Share

Bab 4 : Mimpi

“Oeeekkk ... oeeekkk ....” Suara tangisan bayi menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nayla dan Bu Saida yang saat itu tidur di kamar tamu bersama Airin, langsung terjaga dari tidurnya.

Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.45. Nayla segera bangun dan mengecek popok Airin. Mungkin bayi itu merasa tidak nyaman karena popok yang dipakainya sudah hampir penuh. Nayla pun segera menggantinya. Namun, setelah popoknya diganti, Airin tidak juga diam. Tangisannya malah semakin menjadi-jadi.

“Mungkin dia haus, Nay. Biar Ibu gendong. Kamu bikinin susu gih!”

“Iya, Bu.” Nayla pun bergegas membuatkan susu formula yang sudah ia siapkan di atas nakas beserta botol dan airnya. Sementara Bu Saida menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.

Setelah susunya jadi, Nayla segera memberikan botol itu kepada ibunya. Bu Saida pun meminumkan susu itu kepada Airin. Seketika Airin berhenti menangis dan menyusu dengan kuat. Sepertinya bayi mungil itu benar-benar sangat kehausan.

“Nay, Ibu kasihan sama Airin. Bayi sekecil ini sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Lalu apa keputusanmu?” tanya Bu Saida tiba-tiba.

“Keputusan apa, Bu?” Nayla balik bertanya. Walau sebenarnya ia tahu maksud dari pertanyaan wanita yang telah melahirkannya itu.

“Apa kamu mau menikah sama Nak Abyan dan menggantikan posisi kakakmu?” Bu Saida memperjelas pertanyaannya.

Nayla terdiam. Gadis muda itu pun melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Sebenarnya dia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin meraih cita-citanya menjadi seorang arsitek. Ia juga sangat mencintai Revan dan tidak ingin mengkhianatinya. Namun, di sisi lain, dia juga kasihan pada Airin yang sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

“Kalau menurut Ibu, sebaiknya kamu menikah saja dengan Nak Abyan, Nay. Seperti Aleya, Ibu juga ingin kamu yang menjadi ibu sambungnya Airin. Ibu tidak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti Abyan menikah lagi dengan perempuan lain. Kasihan Airin. Entah bagaimana nasibnya nanti. Belum tentu ibu tirinya akan menyayangi Airin seperti anak kandungnya sendiri. Mungkin sebab itu juga, Aleya meminta suaminya untuk menikahimu. Karena Aleya yakin, hanya kamulah yang pantas menggantikan posisinya.”

Nayla masih bergeming. Pikirannya mencerna setiap patah kata yang terlontar dari bibir wanita berhijab itu. Namun, tiba-tiba saja bayangan wajah Revan muncul kembali dalam ingatannya.

Ibu, Mbak Aleya, seandainya saja kalian tahu kalau aku mencintai laki-laki lain. Nayla membatin.

Selama ini Nayla memang merahasiakan hubungannya dengan Revan dari kedua orang tua dan juga kakaknya. Karena Pak Hasan maupun Bu Saida melarang keras anak-anaknya untuk berpacaran sebelum menikah. Nayla selalu sembunyi-sembunyi jika ingin menelepon Revan. Kebohongan demi kebohongan pun selalu ia ciptakan saat hendak menemui kekasihnya itu.

Sekarang Revan sedang berjuang keras untuk meraih mimpinya di Amerika Serikat. Dia sedang berusaha memberikan masa depan yang cerah untuk Nayla sebelum melamarnya. Apakah pantas jika Nayla mengkhianatinya dengan menikahi pria lain? Nayla benar-benar dilema.

“Tapi keputusan ada di tanganmu, Nay,” desis Bu Saida karena sejak tadi putri bungsunya hanya diam. “Ibu enggak akan memaksamu. Ikutilah kata hatimu. Kalau kamu masih ragu, mintalah petunjuk sama Allah dengan salat istikharah. Dialah yang akan memberimu petunjuk dan menghilangkan keraguan dalam hatimu.”

“Iya, Bu.”

Nayra pun bangkit dan melangkah ke kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya untuk mengambil air wudu. Sementara Bu Saida meletakkan botol susu yang sudah kosong ke atas nakas dan menidurkan Airin yang sudah kembali terlelap.

Dengan khusyuk, Nayla menghadap kiblat dan melaksanakan dua rakaat salat sunah istikharah. Selesai salat, gadis muda itu menengadahkan kedua tangannya ke atas. Ia meminta petunjuk kepada Allah untuk membuat keputusan paling besar dalam hidupnya.

Usai salat dan membaca ayat suci Al-Qur’an, hati dan pikiran Nayla jauh lebih tenang. Ia pun membereskan peralatan salatnya, lalu kembali berbaring di tempat tidur. Sekilas ia melihat ibunya dan Airin yang sudah kembali terlelap. Nayla pun mendaratkan bibirnya ke pipi kanan Airin dengan penuh kasih sayang. Setelah itu ia kembali memejamkan mata.

“Mama! Mama! Mama!”

Nayla melihat gadis kecil berlari menghampirinya sambil memanggilnya dengan sebutan ‘mama’. Gadis kecil itu terlihat sangat cantik dengan balutan dress tutu berwarna merah jambu dan rambut panjang yang dikucir dua.

Lalu tiba-tiba saja Nayla membuka mata dan terlonjak duduk.

“Ya Allah ... ternyata cuma mimpi,” gumam gadis yang memakai setelan piama pendek itu. “Tapi siapa gadis kecil itu? Kenapa dia memanggilku mama?”

Bu Saida pun membuka mata saat suara azan menusuk gendang telinganya. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 04.30 pagi. Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat Nayla sudah bangun dengan peluh yang bercucuran di sekitar wajahnya.

“Nay, kamu kenapa?” tanya Bu Saida sambil beringsut duduk.

“Nayla habis mimpi, Bu.”

“Kamu mimpi apa, Nay? Kenapa sampai keringatan begitu? Apa kamu mimpi buruk?” tanya Bu Saida sambil menautkan kedua alisnya.

“Tadi Nayla mimpi, ada gadis kecil yang berlari-lari sambil memanggil Nayla ‘mama’. Nayla enggak tahu siapa dia. Apa jangan-jangan itu Airin? Apa ini sebuah petunjuk dari Allah kalau aku harus memenuhi permintaan terakhir Mbak Aleya untuk menjadi ibu sambung bagi Airin?”

“Mungkin saja, Nay. Setelah salat istikharah, biasanya kita akan dapat petunjuk melalui mimpi. Tapi tidak selalu begitu. Kadang Allah memberi umat-Nya kemantapan hati untuk menentukan pilihannya.”

Ya Allah ... mimpi itu terlihat seperti nyata. Apa memang benar aku akan menjadi ibunya Airin? Nayla bertanya dalam hati.

Karena sudah masuk waktu salat subuh, Bu Saida pun beranjak keluar untuk membangunkan suaminya yang tidur di kamar sebelah.

***

Di sisi lain, Abyan membuka mata saat telinganya mendengar suara azan. Karena pengaruh obat, ia tertidur dengan pulas semalaman. Pria bertubuh tinggi besar itu pun beringsut bangun, lantas mencabut jarum yang menancap di tangan kanannya. Ia tidak peduli pada cairan infus dalam kantong yang masih tersisa separuh. Tubuhnya sudah tidak lemas lagi. Kepalanya juga sudah tidak pusing.

Abyan pun beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Sesibuk apa pun dan di mana pun ia berada, ia memang tidak pernah lalai dalam menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Setelah memakai kain sarung dan kopiah, ia pun melaksanakan dua rakaat salat Subuh.

Usai salat, tidak lupa Abyan memanjatkan doa agar arwah Aleya tenang di alam sana. Kelopak matanya mulai berembun setiap kali mengingat almarhumah istrinya.

“Oeeekkk ... oeeekkk ....” Samar-samar telinga Abyan mendengar suara tangisan bayi.

Airin! Abyan pun segera bangkit, lantas melepas sarung dan kopiahnya dengan cepat.

Begitu keluar dari kamarnya, suara tangisan Airin terdengar semakin kencang.

“Abyan, kamu sudah bangun? Kenapa infusnya dilepas? Apa kamu sudah baikan?” tanya Mama Mayang yang baru saja keluar dari kamarnya. Kebetulan kamar mereka saling berdampingan.

“Airin nangis, Ma. Di mana dia?” Alih-alih menjawab, Abyan malah balik bertanya kepada ibunya.

“Kamu jangan khawatir, Sayang! Airin tidur sama Nayla dan Bu Saida di kamar tamu. Mama akan segera melihatnya. Kamu istirahat saja di kamar. Muka kamu masih terlihat pucat.”

“Enggak, Ma. Aku mau lihat Airin.”

Abyan tidak mengindahkan perintah ibunya. Ia berjalan dengan cepat menuruni anak tangga. Mama Mayang pun mengikutinya dari belakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status