk dari Allah kalau aku harus memenuhi permintaan terakhir Mbak Aleya untuk menjadi ibu sambung bagi Airin?”
“Mungkin saja, Nay. Setelah salat istikharah, biasanya kita akan dapat petunjuk melalui mimpi. Tapi tidak selalu begitu. Kadang Allah memberi umat-Nya kemantapan hati untuk menentukan pilihannya.”
Ya Allah ... mimpi itu terlihat seperti nyata. Apa memang benar aku akan menjadi ibunya Airin? Nayla bertanya dalam hati.
Karena sudah masuk waktu salat subuh, Bu Saida pun beranjak keluar untuk membangunkan suaminya yang tidur di kamar sebelah.
***
Di sisi lain, Abyan membuka mata saat telinganya mendengar suara azan. Karena pengaruh obat, ia tertidur dengan pulas semalaman. Pria bertubuh tinggi besar itu pun beringsut bangun, lantas mencabut jarum yang menancap di tangan kanannya. Ia tidak peduli pada cairan infus dalam kantong yang masih tersisa separuh. Tubuhnya sudah tidak lemas lagi. Kepalanya juga sudah tidak pusing.
Abyan pun beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Sesibuk apa pun dan di mana pun ia berada, ia memang tidak pernah lalai dalam menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Setelah memakai kain sarung dan kopiah, ia pun melaksanakan dua rakaat salat Subuh.
Usai salat, tidak lupa Abyan memanjatkan doa agar arwah Aleya tenang di alam sana. Kelopak matanya mulai berembun setiap kali mengingat almarhumah istrinya.
“Oeeekkk ... oeeekkk ....” Samar-samar telinga Abyan mendengar suara tangisan bayi.
Airin! Abyan pun segera bangkit, lantas melepas sarung dan kopiahnya dengan cepat.
Begitu keluar dari kamarnya, suara tangisan Airin terdengar semakin kencang.
“Abyan, kamu sudah bangun? Kenapa infusnya dilepas? Apa kamu sudah baikan?” tanya Mama Mayang yang baru saja keluar dari kamarnya. Kebetulan kamar mereka saling berdampingan.
“Airin nangis, Ma. Di mana dia?” Alih-alih menjawab, Abyan malah balik bertanya kepada ibunya.
“Kamu jangan khawatir, Sayang! Airin tidur sama Nayla dan Bu Saida di kamar tamu. Mama akan segera melihatnya. Kamu istirahat saja di kamar. Muka kamu masih terlihat pucat.”
“Enggak, Ma. Aku mau lihat Airin.”
Abyan tidak mengindahkan perintah ibunya. Ia berjalan dengan cepat menuruni anak tangga. Mama Mayang pun mengikutinya dari belakang.
Dengan langkah kakinya yang lebar, dalam hitungan detik Abyan sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ditempati oleh Nayla dan Airin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pria yang tengah memakai kaus hitam dan celana pendek itu segera membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seketika itu juga, suara tangisan Airin pun berhenti. “Mas Abyan!” Nayla terperanjat kaget. Saat itu ia tengah berbaring di sisi Airin sambil memberinya susu formula. “Em ... maaf, Nay. Aku hanya ingin melihat Airin,” ucap Abyan dengan sedikit gugup. Ia merasa bersalah karena menerobos masuk begitu saja dan membuat gadis bermanik cokelat itu kaget. Nayla pun segera mengubah posisinya menjadi duduk. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang saat berhadapan dengan Abyan. Dia jadi salah tingkah dan merasa kurang nyaman saat berada di dekat laki-laki yang masih berstatus sebagai kakak iparnya itu. “Nay, kamu sudah salat Subuh belum?” tanya Mama Mayang yang tiba-tiba muncu
Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya. Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya. “Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu. Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu. “Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.” “Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” te
Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan. “Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung. “Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka. “Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. “Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu. “Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda. Benar-benar ajaib! Abyan terpaku mempe
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se