Hari sudah semakin sore. Rinai hujan perlahan mulai reda. Vino mengemudikan Mercedes Benz hitam itu dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Sesekali ia melirik ke arah bosnya yang duduk di belakang dari kaca spion depan. Abyan terlihat melamun sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela yang tertutup rapat. Wajah dan bibirnya tampak pucat karena berdiri di bawah hujan selama hampir satu jam. Tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan karena seluruh pakaiannya telah basah kuyup.
Tanpa instruksi dari Abyan, Vino menambah kecepatan mobilnya. Laki-laki muda berusia dua puluh enam tahun itu tidak mau sampai bosnya jatuh sakit. Ia memotong beberapa kendaraan yang melintas di depannya dengan gesit. Dalam waktu kurang dari setengah jam saja, mereka pun sampai di depan rumah.
Melihat mobil majikannya, Pak Mahmud yang merupakan tukang kebun Abyan langsung membukakan pintu gerbang. Mercedes Benz hitam itu pun bergerak memasuki halaman dan berhenti tepat di depan rumah. Vino segera turun dari mobil, lalu berjalan memutar dan membukakan pintu untuk bosnya.
Abyan menjejakkan kaki kirinya keluar, diikuti oleh kakinya yang lain. Sekilas ia melihat arloji yang melekat di pergelangan tangan kirinya.
“Vino, sekarang kamu boleh pulang,” titah Abyan setelah mengetahui kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit,” ucap Vino dengan sedikit membungkukkan badan.
Abyan mengangguk pelan. Ia pun beranjak masuk setelah asisten pribadinya itu beredar dengan menaiki motornya.
“Masyaa Allah, Abyan ... kenapa pakaianmu basah kuyup begitu?” tanya Papa Angga saat melihat putranya memasuki ruang tamu.
“Abyan, cepat mandi pakai air anget! Biar enggak masuk angin,” titah Mama Mayang. Wanita berusia setengah abad itu terlihat cemas saat melihat wajah dan bibir putranya yang pucat. Akan tetapi, Abyan tidak segera melaksanakan perintah ibunya.
“Airin mana, Ma?”
“Airin tidur sama Nayla. Tadi dia nangis terus. Mama sampai kewalahan. Sepertinya bayi itu bisa merasakan kepergian ibu kandungnya. Tapi untung saja setelah Nayla menggendongnya, Airin langsung diam.”
Mendengar nama Nayla, hati Abyan tiba-tiba bergetar. Ia teringat kembali pada permintaan terakhir Aleya sebelum meninggal.
“Abyan, cepat mandi dan ganti baju! Setelah Magrib temui Papa di ruang keluarga. Papa ingin bicara sama kamu dan Nayla.” Papa Angga mendikte.
Tanpa menyahut, Abyan pun berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia tahu, pasti ayahnya akan membicarakan soal permintaan terakhir Aleya. Namun, sampai kapan pun ia tidak akan pernah memenuhinya.
Abyan membuka pintu kamarnya. Sejenak ia mematung di ambang pintu sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Kamar bernuansa putih dan hijau itu terlihat sangat sunyi. Tidak ada lagi tawa Aleya yang menghiasi. Tidak ada lagi pelukan hangat Aleya yang menyambut kepulangannya. Kelopak mata Abyan kembali berair. Betapa ia sangat merindukan saat-saat bersama istrinya. Sekarang ia hanya bisa menatap wajah cantik wanita itu dari foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding.
Abyan melangkah gontai memasuki kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya. Tanpa melepas pakaiannya yang basah kuyup, pria itu membiarkan kepala dan sekujur tubuhnya tersiram air shower yang hangat. Akan tetapi, hangatnya air shower sama sekali tidak mampu menenangkan hati dan pikirannya yang tengah dilanda duka.
***
Usai menunaikan salat Magrib, semua orang pun berkumpul di ruang keluarga. Papa Angga, Mama Mayang, Rea, Pak Hasan, Bu Saida, dan juga Nayla. Hanya tinggal Abyan saja yang belum kelihatan batang hidungnya.
“Rea, cepat panggil kakakmu!” titah Papa Angga kepada putrinya.
“Baik, Pa.” Rea pun bangkit dari sofa, lalu berjalan cepat menaiki anak tangga.
“Kak Abyan!” seru Rea setelah mengetuk pintu kamar kakaknya berkali-kali. Karena tidak ada sahutan, gadis berambut hitam legam itu pun menekan gagang pintu, lantas membukanya.
“Kak Abyan!” Rea terkejut melihat kakaknya terbaring di tempat tidur dengan bed cover tebal yang menutup sekujur tubuhnya. Kedua matanya tertutup rapat. Wajah dan bibirnya tampak begitu pucat.
Karena penasaran, Rea pun mendekati Abyan dan meletakkan telapak tangannya di kening kakaknya itu. “Ya Tuhan, panas sekali badannya.”
Tanpa berpikir panjang, Rea segera keluar dan memberi tahu kedua orang tuanya.
“Pa, Ma, Kak Abyan sakit. Badannya panas banget.”
“Apa?” Mama Mayang dan Papa Angga tampak kaget. Begitu pula dengan Nayla, Pak Hasan, dan Bu Saida.
“Rea, cepat kamu hubungi dokter Ryan!” titah Papa Angga yang sudah bangkit dari duduknya.
“Baik, Pa.” Rea pun segera meraih gagang telepon dan menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Sementara Papa Angga dan Mama Mayang langsung bergerak menuju kamar putranya.
***
Pukul 18.30, dokter Ryan pun tiba dan segera memeriksa kondisi Abyan. Papa Angga dan Mama Mayang tampak berdiri di sisi ranjang putranya dengan cemas.
“Bagaimana kondisi Abyan, Dok?” tanya Mama Mayang setelah dokter selesai memeriksa Abyan. Wanita paruh baya itu selalu panik ketika anak-anaknya jatuh sakit.
“Pak, Bu, Pak Abyan demam tinggi. Suhu tubuhnya mencapai 41 derajat Celsius. Badannya juga sangat lemah. Mungkin karena dia kehujanan terlalu lama dan perutnya dalam keadaan kosong,” terang dokter paruh baya yang memakai kacamata itu.
“Astaghfirullah al-‘azim,” ucap Papa Angga dan Mama Mayang secara bersamaan.
“Sejak kemarin, Abyan memang belum makan apa-apa, Dok. Dia selalu berada di samping istrinya.” Mama Mayang mulai menitikkan air mata. Papa Angga mengusap-usap bahu istrinya dengan lembut untuk menenangkannya.
Dokter Ryan segera memasang infus di pergelangan tangan kanan Abyan hingga membuat Abyan sedikit memekik. Ia juga menyuntikkan obat penurun panas ke kantong infus tersebut. Setelah menyelesaikan tugasnya, dokter Ryan pun pamit pulang. Papa Angga pergi mengantarnya ke depan.
Mama Mayang melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Dibelainya kepala putranya itu dengan penuh kelembutan hingga Abyan kembali terlelap karena efek obat yang diberikan dokter. Lalu tiba-tiba saja Rea muncul dan mendekati mereka.
“Kasihan sekali Kak Abyan ya, Ma,” tutur Rea saat melihat kondisi kakaknya yang begitu memprihatinkan. “Dia pasti sangat menderita karena kehilangan Kak Aleya.”
“Kamu benar, Rea. Walaupun jarang di rumah, tapi Mama tahu kalau Abyan sangat mencintai Aleya. Pasti akan sangat sulit baginya untuk melupakan Aleya dan menerima wanita lain sebagai penggantinya.”
“Tapi Nayla juga baik, Ma. Rea setuju kalau seandainya Kak Abyan menikah sama Nayla. Dengan begitu, Airin tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Kasihan Airin, Ma.”
“Mama sebenarnya juga suka sama Nayla. Selain cantik, dia juga baik dan sangat menyayangi Airin. Dan sepertinya Airin juga nyaman berada di dekatnya. Tapi Mama tidak mau memaksa Abyan. Biarlah kakakmu sendiri yang membuat keputusan, Rea. Lagi pula, belum tentu Nayla mau menikah sama kakakmu.”
“Mudah-mudahan Nayla mau, Ma. Dan semoga saja Kak Abyan juga mau memenuhi permintaan terakhir Kak Aleya.”
Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik. Abyan menghela napas lega. Hatinya diliputi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Karena pada akhirnya, Nayla lebih memilih dirinya daripada Revan. Walaupun Nayla tidak mengatakan apa-apa, tetapi Abyan tahu kalau sebenarnya wanita itu sangat mencintainya. Setelah Revan pergi, Nayla menggendong Airin dan membawanya naik ke lantai atas untuk menidurkannya. “Mama, Om yang tadi itu siapa, Ma? Apa dia orang jahat yang udah bikin Mama nangis?” tanya Airin dengan polosnya. “Bukan, Sayang. Om tadi enggak jahat. Dia baik hati seperti malaikat,” sahut Nayla sambil berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. “Terus, kenapa Mama nangis?” “Karena Mama sayang sekali sama Airin.” Nayla pun mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan putrinya. “Airin juga sayang sama Mama.” Gadis kecil itu pun memeluk leher ibunya dengan manja. “Makasih, Sayang. Sekarang kita bobok ya. Airin mau dibacain dongeng ap
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hati Nayla semakin dirundung resah dan gelisah, karena sampai sekarang Revan tidak mau menjawab teleponnya maupun membalas pesannya. Nayla takut kalau laki-laki itu akan nekat datang ke rumah dan membongkar semuanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abyan kalau mengetahui soal hubungan mereka.Tok tok tok!Nayla tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Airin. Ia pun menoleh ke arah pintu yang kebetulan sedang terbuka lebar.“Ada apa, Mbok?” tanya Nayla saat melihat sosok Mbok Sum berdiri di ambang pintu.“Anu, Nyah. Nyonya disuruh turun sama Tuan. Katanya ada tamu.”Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Jangan-jangan tamu yang Mbok Sum maksud adalah Revan.“Siapa Mbok tamunya? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nayla ingin memastikan.“Laki-laki, Nyah. Masih muda.”Tidak salah lagi.
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund