Share

Bab 3 : Abyan Jatuh Sakit

Hari sudah semakin sore. Rinai hujan perlahan mulai reda. Vino mengemudikan Mercedes Benz hitam itu dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Sesekali ia melirik ke arah bosnya yang duduk di belakang dari kaca spion depan. Abyan terlihat melamun sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela yang tertutup rapat. Wajah dan bibirnya tampak pucat karena berdiri di bawah hujan selama hampir satu jam. Tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan karena seluruh pakaiannya telah basah kuyup.

Tanpa instruksi dari Abyan, Vino menambah kecepatan mobilnya. Laki-laki muda berusia dua puluh enam tahun itu tidak mau sampai bosnya jatuh sakit. Ia memotong beberapa kendaraan yang melintas di depannya dengan gesit. Dalam waktu kurang dari setengah jam saja, mereka pun sampai di depan rumah.

Melihat mobil majikannya, Pak Mahmud yang merupakan tukang kebun Abyan langsung membukakan pintu gerbang. Mercedes Benz hitam itu pun bergerak memasuki halaman dan berhenti tepat di depan rumah. Vino segera turun dari mobil, lalu berjalan memutar dan membukakan pintu untuk bosnya.

Abyan menjejakkan kaki kirinya keluar, diikuti oleh kakinya yang lain. Sekilas ia melihat arloji yang melekat di pergelangan tangan kirinya.

“Vino, sekarang kamu boleh pulang,” titah Abyan setelah mengetahui kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

“Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit,” ucap Vino dengan sedikit membungkukkan badan.

Abyan mengangguk pelan. Ia pun beranjak masuk setelah asisten pribadinya itu beredar dengan menaiki motornya.

“Masyaa Allah, Abyan ... kenapa pakaianmu basah kuyup begitu?” tanya Papa Angga saat melihat putranya memasuki ruang tamu.

“Abyan, cepat mandi pakai air anget! Biar enggak masuk angin,” titah Mama Mayang. Wanita berusia setengah abad itu terlihat cemas saat melihat wajah dan bibir putranya yang pucat. Akan tetapi, Abyan tidak segera melaksanakan perintah ibunya.

“Airin mana, Ma?”

“Airin tidur sama Nayla. Tadi dia nangis terus. Mama sampai kewalahan. Sepertinya bayi itu bisa merasakan kepergian ibu kandungnya. Tapi untung saja setelah Nayla menggendongnya, Airin langsung diam.”

Mendengar nama Nayla, hati Abyan tiba-tiba bergetar. Ia teringat kembali pada permintaan terakhir Aleya sebelum meninggal.

“Abyan, cepat mandi dan ganti baju! Setelah Magrib temui Papa di ruang keluarga. Papa ingin bicara sama kamu dan Nayla.” Papa Angga mendikte.

Tanpa menyahut, Abyan pun berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia tahu, pasti ayahnya akan membicarakan soal permintaan terakhir Aleya. Namun, sampai kapan pun ia tidak akan pernah memenuhinya.

Abyan membuka pintu kamarnya. Sejenak ia mematung di ambang pintu sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Kamar bernuansa putih dan hijau itu terlihat sangat sunyi. Tidak ada lagi tawa Aleya yang menghiasi. Tidak ada lagi pelukan hangat Aleya yang menyambut kepulangannya. Kelopak mata Abyan kembali berair. Betapa ia sangat merindukan saat-saat bersama istrinya. Sekarang ia hanya bisa menatap wajah cantik wanita itu dari foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding.

Abyan melangkah gontai memasuki kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya. Tanpa melepas pakaiannya yang basah kuyup, pria itu membiarkan kepala dan sekujur tubuhnya tersiram air shower yang hangat. Akan tetapi, hangatnya air shower sama sekali tidak mampu menenangkan hati dan pikirannya yang tengah dilanda duka.

***

Usai menunaikan salat Magrib, semua orang pun berkumpul di ruang keluarga. Papa Angga, Mama Mayang, Rea, Pak Hasan, Bu Saida, dan juga Nayla. Hanya tinggal Abyan saja yang belum kelihatan batang hidungnya.

“Rea, cepat panggil kakakmu!” titah Papa Angga kepada putrinya.

“Baik, Pa.” Rea pun bangkit dari sofa, lalu berjalan cepat menaiki anak tangga.

“Kak Abyan!” seru Rea setelah mengetuk pintu kamar kakaknya berkali-kali. Karena tidak ada sahutan, gadis berambut hitam legam itu pun menekan gagang pintu, lantas membukanya.

“Kak Abyan!” Rea terkejut melihat kakaknya terbaring di tempat tidur dengan bed cover tebal yang menutup sekujur tubuhnya. Kedua matanya tertutup rapat. Wajah dan bibirnya tampak begitu pucat.

Karena penasaran, Rea pun mendekati Abyan dan meletakkan telapak tangannya di kening kakaknya itu. “Ya Tuhan, panas sekali badannya.”

Tanpa berpikir panjang, Rea segera keluar dan memberi tahu kedua orang tuanya.

“Pa, Ma, Kak Abyan sakit. Badannya panas banget.”

“Apa?” Mama Mayang dan Papa Angga tampak kaget. Begitu pula dengan Nayla, Pak Hasan, dan Bu Saida.

“Rea, cepat kamu hubungi dokter Ryan!” titah Papa Angga yang sudah bangkit dari duduknya.

“Baik, Pa.” Rea pun segera meraih gagang telepon dan menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Sementara Papa Angga dan Mama Mayang langsung bergerak menuju kamar putranya.

***

Pukul 18.30, dokter Ryan pun tiba dan segera memeriksa kondisi Abyan. Papa Angga dan Mama Mayang tampak berdiri di sisi ranjang putranya dengan cemas.

“Bagaimana kondisi Abyan, Dok?” tanya Mama Mayang setelah dokter selesai memeriksa Abyan. Wanita paruh baya itu selalu panik ketika anak-anaknya jatuh sakit.

“Pak, Bu, Pak Abyan demam tinggi. Suhu tubuhnya mencapai 41 derajat Celsius. Badannya juga sangat lemah. Mungkin karena dia kehujanan terlalu lama dan perutnya dalam keadaan kosong,” terang dokter paruh baya yang memakai kacamata itu.

“Astaghfirullah al-‘azim,” ucap Papa Angga dan Mama Mayang secara bersamaan.

“Sejak kemarin, Abyan memang belum makan apa-apa, Dok. Dia selalu berada di samping istrinya.” Mama Mayang mulai menitikkan air mata. Papa Angga mengusap-usap bahu istrinya dengan lembut untuk menenangkannya.

Dokter Ryan segera memasang infus di pergelangan tangan kanan Abyan hingga membuat Abyan sedikit memekik. Ia juga menyuntikkan obat penurun panas ke kantong infus tersebut. Setelah menyelesaikan tugasnya, dokter Ryan pun pamit pulang. Papa Angga pergi mengantarnya ke depan.

Mama Mayang melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Dibelainya kepala putranya itu dengan penuh kelembutan hingga Abyan kembali terlelap karena efek obat yang diberikan dokter. Lalu tiba-tiba saja Rea muncul dan mendekati mereka.

“Kasihan sekali Kak Abyan ya, Ma,” tutur Rea saat melihat kondisi kakaknya yang begitu memprihatinkan. “Dia pasti sangat menderita karena kehilangan Kak Aleya.”

“Kamu benar, Rea. Walaupun jarang di rumah, tapi Mama tahu kalau Abyan sangat mencintai Aleya. Pasti akan sangat sulit baginya untuk melupakan Aleya dan menerima wanita lain sebagai penggantinya.”

“Tapi Nayla juga baik, Ma. Rea setuju kalau seandainya Kak Abyan menikah sama Nayla. Dengan begitu, Airin tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Kasihan Airin, Ma.”

“Mama sebenarnya juga suka sama Nayla. Selain cantik, dia juga baik dan sangat menyayangi Airin. Dan sepertinya Airin juga nyaman berada di dekatnya. Tapi Mama tidak mau memaksa Abyan. Biarlah kakakmu sendiri yang membuat keputusan, Rea. Lagi pula, belum tentu Nayla mau menikah sama kakakmu.”

“Mudah-mudahan Nayla mau, Ma. Dan semoga saja Kak Abyan juga mau memenuhi permintaan terakhir Kak Aleya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status